Apakah Jimat Itu Haram dan Sirik?

arti jimat, arti azimat, jimat islam, rajah jimat, bongkar jimat, definisi jimat, arti kat ajimat, manfaat jimat, khasiat jimat, fungsi jimat, cara membuat jimat, dalil azimat, hukum jimat

Jimat atau azimat dalam bahasa Arab disebut dengan tamimah (penyempurna). Makna tamimah adalah setiap benda yang digantungkan di leher atau selainnya untuk melindungi diri, menolak bala, dan dari bahan apa pun. (Lisanul Arab 12/69).

Orang-orang Arab menyebut jimat sebagai tamimah karena mereka meyakini bahwa benda-benda tersebut dapat menyempurnakan obat dan kesembuhan. Dan setiap orang yang menggantungkan benda-benda tersebut, memiliki pandangan bahwa penjagaan dan penolakan bahaya-bahaya akan sempurna dengannya. Dengan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa jimat bukanlah terbatas pada bentuk-bentuk tertentu, bahkan mencakup hal-hal yang sangat banyak dan beragam bentuknya.

Beberapa kalangan mengingkari dan mencela serta mengancam dengan keras terhadap orang yang menggunakan jimat, karena adanya keyakinan orang-orang jahil di dalamnya, berupa perlindungan diri, menggantungkan hati kepada selain Allah, dan melupakan Allah Ta’ala.

Seseorang yang menggunakan jimat dengan tujuan untuk membentengi dirinya dari marabahaya dan meyakini bahwa jimat tersebut dapat memberi manfaat atau menolak bahaya dengan kemampuan yang bersumber dari jimat itu sendiri, maka ia telah terjerumus dalam syirik besar. Hal ini terjadi karena ia telah menjadikan selain Allah sebagai pengatur urusan suatu masalah-yang tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Allah SWT. Dengan demikian, ia terjerumus ke dalam syirik besar dalam hal rububiyyah Allah.

Seseorang yang menggunakan jimat dengan tujuan membentengi dirinya dari marabahaya dan meyakini bahwa benda-benda tersebut hanya sebagai sebab tertolaknya suatu bahaya, maka ia telah terjerumus ke dalam syirik kecil. Hal ini disebabkan ketergantungan hatinya kepada benda-benda tersebut dan menjadikannya sebagai sebab tertolaknya bala. Padahal tidak boleh menetapkan suatu sebab kecuali berdasarkan al Qur'an dan Sunnah, atau pun berdasarkan eksperimen dan betul-betul telah terbukti bermanfaat sebagai sebab yang nyata, bukan secara samar. Orang yang menggunakan jimat untuk tolak bala telah menjadikan sebab yang tidak diijinkan secara syar'i maupun melalui eksperimen. Dan tidak pula terbukti secara nyata bahwasanya jimat dapat berfungsi sebagai penolak bala atau pun penyembuh penyakit dan lain-lainnya, melainkan hanya semata-mata keyakinan dari pemakainya. Maksudnya, pemakai jimat tersebut kadang-kadang mendapatkan apa yang ia kehendaki, karena bertepatan dengan takdir dari Allah, sehingga berkeyakinan bahwa benda-benda tersebut dapat terbukti sebagai sebab, padahal pada hakekatnya bukanlah sebagai sebab.

Menggunakan jimat dengan tujuan untuk hiasan adalah haram, karena hal ini menyerupai apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrikin. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka." (HR. Ahmad).

Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:

اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

"Berdoalah kamu, niscaya Aku akan mengabulkannya untukmu". (QS al-Mu'min: 60)

Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Diantaranya adalah:


عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:” كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ
الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟
فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ
يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik al-Asja'i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasulullah SAW menjawab, "Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan." (HR Muslim [4079]).

Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda,

"Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya): Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut."

Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­-anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya. (At-Thibb an-Nabawi, hal 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman menggunakan azimat, misalnya:

عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ


Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik." (HR Ahmad [3385]).

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan: "Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur'an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepada-Nya." (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181).

lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.

A-Marruzi berkata, "Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu’awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas)." Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. Al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, "Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil." Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst. (Al-Adab asy-Syar'iyyah wal Minah al-Mar'iyyah, juz II hal 307-310).

Namun tidak semua doa dan azimat dapat dibenarkan. Ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan:
1. Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT atau sabda Rasulullah SAW.
2. Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.
3. Tertanam keyakinan bahwa jimat itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja." (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).


Sumber:
Wahdah Islamiyah
KH Muhyiddin Abdusshomad