Misteri Rante Bui Aceh

Misteri Rantai Babi Aceh

Misteri Rante Bui dan Pawang Rimueng - Selama masa penjajahan dahulu kita kerap mendengar cerita-cerita perjuangan rakyat untuk melawan Belanda, Portugis, atau Jepang. Tak sedikit diantaranya bercerita mengenai kehebatan para jawara dan pendekar dalam ilmu kanuragan yang tak bisa dijelaskan secara logika.

Di negeri Aceh juga demikian. Perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda juga dibumbui banyak kisah-kisah mistis. Salah satunya adalah jimat rante bui (jimat rantai babi) yang sering dipakai oleh tokoh-tokoh ulama perlawanan terhadap Belanda waktu itu.

Jimat Rante Bui paling terkenal adalah yang pernah dimiliki oleh Teungku Chik di Tiro. Jimat rantai babi itu ditemukan oleh pihak Belanda ditubuh Teungku Chik di Tiro di daerah Cot Plieng. Kini azimat Rante Bui disimpan di Tropenmuseum, Amsterdam dalam etnografia Aceh.

Selain Christiaan Snouck Hurgronje, mungkin Kolonel H.J.Schmidt-lah orang Belanda yang paling paham soal Aceh. Dengan pengetahuannya akan bahasa dan adat istiadat Aceh, ia menjadi perwira Belanda yang bisa bergaul secara bebas dengan masyarakat Aceh.

Namun sebagai tentara Belanda, Kolonel H.J.Schmidt tetap tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Aceh, apalagi dalam suasana penjajahan seperti saat itu.

Pada tahun 1906, Kolonel H.J.Schmidt bertugas sebagai seorang letnan di Jeuram dan Seunagan yang saat itu situasinya sedang kacau. Di dua daerah itu, setiap hari terjadi peristiwa penjebakan dan sergapan terjadi terhadap pasukan yang dipimpinnya.

Tak mau kejadian itu terus menerus menimpa pasukannya, Kolonel H.J.Schmidt mencari seorang mata-mata yang handal. Sebenarnya tidak sulit mencari mata-mata, tetapi merahasiakan hubungannya dengan mata-mata itu yang menjadi masalah utama.

Apalagi, di daerah itu ia kerap berhadapan dengan kelompok Teungku Puteh yang juga memiliki banyak mata-mata handal di kalangan prajurit Belanda untuk mengecoh dan menyusup ke bivak-bivak Belanda.

Maka perang spionase pun terjadi. Antara Kolonel H.J.Schmidt dan Teungku Puteh saling mengirim mata-mata ke wilayah musuh. Diantara sekian banyak mata-mata Teungku Puteh, ada seorang pedagang yang membuka toko kecil di Keude Seunagan. Pedagang itu sekali-kali datang kepada Kolonel H.J.Schmidt untuk sekedar mengobrol. Padahal sebenarnya ia ingin menggali informasi di sekitar Kolonel H.J.Schmidt untuk kemudian disampaikannya pada Teungku Puteh.

Suatu hari, Kolonel H.J.Schmidt menerima berita dari salah seorang mata-matanya. Dan pada saat yang bersamaan, datang pula si pedagang mata-mata dari Keude Seunagan itu ke sana.

Keduanya dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan oleh Kolonel H.J.Schmidt. Si mata-mata tadi segera menceritakan informasi yang dibawanya, sementara si pedang mendengarkan dengan seksama.

Namun keberadaan mata-mata Teungku Puteh itu akhirnya diketahui Kolonel H.J.Schmidt setelah ia membongkar rencananya dan pasukannya yang akan menyeran gerilyawan Aceh. Esoknya si pedagang itu pun ditangkap.

Kolonel H.J.Schmidt dan Teungku Puteh sama-sama memiliki kekuatan mistis. Konon Kolonel Schmidt sebenarnya merupakan putra Aceh yang sejak kecil diasuh dan disekolahkan oleh Belanda sampai ke negeri Belanda. Sehingga anak Aceh itu menjadi orang Belanda tulen yang sangat mengerti tentang Aceh.

Mengenai kekuatan mistik yang dimiliki Kolonel Schmidt, dia memiliki rante bui, yang membuatnya memiliki ilmu kebal, tak mempan ditembak senjata api atau senjata tajam.

Tapi beberapa budayawan tak yakin Kolonel Schmidt memiliki rante bui tersebut. Yang memiliki Rante Bui tersebut hanya Teungku Brahim di Njong, Teungki Chik Samalangan, dan Teungku Cot Plieng. Mereka adalah pemimpin-pemimpin spiritual di Aceh yang mengobarkan semangat melawan Belanda.

Teungku Cot Plieng merupakan pemimpin utama diantara mereka. Komandan-komandan patroli Belanda paling ulung sekali pun tak punya kesempatan menghadapinya. Dan tak ada seorang Aceh pun yang berani memberitahukan dimana tempat persembunyian para ulama yang berilmu tinggi itu.

Meski demikian pasukan Belanda tetap memburunya. Sampai pada bulan Juni 1904, pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Stoop berhasil menemukan jejak Teungku Cot Plieng diantara dua aliran sungai Gle Keulabeu. Ia pun disergap, tapi Teungku Cot Plieng berhasil lolos dengan meninggalkan Al Qur'an dan Jimat Rante Buinya.

Jimat Rante Bui yang ditemukan dari Teungku Cot Plieng itu disebut-sebut merupakan warisan dari Teungku Syeh Saman Di Tiro, yang dikenal dengan Teungku Chik Di Tiro. Karena tak lagi memiliki jimat tersebut, Teungku Cot Plieng pun akhirnya berhasil disergap dan akhirnya tewas tertembak oleh pasukan patroli pimpinan Letnan Terwogt.

Mayatnya kemudian diusung ke salah satu bivak untuk keperluan autopsi. Di sana Belanda heran karena mayat tersebut tidak membusuk. Untuk memastikan kalau itu adalah Teungku Cot Plieng, Belanda memanggil Panglima Polem. Disana, Panglima Polem memberi hormat pada mayat itu dengan melakukan sujud di tengah orang-orang Aceh yang terdiam karena rasa hormatnya.

Panglima Polem kemudian melepaskan rante bui dari mayat Teungku Cot Plieng dan memberikannya kepada Van Daalen, seorang perwira Belanda. Tapi Van Daalen menolaknya, karena tak suka terhadap hal-hal yang berbau mistis.

Setelah operasi besar-besaran yang dilakukan pasukan Belanda di Pidie, Jimat Rante Bui itu kemudian dihadiahkan kepada Veltman, perwira Belanda lainnya yang kerap dipanggil sebagai Tuan Pedoman. Ia tidak juga memakai jimat itu. Ia serahkan ke Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda.