Cerita Horor KKN di Desa Penari (Bag.3)
Pada bagian ketiga dari Cerita Horor KKN di Desa Penari ini, Widya masih tetap menjadi figur utama. Lalu seperti apa kelanjutan kisah misteri yang seru ini? Langsung saja kita baca sekarang.
Setelah kejadian itu Ayu sedikit menghindari Widya. Widya paham akan hal itu. Namun Wahyu sebaliknya, ia mendekati Widya dan memberinya semangat agar tidak memasukkan dalam hati semua ucapan orang tua itu.
Saat itu Wahyu menceritakan kejadian yang tidak ia ungkapkan di malam kejadian itu.
"Wid, temanmu yang cowok itu tidak apa-apa kah?"
"Maksudnya mas?"
"Temanmu itu setiap malam keluar, Wid. Nggak tahu kemana. Biasanya balik ke rumah kalau sudah pagi. Apa mengerjakan program kerjanya tapi kok malam hari?" jelas Wahyu.
"Aku nggak tahu mas"
"Terus aku sering dengar anak itu ngomong sendiri di dalam kamar"
"Nggak mungkin mas" bantah Widya.
"Sumpah!! Nggak cuma itu saja. Kadang dia tertawa sendiri, stres mungkin."
"Bima iku orangnya religius, mas. Tidak mungkin aneh-aneh"
"Ya sudah, tanya Anton kalau nggak percaya. Malam sebelum aku melihat kamu menari, Bima sebenarnya ada di situ. Dia cuma melihat kamu dari jendela. Paham kamu sekarang? Gila itu anak"
Widya terdiam. Ia berusaha mencerna cerita dari Wahyu. Malamnya semua anak berkumpul. Nur ada di kamar, dia sedang sholat. Widya di ruang tengah sendirian sedangkan Ayu, Wahyu, dan Anton mengobrol di teras rumah. Bima sedang membicaraan sesuatu dengan pak Prabu.
Tiba-tiba suara kidung terdengar lagi, kali ini suaranya berasal dari arah dapur. Untuk mencapai dapur, Widya harus melewati kamar. Disana Nur sedang bersujud.
Suara kidung semakin lama semakin terdengar jelas. Dapur rumah ini hanya ditutup dengan tirai. Saat Widya menyibak tirai ia melihat Nur sedang meneguk air dari kendi, lengkap dengan mukenanya.
Widya kaget dan diam mematung, lama sekali. Jika Nur ada di dapur, lalu siapa yang ada di kamar tadi? Nur yang sedang minum melihatnya, mata mereka saling bertatapan.
"Kenapa Wid?" tanya Nur. Widya masih diam, Nur pun mendekati Widya. Sontak Widya langsung lari dan melihat isi kamar. Disana tidak ada Nur.
"Ada apa sih sebenarnya?" tanya Nur yang sekarang berdiri di samping Widya. Ia memegang bahu Widya. Dingin. Tangannya masih gemetaran, sampai semua anak melihat mereka kemudian mendekatinya.
"Kenapa kok rame sekali?" tanya Ayu.
"Nggak tahu, anak ini dari tadi diajak ngomong nggak jawab" kata Nur.
"Kenapa Wid?" Wahyu mendekati Widya.
"Tanganmu kok gemetaran begini? Ada apa sih?" tanya Anton.
"Nur, ambilkan minum dulu sana. Kok malah diam saja." lanjutnya.
Nur kembali dari dapur dengan membawa teko kendi yang tadi dia pakai minum. Widya kemudian meneguknya lalu terdiam lagi, membuat semua orang bingung.
Tangan kiri Widya masih memegang teko, sedangkan tangan kananya terangkat lalu masuk ke dalam mulutnya. Disana Widya berusaha mengambil sesuatu, ada 2 sampai 3 helai rambut hitam, panjang, dan itu keluar dari dalam mulut Widya.
Semua yang menyaksikan kejadian itu beringsut mundur. Mereka semua kaget.
Widya mencoba membuka penutup tekonya, di dalamnya ada segumpal rambut yang bercampur dengan air.
Nur yang melihatnya langsung terkejut. "Aku tadi ya minum dari situ, tapi nggak tahu kalau ada yang seperti itu."
Widya pun muntah sejadinya. Dalam keadaan tegang seperti itu, Anton tiba-tiba mengatakan, "Kamu diincar ya Wid? Kata mbahku, kalau ada rambut tiba-tiba muncul, kalau bukan santet ya diincar makhluk halus."
Nur kemudian membuka suara, "Wid, apa penari itu masih ngikuti kamu? Dari kemarin aku sudah nggak lihat di belakangmu lagi"
Sejak kejadian itu Widya semakin was-was. Ia jatuh sakit selama 3 hari dan selama itu juga Widya hanya terbaring lemah di atas tikar kamar. Nur tidak melanjutkan lagi ceritanya. Ia sudah salah mengatakannya di saat yang kurang tepat, seharusnya ia menahan cerita itu.
Selama Widya terbaring sakit, ia sering ditinggal sendirian di dalam rumah itu. Dan selama tinggal di rumah itu, ada satu kejadian yang tidak akan pernah ia lupakan.
Semua dimulai ketika ia hanya berbaring di atas tikar. Ayu dan Nur berpamitan akan memulai program kerja mereka. Teman-teman laki-laki juga memulai program kerja mereka masing-masing. Seharusnya, tidak ada lagi orang di rumah itu selain Widya. Tapi siang itu terdengar suara sesuatu yang di pukuli. Hal itu menimbulkan rasa penasaran. Suaranya seperti benturan antara lempengan yang keras.
Awalnya Widya menghiraukanya. Namun semakin lama, Widya tidak tahan dan akhirnya pergi memeriksanya. Suara itu terdengar dari belakang rumah, tepat di samping dapur.
Saat Widya pergi kesana, di pintu dapur yang terbuat dari kayu Widya berhenti. Dari sela-sela pintu, Widya mengintip. Alangkah bingungnya Widya, disana ada seorang bapak-bapak paruh baya menggunakan pakaian hitam ala orang yang akan berkebun. Dia berdiri diantara pohon pisang, matanya tampak mengawasi rumah yang menjadi penginapan Widya selama KKN.
Gerak-geriknya sangat mencurigakan seperti ingin masuk ke rumah, tapi bapak itu tampak ragu-ragu. Terang saja Widya merasa ketakutan. Beberapa menit kemudian bapak itu pergi meninggalkan tempat itu.
Perasaan Widya terasa lega, bapak-bapak aneh itu sudah pergi. Widya berniat kembali ke kamar, disana ia melihat Anton baru saja masuk ke dalam rumah. Mereka berpapasan. Bodohnya, Widya tidak menceritakan hal itu kepada Anton dan teman-teman lainnya karena keesokan harinya peristiwa yang sama terulang kembali.
Diawali suara keras yang sama, Widya kembali mengintip. Kali ini bapak itu lebih berani. Ia melihat kesana-kemari, mendekati penginapan dan beberapa kali berusaha mengintip. Dari gerak-geriknya, tampaknya bapak itu berniat buruk. Masalahnya, apa yang ingin dia cari disini?
Sambil memikirkan hal itu, Widya tiba-tiba baru teringat. Ia hanya sendirian di rumah ini. Seorang wanita, sendirian di dalam rumah, dan seorang pria asing berusaha mendekati rumah itu. Apalagi kalau bukan ingin berniat buruk?
Sejurus kemudian ketika si bapak sudah berdiri di depan pintu dapur, terdengar suara yang mengejutkannya. Suara itu sepertinya dari batu di belakang dapur. Suaranya keras sekali sampai membuat si bapak lari tunggang langgang. Widya menyaksikannya sendiri, ada yang melempar batu cukup besar tepat di batu kali belakang rumah.
Si bapak yang panik kemudian pergi, Widya yang ketakutan juga ikut pergi untuk melaporkannya pada pak Prabu. Pak Prabu yang mendapat laporan dari Widya segera melakukan pencarian bapak-bapak yang dimaksud. Dan akhirnya ketemu, rupanya bapak-bapak itu adalah warga desa.
Ketika dia ditanya apa yang mau dia lakukan di rumah anak-anak KKN, bapak itu mengatakan jika ia melihat wanita yang mengenakan pakaian seperti penari. Ia lalu masuk rumah ini, namun karena beliau takut disangka melakukan hal-hal tidak baik, ia memeriksanya diam-diam. Tapi, tiba-tiba ia melihat sesuatu di dapur rumah.
Si bapak melihat seorang wanita sedang menari dengan anggun. Saat ia melihat wajahnya, si bapak kaget setengah mati. Di balik sirat wajah wanita yang disangka cantik jelita itu rupanya polos, rata tak ada wajahnya.
Apa yang diucapkan si bapak memang tidak dapat dipercaya, tapi mau bagaiman lagi? Pak Prabu dan Widya tidak punya bukti lebih jauh. Pak Prabu hanya menegur agar tidak melakukan hal itu lagi, dan si bapak pun akhirnya pergi.
Namun pak Prabu mengatakan hal lain yang membuat Widya bergidik ngeri, "Ada yang mau mencoba memberi pesan sama kamu, mbak"
"Siapa pak?"
"Kakek-kakek penjaga batu kali itu"
Setelah kejadian itu, Widya diminta ke rumah pak Prabu jika masih sakit. Tapi ada 1 kejadian lagi yang Widya alami, kali ini melibatkan Nur. Dan alasan kenapa rentetan semua kejadian ini ternyata saling berhubungan satu sama lain.
Saat itu hari sudah siang. Widya sedang mengerjakan program kerjanya yang sudah tertunda beberapa hari. Wayu mendekati Widya, ia menawarkan kesempatan untuk keluar desa sejenak karena harus membeli perlengkapan untuk progress kerjanya yang harus dibeli di kota.
"Mau ikut nggak?"
"Lah, jauh gak?" balas Widya.
"Sekitar 2 jam. Aku sudah ijin pak Prabu, katanya boleh pinjam motornya"
"Ya sudah, aku ikut"
Wahyu melihat jam di tanganya. Pukul 11 lewat. Ia harus cepat menyelesaikan urusannya di kota karena pak Prabu sudah mewanti-wanti untuk sudah kembali sebelum petang. Wahyu sempat menanyakan kenapa harus seperti itu, toh ada jalan setapak yang mudah ditelusuri untuk masuk ke hutan ini.
Dengan wajah tak tertebak, pak Prabu mengatakan, "Nggak ada yang tahu apa yang ada di dalam hutan, nak"
Mereka berdua akhirnya berangkat dengan berboncengan motor. Menembus jalan setapak, lalu sampai di jalan raya besar. Menyusuri jalan yang panjang dan jauh, sampai akhirnya mereka tiba di kota B. Di sana mereka berhenti di sebuah pasar, Wahyu dan Widya mulai mencari segala keperluan mereka.
Setelah 2 jam mencari kesana kemari barang yang dibutuhkan, mereka langsung kembali. Wahyu berhenti di pom bensin, ia harus mengembalikan motornya dalam keadaan bensin penuh, seperti etika ketika meminjam kendaraan orang lain.
Jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 4, sudah terlalu sore.
Sejenak ia melihat Widya dari jauh, ia sedang mendekati penjual cilok. Ketika Wahyu sampai disana, ia sudah membeli beberapa cilok untuk Widya sendiri dan dirinya. Saat itulah si penjual cilok melihatnya, dia tampak seperti ingin menyampaikan sesuatu.
"Masnya pendatang?" kata orang asing itu.
"Bukan, pak. Saya hanya KKN disini"
"Ya sama aja. Intinya orang luar, kan?" kata si penjual sambil melihat Widya dan Wahyu bergantian.
"Kalau boleh tahu, mas sama mbak KKN dimana?"
Wahyu menceritakan semuanya. Saat itu terlihat jelas perubahan wajah si penjual.
"Loh, berarti sebentar lagi kalian lewat alas D?"
"Iya pak" kata Wahyu.
"Wah, wah.. Sudah jam segini, mas. Apa nggak besok saja? Kalian cari penginapan saja, kalau sudah jam segini jarang yang lewat" kata si bapak.
"Nggak, pak. Kami lanjut saja" kata Wahyu.
"Begini mas, bisa saya minta waktunya sebentar? ucap penjual cilok. Dia lalu membicarakan sesuatu dengan wajah tegang. Widya yang sedari tadi memilih diam hanya mendengarkan saja saat penjual cilok itu menceritakan apa yang harus mereka lakukan saat masuk ke Alas D.
"Begini, mas. Nanti kalau kalian sudah masuk hutan, jalan saja terus. Jangan pernah berhenti, atau mengurusi apapun. Paham ya mas?"
"Jangan lupa membaca doa yang banyak. Yang paling penting, kalau kalian mendengar suara tapi tidak ada wujudnya, jangan pedulikan."
Meskipun kalian mendapat rintangan, kalau masih bisa lanjut ya lanjut saja. Kalian percaya saja, doanya juga utamakan"
Widya baru kali ini mendengar ada orang yang bercerita dengan mimik wajah tegang, bahkan bibirnya gemetar saat menceritakan.
"Saya doakan kalian selamat sampai tujuan"
Setelah berpamitan, mereka melanjutkan perjalanan tepat ketika langit sudah kemerahan. Selama perjalanan, Widya mulai merasakan hawa angin yang dingin. Ia tak menyangka, jalan masuk hutan lebih gelap ketika haru mulai petang.
Cahaya lampu sepeda motor yang dikendarai Wahyu menembus gelapnya malam di tengah hutan. Kilasan pohon hutan di samping kiri dan kanan jalan menjadi pemandangan tak terelakkan. Hanya suara motor yang mampu menghidupkan sepinya jalan. Benar saja, tak ada satupun pengendara lain yang lewat jalan hutan ini.
Wahyu berandai-andai bagaimana bila motor mogok atau ban meletus di tengah hutan ini sementara tak ada satupun pengendara yang lewat. Widya hanya menanggapi kecut, takut bila pengandaian wahyu terjadi pada mereka. Dan benar saja, motor yang mereka kendarai mogok tepat setelah Wahyu mengatakan itu.
Widya diam seribu bahasa. Ini sudah jadi hal yang lumrah dimana jika kita membicarakan sesuatu yang buruk di situasi yang kurang tepat maka bisa saja itu menjadi sebuah doa atau pertanda.
Wahyu mencoba menstarter motor itu berkali-kali tapi tetap tidak menyala.
"Jalan aja dulu, biar aku tetap bisa melihat kamu" kata Wahyu. Dia sudah tak tahan mendengar berapa kali kata "Goblok" keluar dari mulut Widya.
Entah berapa lama mereka berjalan tapi tetap tak bertemu satupun pengendara yang bisa dimintai pertolongan. Wahyu melihat Widya berjalan sendirian di depan. Ia tak sekalipun memalingkan wajahnya pada Wahyu. Seolah Wahyu sudah melakukan kesalahan paling fatal yang pernah ia buat.
Tiba-tiba Widya menghentikan langkahnya. Wahyu yang melihat itu merasa ada sesuatu yang salah. Dia bergumam dalam hati, "Kalau sampai kamu kesurupan, benar-benar keterlaluan. Apa nggak lihat aku sudah capek dorong motor dari tadi?"
Widya tiba-tiba berpaling ke Wahyu. Mata mereka saling memandang satu sama lain.
"Yu, dengar tidak? Seperti ada suara hajat pernikahan"
Wahyu bukan mau mengatakan Widya gila, tapi ternyata ia juga mendengarnya. Sumber suara itu tak jauh dari tempat mereka.
"Wid, ingat tidak? Kata bapak penjual cilok, kalau ada apa-apa lanjut saja" jawab Wahyu.
Widya pun melanjutkan perjalanan. Semakin jauh mereka berjalan, semakin keras suara itu. Suara itu semakin lama diiringi suara tertawa dari orang-orang seolah memang ada acara pernikahan
Sampai mereka melihat ada janur kuning melengkung di sebuah tanah lapang samping jalan raya. Di sana tampak seperti area perkampungan, lengkap dengan orang-rangnya. Mereka melihat sebuah acara pesta, juga panggung tempat musik didendangkan.
Wahyu dan Widya terdiam cukup lama. Mereka berpikir keras, memastikan bahwa apa yang mereka lihat itu manusia. Sebelum sempat membuka suara, tenggorokan mereka tercekat, seorang tua yang bungkuk tiba-tiba berada tepat di samping mereka.
"Ada apa nak?" tanya orang tua itu. Suaranya halus sekali. Sangat halus.
"Sepedanya mogok?" lanjutnya.
Wahyu dan Widya hanya mengangguk, pasrah. Si orang tua memanggil anak-anak yang lebih muda. Mereka menuntun sepeda, menepi dari jalan raya. Orang tua itu mempersilahkan Wahyu dan Widya istirahat sembari menunggu motornya diperbaiki.
Suanasanya ramai, semua orang sibuk dengan urusanya masing-masing. Ada yang sedang bercanda, ada yang mengobrol satu sama lain, ada yang menikmati alunan gamelan, tampak juga si pengantin yang terlihat jauh dari tempat Wahyu dan Widya duduk. Semuanya terlihat wajar dan normal.
"Aku kok nggak tahu kalau ada kampung di sini?" ucap Wahyu.
Widya hanya diam saja, matanya fokus pada panggung. Di depan penabuh gamelan itu masih ada ruang. Entah acara apa yang akan mereka adakan dengan ruang seluas itu.
Rupanya pertanyaan Widya segera terjawab. Dari kejauhan tiba-tiba tercium aroma melati. Aroma yang familiar bagi Widya. Diikuti serombongan orang, sang penari naik ke atas panggung diikuti serombongan orang. Semua mata tertuju pada sang penari yang mulai berlenggak-lenggok di atas panggung.
"Cantiknya..!!" kata Wahyu terkesima melihat sang penari itu.
Widya bingung. Entah hanya perasaan saja, tapi mata si penari seperti beberapa kali mencuri pandang ke arahnya. Widya seperti mengenal penari itu, tapi ia tidak yakin.
Si orang tua itu kembali, menawarkan makanan pada mereka. Wahyu yang memang sedang kelaparan, melahap habis makanaan mulai dari lemper sampai apem di depannya sembari bercakap-cakap sama orang tua itu. Namun Widya lebih suka melihat si penari, ia mampu membuat semua orang tertuju melihatnya, menatapnya dengan tatapan seperti menghipnotis.
Setelah si penari turun dari panggung, orang tua itu mengatakan kalau motor mereka sudah selesai diperbaiki dan bisa dikendarai. Dan benar saja, motornya sudah bisa di pakai lagi.
Sebelum pergi, Wahyu dan Widya berpamitan. Mereka berterima kasih sudah ditolong. Orang tua itu mengangguk dan mengatakan mereka harus hati-hati. Dia juga memberi bingkisan, dan menunjukkan isinya pada Wahyu dan Widya. Itu adalah jajanan yang tadi dihidangkan tadi. Setelah dibungkus dengan koran, Widya menerimanya lalu mengucapkan terima kasih lagi. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan.
Tidak ada yang seheboh Wahyu yang terus membicarakan tentang cantiknya paras si penari. Usianya mungkin lebih tua dari mereka, tapi dari cara dia berdandan bisa menutupi usianya sehingga kecantikannya begitu sulit di gambarkan.
Sementara Widya lebih tertarik dengan keberadaan kampung itu. Dia yakin selama perjalanan sebelumnya tidak ditemui satupun kampung disana. Jangankan kampung, warung saja tidak ada sama sekali.
Namun motor pak Prabu benar-benar mereka perbaiki. Mereka membantu tanpa meminta apapun. Dalam pikiran Widya, apa mungkin ada hantu bisa memperbaiki motor? Ah, mungkin dia kebetulan tidak melihat kampung itu saja sebelumnya.