Misteri Desa Pegadungan Banjarharjo yang Hilang

Misteri Desa Pagadungan Banjarharjo yang Hilang

Kali ini kami akan membagikan sebuah kisah misteri mengenai desa Pegadungan, sebuah desa di daerah Banjarharjo kabupaten Brebes yang menghilang bak ditelan bumi sejak masa penjajahan Belanda dahulu.

Desa Pegadungan; atau yang kadang disebut juga desa Pagadungan; adalah sebuah desa kecil yang dulunya terletak di sebelah selatan desa Cigadung, kecamatan Banjarharjo, kabupaten Brebes Jawa Tengah. Jika anda melihat peta, tidak akan ada desa yang dimaksud.

Desa ini telah menghilang tanpa jejak sejak zaman penjajahan Belanda. Di masyarakat sendiri beredar beberapa versi kisah hilangnya desa Pegadungan. Umumnya kisah menghilangnya sebuah desa ini diceritakan secara turun-temurun dari para orang tua dahulu.

Dalam sebuah kisah, awal mula hilangnya desa Pegadungan dikaitkan dengan penyerangan yang terjadi di daerah Tegal, Pekalongan, dan Brebes oleh pasukan Belanda. Saat para penduduk melarikan diri ke segala arah, penduduk desa Pegadungan justru berdiam diri.

Sesepuh desa yang diketahui memiliki ilmu kesaktian yang sangat tinggi melindungi desanya dari serangan Belanda dengan cara membuat desa ini menjadi tak terlihat oleh siapapun.

Sesepuh desa menaburkan abu yang telah diberikan mantera sambil memutari desa. Beliau tidak menyisakan tanah tanpa abu yang menjadi pintu masuk atau keluar dari desa itu. Ketika titik awal dan akhir bertemu, desa itu lenyap seketika.

Sang sesepuh kemudian ikut bertempur melawan penjajah. Malang, saat itu beliau menghembuskan nafas terakhirnya tanpa sempat mengembalikan desa seperti sedia kala. Akibatnya, desa itu hilang beserta para penduduk dan seluruh isinya.

Dalam literatur lain disebutkan kisah mengenai seorang 'budak angon' bernama Ujang yang tinggal dengan ayahnya di desa Pegadungan. Suatu hari ketika sedang mengembala kerbau, ia menemukan 'mangandeuh leweung' (sejenis benalu hutan) yang tumbuh di pohon bambu pethung (bambu hijau).

Karena jarang ada tanaman benalu yang tumbuh di pohon bambu dan bentuknya tak biasa, Ujang pun memetik dan membawanya pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, ia asyik mengamati tanaman benalu itu.

Daunnya lebar dengan bunga yang berwarna merah merekah, tidak tampak seperti benalu pada umumnya. Dengan takjub Ujang mengalungkannya di leher, ia bahkan juga menciuminya.

Sementara itu, ayahnya baru pulang dari kebun. Ia melihat kerbau-kerbau sudah masuk ke dalam kandangnya. Ia tampak senang karena anaknya yang masih berumur 10 tahun sudah bisa diandalkan dalam hal mengembala.

"Pinteeur yeuh budak, teu kudu dipapatahan geus nyaho gawean"
(Pintar nih anak, tidak perlu diperintah sudah tahu tugasnya), gumamnya.

Sang bapak lalu masuk ke rumah dan mencari anaknya,
"Jaangg... Ujaangg.. Ntos dahar acan? Dahar heula! Yuh barenga bapak"
(Jaangg... Ujaangg.. Sudah makan, blum? Makan dulu! Ayo sama bapak)

Namun panggilannya tak kunjung dijawab. Si bapak pun mondar-mandir mencari anaknya,
"Jaangg..! Dimana maneh?"
(Jaangg..! Dimana kamu?)

"Abdi pan dihareupeun bapak, moal enya teu katingal?"
(Saya kan di depan bapak. Masa tidak kelihatan?), jawab ujang yang keheranan.

"Hareupeun mana? Teu aya ah"
(Di depan mana? Tidak ada tuh)
"Maneh mawa naon? lesotkeun heula!"
(Kamu bawa apa? Lepaskan dulu!)

Ujang pun melepaskan benalu hutan yang dikalungkan di lehernya. Seketika itu juga bapaknya dapat melihatnya.

"Heuuh budak! Ulinan dang kitu, mantak pirewaseun kolot. Dahar heula kaditu!"
(Huh dasar bocah! Malah main seperti itu, membuat orang tua khawatir saja. Makan dulu sana!)
"Muhun atuh pak, hampura"
(iya pak, maaf)

Setelah meletakan benalu di meja, Ujang pergi ke dapur untuk makan dengan bapaknya.

"Jang, eta mangandeuh ulah dibabawa nya. Piceun kaditu, diduruk mun perlu"
(Jang, benalunya jangan dibawa terus. Buang sana, kalo perlu dibakar saja), perintah bapaknya.

Selesai makan, Ujang mengambil benalu itu. Ia juga mencari beberapa daun kering dan kayu bakar. Ujang menyalakan api dan membakarnya di belakang rumah. Tapi karena benalu itu masih segar dan agak basah, sulit sekali untuk terbakar.

"Ngkee... Ngkee... Tadi urang mawa mangandeuh ieu bpak teu tiasa ningalikeun urang. Wehh aluss, bisa ngaleungit berarti urang"
(Sebentar... Sebentar dulu... Tadi saya bawa benalu ini bapak tidak bisa melihat saya. Eeh bagus, saya bisa menghilang), kata ujang yang sadar benalu itu mempunyai keistimewaan.

Tapi sayang api sudah menghanguskannya hingga tinggal setengah. Ujang mematikan api lalu mengambilnya. Sisa benalu yang belum terbakar dia simpan, sedangkan abu hasil pembakaran ia kumpulkan.

Ia kemudian beranjak ke bagian pinggir desa. Dari sana, Ujang berjalan mengelilingi desa sambil menaburkan abu itu. Pikirannya sederhana: jika benalu itu bisa membuatnya tak terlihat, tentu desanya pun juga tak akan terlihat oleh siapapun, terutama oleh pihak Belanda yang akan menyerang desanya.

Karena Ujang masih seorang bocah yang polos, ia tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah ia menaburkan semua abu dan bertemu antara titik awal dan akhir, Ujang pun berada di dalam lingkaran yang ia buat.

Ia pulang ke rumah dan melanjutkan hidupnya, ia tidak sadar telah membawa malapetaka unuk semua orang di desa. Terlebih warga yang masih berada di luar desa, mereka tidak pernah menemukan desanya. Sungguh ironis sekali.

Konon para penduduk desa yang berada di dalam lingkaran belum sadar bahwa mereka kini sudah berada di dimensi yang lain. Sampai suatu ketika pasukan Belanda menyerang, mereka hanya melewatinya begitu saja. Dari sanalah mereka baru sadar, bahwa orang dari luar desa tidak bisa melihat mereka dan desanya.

Ya, desa mereka kini 'hilang' bak ditelan bumi. Dalam pandangan orang biasa, tidak ada rumah, ladang, dan manusia disana. Hanya lahan kosong yang luas dan mulai ditumbuhi ilalang hingga semak belukar. Para warga yang kaget dengan hilangnya desa itu memberi nama daerah itu Cigadung, sebuah nama yang hampir mirip dengan desa Pegadungan yang hilang.

Gapura desa Cigadung Banjarharjo Kabupaten Brebes

Warga sekitar percaya, penduduk Pegadungan bisa keluar-masuk desa seperti biasa, hanya saja dimensi waktu mereka berbeda. Mereka tidak terbatas ruang dan waktu lagi. Konon mereka tidak mengalami penuaan, bahkan kematian. Ujang yang dulu berumur 10 tahun, sampai sekarang pun masih tetap seorang bocah. Ia pun masih mengembala kerbau seperti biasanya.

Para penduduk sekitar Pegadungan percaya, setiap kali "prepegan" (hari menjelang lebaran) pasar Banjarharjo menjadi sangat ramai sekali. Jalanan dipenuhi oleh pedagang kaki lima. Tidak hanya manusia, konon warga Pegadungan pun ikut berbelanja.

Seperti dikisahkan oleh akun twitter @BaelahHeru, seorang penduduk setempat yang menceritakan kisah dan pengalamannya seputar desa Pegadungan. Ia juga membagikan beberapa kisah mistis seputar desa yang hilang itu dan kemunculannya terutama saat 'prepegan'.

Bagi beberapa orang yang mungkin pikirannya kosong, tidak stabil, banyak pikiran, atau memang diberi kelebihan maka akan melihat beberapa orang yang berpenampilan sangat sederhana. Mereka memakai pakaian alakadarnya seperti penduduk pribumi di jaman kolonial dan ikut bergerumul dengan para pembeli lainnya untuk berbelanja.

Saat para pedagang pulang ke rumah, ada saja uang koin jaman dahulu yang tercampur. Padahal ia yakin tadi di pasar semua uangnya kertas dan masih baru.

Pedagang lainnya yang bernasib lebih buruk harus menelan ludah karena sebagian uang di tasnya berubah menjadi daun kering yang terlipat. Ya, mereka tahu ini ulah warga Pegadungan yang ikut berbelanja. Penduduk desa Pegadungan yang hilang itu memang ada dan kadang menunjukan eksistensinya.

Pernah suatu ketika saat musim panen tiba, sebagian orang ikut menjadi buruh untuk mengarit padi. Termasuk pak Min, yang ikut mengarit padi dimana saja ada yang panen. Ia tampak senang ketika sesorang menghampirinya dan menawarkan pekerjaan untuk memanen padi di ladangnya.

Ia tidak sadar bahwa ia telah masuk ke desa Pegadungan dan memanen padi disana. Sampai semuanya selesai, ia mendapatkan dua karung gabah sebagai upah. Karena berat untuk dibawa keduanya sekaligus, ia berniat membawanya satu per satu ke rumah.

Awalnya ia tidak menaruh curiga. Ketika karung pertama sudah diletakkan di rumah dan ia berniat mengambil satu lagi, pak Min tak pernah menemukan gabahnya lagi. Padahal ia yakin betul dimana terakhir kali ia meletakkannya. Bukan hanya gabahnya, desa dan ladang yang ia datangi tadi sudah tidak ada, lenyap begitu saja dan hanya meninggalkan lahan kosong dan hutan.

Tapi pak Min termasuk beruntung, sudah masuk ke desa Pegadungan dan masih bisa keluar dari sana. Beda cerita dengan seorang gadis tetangga desa lainnya. Sekitar tahun 2014 lalu sempat gempar karena hilangnya seorang gadis yang kurang dari seminggu lagi dia akan melangsungkan pernikahan. Namun sayang nasib berkata lain, dia disenangi oleh pemuda desa Pagadungan dan dibawa kesana.

Ya, untuk hidup yang abadi, kekal dengan cinta gilanya. Kabar ini sontak membuat warga lainnya gempar, entah usaha apa saja yang dilakukan orang tua dan calon pasangannya. Tapi hingga kini, gadis yang hilang itu belum berhasil ditemukan.

Lalu bagaimana dengan nasib warga Pegadungan yang berada di luar desa dan tidak bisa masuk akibat ulah Ujang? Konon menurut cerita lainnya, mereka yang tidak bisa masuk ke desa akhirnya membuat desa di sekitar sana. Lebih tepatnya sebelah utara Pegadungan, sebuah desa yang disebut Cigadung.

Ada juga kesaksian dari orang yang sempat hampir masuk ke desa Pegadungan. Sebut saja namanya mang Asep, dia asli Pekalongan dan sudah memiliki keluarga. Suatu hari ia hendak mudik dan harus melewati daerah Cigadung.

Saat sampai di Pasar Banjarharjo, ia harus menghentikan perjalanannya dikarenakan ada barang yang tertinggal. Mau tidak mau, mang Asep putar balik. Saat dia melewati desa Cigadung, ada jalan di tengah-tengah persawahan.

Jalan setapak kecil dimana pada bagian pinggir kiri dan kanan jalan tersebut ada dua obor bambu sebagai penerangannya. Mang asep tidak menaruh curiga, maklum dia adalah pendatang di sini jadi kurang hafal seluk beluk desa tetangganya.

Dalam pikirannya, itu mungkin hanya jalan biasa. Soal obor bambu, mungkin karena masih dalam suasana lebaran. Kebetulan ada beberapa desa yang merayakan takbiran dengan pawai obor. Ia tidak tertarik masuk ke jalan kecil tersebut dan melanjutkan perjalanan.

Tapi saat dia balik lagi setelah mengambil barangnya, ia terkejut. Jalan itu sudah tidak ada lagi, tidak ada jalan yang pinggir kanan dan kirinya ada obor bambu. Semua memakai penerangan lampu, dan lebaran pun sudah seminggu berlalu.

Setelah pulang dari sana, mang Asep bercerita kepada istri dan mertuanya. Mereka menyimpulkan bahwa itu jalan masuk ke desa Pegadungan. Untung saja mang Asep tidak belok dan masuk kesana. Kalau sampai itu terjadi, mungkin ia akan ikut menghilang juga.

Kisah berikutnya diceritakan sendiri oleh sang penulis di akun twitter. Ia menceritakan kisah desa Pegadungan kepada gurunya, sebut saja Gus Ulil. Beliau mempunyai kelebihan yang istimewa karena setiap kali ia bercerita, apa yang ia bicarakan akan dilihatnya secara batin tentang benar tidaknya cerita tersebut.

Tapi sayang, setelah ia bercerita gus Ulil hanya diam saja seakan tidak menggubris ceritanya. Beliau hanya mengangguk-ngangguk tanpa berkomentar. Sampai sebulan kemudian mereka bertemu lagi.

(Percakapan yang terjadi kemudian memakai bahasa Jawa. Akan kami terjemahkan secara langsung dengan beberapa perubahan tanpa mengubah esensi dan jalan cerita)

Gus ulil bercerita, "Dulu di tempatku juga ada yang hilang, 30 tahun lamanya. Pulang-pulang istrinya sudah mati bahkan anaknya sudah menikah."

"Awal mulanya, dia sedang melakukan ronda sendirian, keliling desa. Naahh... tiba-tiba ada pohon beringin di tengah- perempatan jalan"

Singkat cerita, ia heran kenapa ada pohon beringin di sini. Padahal setahu dia, sebelumnya tidak ada. Karena penasaran, ia menyentuhnya. Apakah benar ini pohon beringin sungguhan?

Ya, pohon itu terasa seperti pohon biasa. Setelah menyentuhnya, ia balik arah dan berniat keliling lagi. Tapi aneh, dia merasa asing dengan desanya sendiri. Bangunan dan rumahnya tampak seperti bangunan pada masa penjajahan dulu.

Tak ada seorang pun yang ia kenal. Akhirnya ia bertanya kepada salah satu warga sana, ia ada dimana? Orang itu memberitahu bahwa dia sekarang berada di kampungnya, tapi bukan kampung manusia, jelasnya.

Pemuda itu sangat kaget dan bertanya bagaimana caranya agar ia bisa kembali? Warga desa yang lainnya berniat membantu, namun sayang mereka tidak mampu. Mereka juga tidak bisa membuka dan menembus gerbang gaib desa itu.

Sampai akhirnya ia diijinkan untuk menginap di rumah salah satu warga. Setiap malam ia berkeliling untuk mencari pintu keluar. Hampir setiap malam ia tidak pernah tidur, tidurnya ia ganti di waktu pagi menjelang siang.

Sampai ia bertemu dengan sesepuh desa tersebut dan memberitahukan cara agar ia bisa keluar. Dia disuruh mencari pohon beringin yang ia temui dulu. Jika sudah ketemu, sentuh pohon itu maka dia akan bisa pulang.

Anehnya, dia tak kunjung menemukan pohon beringin itu meskipun sudah mencari kesana-kemari. Akhirnya setelah genap 30 hari mencari, ia menemukan pohon beringin di tengah-tengah perempatan. Ya, pohon beringin yang dulu ditemuinya tiba-tiba muncul begitu saja.

Tanpa pikir panjang, ia segera menyentuhnya dan berharap agar ia bisa pulang. Kasihan istrinya pasti gelisah mencarinya, dan anaknya yang baru berumur 10 tahun pasti merindukannya.

Setelah menyentuh pohon beringin tersebut is justru lebih kaget. Bagaimana tidak, ia berada di desa yang asing lagi. Bangunan dan rumah-rumah baru, bahkan jalanan aspal. Padahal sebelumnya itu masih jalan setapak, dan jarang ada rumah.

Ia langsung beranjak pergi menuju rumahnya. Tapi sesampainya di rumah, ia mendapati pemandangan yang asing. Ada seorang laki-laki paruh baya beserta anak dan istrinya yang tak ia kenal menempati rumah itu.

"Lho, kamu siapa?", tanyanya pada lelaki paruh baya.

Lelaki paruh baya itu tampak kaget dan seolah tak percaya. Yang berdiri di hadapannya adalah bapaknya yang 30 tahun lalu menghilang entah kemana.

"Bapak...!!!" teriak lelaki paruh baya itu.
"Lha kamu siapa?"
"Aku Andi pak, anakmu"

Dia tidak percaya, mana mungkin Andi yang sebulan lalu baru berusia 10 tahun sekarang sudah berkepala empat?

Akhirnya sesepuh desa pun datang, dan menjelaskan semuanya. Perihal dia yang hilang selama 30 tahun, istrinya yang selalu mencari kesana-kemari hingga wafat, sampai anaknya yang sekarang sudah memiliki keluarga sendiri.

Dia pun akhirnya bisa menerima semuanya. Meskipun ia masih merasa kepergiannya hanya beberpa hari saja. Namun yang terjadi di sini, dia hilang hingga 30 tahun lamanya.

"Lha yg menjelaskan ke dia siapa, gus?" tanyaku.

"Ya orang tua sana. Padahal dulu seangkatan dia, sekarang sudah berusia 60an. Lha dianya masih muda, seperti waktu hilang dulu sekitar umur 25" jawab gus Ulil. Ternyata dimensi waktu kita dan mereka berselisih sangat jauh sekali.

"Lha yang Pegadungan, yang kamu ceritakan bulan lalu, saya habis dari sana. Saya juga bertemu dengan anak kecil yang katanya membakar benalu itu." lanjut beliau.

"Kapan, gus? Kan gus Ulil di toko terus" tanyaku.

"Ya bukan sayanya, tapi cuma sukmanya" jawab gus Ulil bijak.

"Kamu masih ingat tidak? Sewaktu kamu bercerita, saya hanya diam saja sambil manggut-manggut?"

"Lha saya sudah sampai disana, di Pegadungan. Sudah ketemu sama anak kecil umur 5 tahunan yang tidak pakai baju, hanya pakai celana komprang putih."

"Sambil masih membawa benalu sisa yang dulu dia bakar, dia menghampiri saya."

"Gus, maaf dulu saya yang bakar ini. Silahkan jika anda mau." sambil menyodorkan benalu sisa tersebut.

"Tidak, tidak... Kamu bawa saja" jawab gus Ulil.

Saya mendengar cerita itu merinding, ternyata cerita soal desa Pegadungan yang hilang memang bukan isapan jempol belaka. Sosok Ujang memang benar-benar ada.

Demikianlah kisah misteri mengenai desa Pegadungan yang hilang. Mengenai desa Pegadungan tersebut, dari penglihatan kami memang benar ada. Tapi penyebab hilangnya, kami masih tidak yakin karena terkendala jarak.

Pendapat kami, desa tersebut menghilang mungkin disebabkan oleh 'sesuatu' yang kuat. Bisa dari sejenis benda gaib tingkat tinggi yang sangat langka, atau mantera dari ilmu terlarang.

Percaya atau tidaknya kami serahkan kepada anda sendiri. Semoga dengan adanya kisah ini bisa membuka mata dan wawasan anda bahwa 'mereka' memang ada di sekitar kita dan mungkin sedang memperhatikan anda. Salam.