Kisah Horor: Misteri Kamar Kakek

Cerita Horor Kisah Nyata Kamar Kakek

Kali ini kami akan membagikan kisah horor berjudul "Misteri Kamar Kakek", sebuah cerita mistis yang disadur dari kisah nyata. Cerita ini menggambarkan pengalaman Vania saat terjebak di lingkaran setan gara-gara keluarganya nekat membuka pintu kamar kakek.

Cerita ini ditulis oleh akun twitter @Bagir_girba yang kami tulis ulang dengan mengganti beberapa susunan kata dan kalimat tanpa mengubah alur atau jalan cerita.

Namaku Vania, dan ini adalah cerita horor yang merupakan kisah nyata dari apa yang pernah kualami saat aku masih kecil. Selamat membaca.

Malam itu begitu tenang, suara jangkrik bernyanyi dengan indahnya. Dari kejauhan terdengar suara ayah yang sedang tertawa saat menonton acara kesayangannya.

Aku beranjak dari kasur dan menuju ke dapur untuk mengambil segelas air, ternyata di sana ada bunda yang sedang mencuci piring. Bunda sempat bertanya kenapa aku belum tidur? Aku bilang kalau aku haus sampai tak bisa tidur.

Tak lama kemudian terdengar dering telepon dari ruang tamu. Ayah yang mengangkatnya. Ternyata itu Om Irwan. Dia memberi tahu bahwa kakekku sedang sakit. Ayah berbicara lama sekali di telepon.

Saat ia mengakhiri teleponnya, ia berkata "Bun, besok kita berangkat ke rumah bapak. Kata Irwan, bapak sakit". Bunda lalu mulai menyiapkan perlengkapan untuk menginap di sana. Bunda kemudian masuk ke kamarku dan bilang kalau besok kita akan berangkat ke rumah kakek. Aku terpaksa harus izin sekolah selama beberapa hari.

Sejujurnya aku tak terlalu suka pergi ke rumah kakek. Aku tak terlalu akrab dengannya, tapi aku begitu dekat dengan nenek. Ditambah lagi rumah kakek itu bergaya klasik dan terkesan sangat kuno. Namun karena kakek sedang sakit, mau tak mau aku harus pergi ke sana.

Ayam mulai berkokok saat ayah masuk ke kamarku dan menyuruh segera bersiap. Vian, adikku, sangat senang jika kami pergi ke rumah kakek. Ya, dia itu cucu kesayangan nenekku. Wajar jika dia merasa sangat senang.

Kami pun besiap melakukan perjalanan. Ayah memasukkan barang-barang kami ke mobil dan kami pun berangkat. Perjalanan kami tidak terlalu jauh. Hanya 2 jam perjalanan dan kami pun sampai di rumah kakek.

Kami disambut nenek yang datang dengan wajah gembira. Nenek bergantian menciumi kedua cucunya dengan penuh rasa sayang, lalu kami pun diajak masuk ke dalam rumah.

Kami melihat kakek sedang tertidur di sofa. Di sebelahnya ada Om Irwan dan Tante Della yang berdiri untuk menyambut kami. Kami mendekat pada kakek dan mencium tanganya. Entah kenapa aku merasa biasa saja dan tidak merasa khawatir sedikitpun.

Ayah memulai pembicaraan tentang kondisi kakek dan membujuknya untuk pergi ke rumah sakit. Namun kakek meyakinkan kami bahwa dia baik-baik saja dan tidak perlu dibawa ke rumah sakit.

Kedua orangtuaku mulai menurunkan barang-barang kami. Bunda bilang kalau kita akan menginap selama 2 hari sampai kondisi kakek membaik.

Saat siang, aku duduk di luar rumah. Aku tidak suka dengan bau ruangan di dalam rumah. Baunya seperti aroma barang-barang kuno. Bau itu membuatku merasa tidak nyaman jika terlalu lama berada di dalam ruangan.

Saat langit benar-benar gelap, aku mulai merasa bosan. Sedari tadi aku memang hanya berdiam diri di dalam kamar. Tak lama kemudian nenek memanggilku untuk makan malam.

Kami semua berkumpul di meja makan. Wajah kakek tampak sangat kelelahan. Aku duduk di sebelahnya. Aku merasa canggung karena aku memang tidak terlalu dekat dengan kakek. Tapi aku beranikan diri untuk bertanya padanya,

"Kakek sudah enakan?" tanyaku.
"Tiap hari juga kakek enakan" jawabnya.
Aku senang karena kakek menjawab pertanyaanku.

Selesai makan, kami berkumpul di ruang tamu sedangkan kakek akan tidur di sofa. Akupun memutuskan untuk pergi ke kamar karena aku mulai merasa mengantuk. Tak lama kemudian aku pun tertidur karena aku merasa sangat lelah dan bosan.

Teng...teng...teng
Terdengar bunyi jam yang menunjukan pukul 12 malam.

Aku terbangun karena suara jam yang sangat berisik itu. Jam itu adalah hal yang paling aku benci di rumah kakek karena setiap aku menginap, jam itu selalu membangunkan aku di tengah malam.

Jika sudah terbangun, aku sulit untuk tidur lagi. Namun sayup-sayup terdengar suara ayah dan kakek sedang membicarakan sesuatu yang penting. Dari apa yang aku tangkap, kakek menitipkan nenek pada ayah jika suatu saat ia sudah tidak ada di dunia ini.

Aku sedikit sedih mendengarnya. Bunda yang tertidur di sampingku terbangun, ia menyuruhku tidur kembali. Aku mengiyakan tapi aku ingin ke toilet dahulu. Saat keluar dari kamar, aku melewati kamar kakek. Kamarnya digembok.

Aneh. Terakhir kali kesini kamar itu tidak digembok, hanya selalu tertutup. Ada lagi keanehan yang selalu kurasakan dari rumah kakek, kenapa kakek selalu tidur di sofa? Tapi yang paling membuatku penasaran adalah, tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam kamar itu selain kakek.

Ayah pernah bercerita, saat ia masih kecil dan baru pindah ke rumah itu, kakek tidak mengizinkan siapapun masuk sebelum kakek memeriksa semua ruangan di rumah itu. Setelah semuanya masuk, kakek bilang kalau ayah dan Om Irwan tidak boleh memakai kamar yang paling ujung karena akan dijadikan gudang.

Tapi karena ayah penasaran dan ingin melihat semua ruangan, ia pun memutuskan melihat kamar itu. Saat ayah mencoba membuka pintu kamar itu, pintunya sangat berat seperti diganjal sesuatu dari dalam. Hampir setiap hari ayah mencoba membukanya tapi selalu bisa karena pintu itu terlalu berat.

Padahal ayah dan Om Irwan sering melihat kakek masuk ke dalam ruangan itu dan membuka pintu dengan mudahnya. Sekalinya kakek masuk, ia akan menghabiskan waktu hingga berjam-jam lamanya di dalam ruangan itu.

Kadang ia bertanya pada nenek tentang apa yang kakek lakukan di dalam ruangan itu. Tapi nenek selalu bilang kalau kakek hanya membersihkan dan merapikan ruangan itu.

Sesekali kakek menaburkan garam di depan pintu kamar. Saat ayah bertanya, kakek hanya bilang itu dilakukan agar tidak ada kelabang yang keluar dari dalam ruangan. Apa itu masuk akal?

Aku pun melanjutkan ke kamar mandi lalu bergegas kembali tidur. Tiba-tiba terjadi kegaduhan di ruang tamu. Aku berlari kesana dan ternyata kondisi kakek memburuk, nafasnya terengah-engah. Dengan panik ayah dan Om Irwan membawa kakek ke mobil untuk pergi ke rumah sakit.

Ayah, Om Irwan, dan nenek ikut pergi ke rumah sakit. Sedangkan aku, bunda, Vian, dan istri Om Irwan menunggu di rumah. Kami begitu khawatir menunggu kabar dari ayah, kami semua berharap kakek baik-baik saja.

Satu jam kemudian ada telepon dari ayah, "Bapak sudah nggak ada, bun". Tangisan pun pecah saat itu. Kami merasa sangat sedih dan kehilangan. Semuanya mesih merasa tak percaya bahwa kakek sudah meninggal.

Mobil ambulance datang diiringi dengan suara sirine yang memekakkan telinga. Semua tetangga mulai berdatangan dan ikut berbela sungkawa. Jenazah kakek diturunkan dari ambulance bersamaan dengan iringan tangis kami yang mendampingi kepergian kakek.

---

Setelah 7 hari kepergian kakek, ayah memberi tahu bunda bahwa kami akan pindah kesini. Mendengar itu, aku sempat menolak. Aku bilang pada ayah kalau aku tidak betah tinggal di sini. Ayah bilang ingin tinggal bersama nenek, tapi nenek tidak mau meninggalkan rumah yang penuh kenangan itu.

Ayah sempat bertanya soal apa yang membuatku tidak mau tinggal di sini. Kujelaskan semuanya. Aku bilang rumah ini tampak tua dan menyeramkan, baunya juga tidak enak. Ayah dan bunda justru tersenyum mendengar jawabanku.

Ayah memberi solusi bagaimana jika rumah itu direnovasi agar sedikit lebih modern. Ayah pun meminta persetujuan pada nenek dan Om Irwan untuk merenovasi rumah ini. Mereka setuju, renovasi akan dilakukan 3 hari lagi.

Entah kenapa malam ini terasa begitu sepi. Ah, mungkin karena 1 minggu sebelumnya setiap malam selalu ada acara tahlilan, sedangkan malam ini tidak ada. Aku benar-benar benci dengan keheningan ini.

Jam 11 malam aku sangat ingin ke toilet. Tapi aku sedikit takut karena suasana rumah yang sepi. Aku sempat minta diantar bunda, tapi bunda tampak sangat mengantuk dan aku tak tega mengganggu tidurnya.

Akupun memberanikan diri ke kamar mandi seorang diri. Saat aku melewati kamar itu, entah kenapa aku merasa ketakutan. Kamar mandi itu lokasinya bersebelahan dengan kamar kakek. Dan di kamar mandi, aku mendengar sesuatu.

Saat aku mencari darimana asalnya, ternyata suara itu berasal dari kamar sebelah. Suaranya seperti suara hewan yang sedang mencakar-cakar tembok dari dalam ruangan itu.

Aku teringkat kalau ayah bilang ruangan itu dijadikan gudang oleh kakek, aku berpikir positif mungkin itu cuma suara tikus. Dengan santai aku berjalan kembali ke kamar. Tapi saat aku berjalan menjauh, suara itu jadi semakin keras. Aku merasa sangat ketakutan dan lari secepat mungkin ke kamar. Suasana saat itu cukup menyeramkan karena sangat sepi.

Pagi pun tiba, ayah bersiap untuk berangkat kerja. Aku pun bersiap pergi ke sekolah. Saat sarapan, ayah membicarakan soal kamar kakek. Ayah meminta izin  untuk membuka rantai gembok karena ia ingin membersihkan ruangan itu. Om Irwan juga setuju dan menawarkan diri untuk membantu ayah.

Sepulang sekolah, aku langsung masuk ke dalam rumah. Terdengar suara keras menghantam tembok, Saat aku berlari ke sumber suara, ternyata Om Irwan sedang mencoba menjebol pintu ruangan itu.

Aku sempat bertanya pada Om Irwan kenapa ia berusaha menghancurkan pintunya?
Om Irwan bilang pintunya sangat berat seperti diganjal sesuatu dari dalam. Ia sudah mencoba seharian tapi tidak cukup kuat untuk mendorong pintu kamar itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menunda membuka pintu itu sampai ayah pulang.

Sebelum adzan maghrib berkumandang, ayah pun sampai di rumah. Om Irwan menceritakan kejadian tadi siang. Ayah bilang akan mencobanya sehabis isya nanti.

Setelah sholat isya, ayah dan Om Irwan mencoba membuka ruangan itu. Meski mereka mengeluarkan semua tenaga sekeras mungkin, pintu itu tetap tidak terbuka. Ayah berpikir mungkin ada lemari besar yang menghalangi pintu itu.

Akhirnya datang juga hari renovasi yang dijanjikan. Para tukang mulai datang dan mendengarkan instruksi ayah. Ia meminta semuanya untuk membuka kamar di ujung terlebih dahulu.

Ternyata mereka semua juga kesulitan untuk membukanya, padahal ada 8 orang di situ. Sang mandor berinisiatif memakai gergaji mesin untuk menghancurkan pintu itu. Ayah setuju, dan mulailah mereka menyalakan gergaji mesin dan mencoba membuka pintu itu.

Usaha itu membuahkan hasil. Pintu itu mulai hancur karena gergaji mesin. Saat semua bagian pintu sudah digergaji, tukan bangunan itu menendang pintu sekuat tenaga.

Akhirnya pintu ruangan itu terbuka. Saat itu juga ada angin bertiup sangat kencang dari dalam ruangan itu. Kami semua yang melihat isi ruangna itu merasa kaget dan aneh. Kamar itu hanya ruangan kosong. Tak ada apapun di dalamnya.

Lalu apa yang mengganjal pintu sampai sangat sulit dibuka? Tukang bangunan berspekulasi mungkin pintunya memuai dan engselnya berkarat sehingga sulit untuk dibuka. Itu memang penjelasan yang paling masuk akal.

Saat aku hendak ke toilet, aku pun melewati ruangan itu. Ruangan itu terasa pengap karena tidak ada jendela. Aku teringat suara cakaran hewan di tembok dalam kamar. Padahal itu hanya ruangan kosong, lalu darimana asal suara itu?

Proses renovasi berjalan lancar,. Setelah satu minggu, renovasi pun selesai. Ayah mulai mengambil barang yang tersisa di rumah kami sebelumnya untuk pindah ke sini.

Aku meminta pada ayah kalau aku ingin punya kamar sendiri. Ayah bilang aku boleh memilih kamar mana saja asalkan jangan kamar kakek. Ia beralasan kamar itu akan dijadikan gudang karena ruangannya kecil dan juga pengap.

Aku memilih kamar paling depan, kamar itu dekat dengan kamar ayah dan kamar nenek. Saat aku merapikan barang-barangku, aku mendengar suara Om Irwan yang memanggil ayah dari arah dapur. Karena penasaran, aku pun ikut ke belakang.

Ternyata Om Irwan kesulitan membuka kamar kakek, padahal kamar itu tidak pernah dikunci sejak direnovasi beberapa waktu lalu. Ayah dan Om Irwan berusaha sekuat mungkin mendorong pintu itu. Tapi sama seperti sebelumnya, pintu itu begitu berat seolah diganjal dari dalam.

Ayah memutuskan untuk memanggil tukang pintu. Tukang akan datang besok siang. Saat jam dinding menujukan pukul 22.30, tiba-tiba terdengar suara teriakan bunda memanggil ayah dari arah belakang. Kami semua langsung menuju ke tempat bunda.

Bunda sedang berdiri menghadap kamar itu. Saat semuanya tiba, bunda menyuruh kami diam dan mendengarkan suara di kamar itu. Terdengarlah suara seperti sesuatu yang mencakar-cakar pintu dari dalam, suara yang sama dengan yang pernah aku dengar dari kamar mandi dulu.

Nenek khawatir ada hewan yang terjebak di ruangan itu. Ayah menyuruh semuanya tenang karena besok tukang pintu akan datang. Akhirnya kami pun kembali ke kamar masing-masing untuk tidur.

Malam semakin larut, entah kenapa aku tidak bisa tidur. Suara cakaran itu semakin keras dan benar-benar mengganggu. Tiba-tiba adikku Vian menangis. Itu membuatku merasa tambah kesal, aku benar-benar jadi tidak bisa tidur sama sekali.

Aku bergegas ke kamar bunda. Ternyata dia sedang menenangkan Vian. Vian terus menangis hingga akhirnya bunda membawa Vian ke ruang tamu. Tapi Vian tetap menangis dan menunjuk ke arah pintu. Dia ingin keluar dari rumah, tapi bunda tidak menuruti keinginannya karena sudah larut malam. Vian terus menangis sampai akhirnya dia tertidur.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 3 pagi saat aku akhirnya bisa menutup mata. Saat aku membuka mata lagi, tenyata hari sudah pagi. Aku terbangun karena suara berisik dari mesin gergaji. Tukang pintu sudah datang dan mencoba membuka pintu kamar itu lagi.

Akhirnya pintu itu bisa terbuka. Dan sama seperti sebelumnya, ada hembusan angin yang kuat begitu pintu itu terbuka. Aneh, karena di kamar yang kecil itu tidak ada satupun jendela atau ventilasi. Lantas darimana angin itu berhembus?

Yang membuat kami tambah heran, tidak ada hewan yang terjebak di sana seperti perkiraan nenek. Di kamar itu tidak ada lubang apapun yang menjadi akses binatang untuk masuk. Lalu suara apa yang mencakar-cakar pintu di malam hari? Akhirnya ayah memutuskan untuk tidak memasang pintu pada kamar itu karena khawatir nanti tidak bisa dibuka lagi.

Menjelang malam, Om Irwan dan Tante Della pergi ke Bandung karena orang tua Tante Della sedang sakit. Rumah jadi terasa tambah sepi dari biasanya. Setelah sholat maghrib, nenek sedang menyiapkan makan malam bersama bunda saat tiba-tiba Vian menangis dengan keras.

Kami semua bergegas ke arah Vian di ruang tamu. Dia sedang duduk di sofa dan menangis begitu keras. Dia menjerit dan bilang kalau dia tak mau duduk dipangku. Dipangku? Sama siapa?

Bunda bertanya dia dipangku siapa, dia bilang
"Vian nggak mau dipangku sama kakek! Badan kakek dingin!"

Sontak kami semua disitu kaget. Bunda segera membawa Vian ke ruang makan dan pura-pura tidak peduli dengan apa yang Vian katakan. Jujur saja kami semua merasa ketakutan, tak terkecuali nenek. Ayah mencoba mencairkan suasana dengan membahas tentang sekolahku. Namun itu tak merubah keadaan, aku tetap ketakutan.

Selesai makan malam, aku hendak ke kamar untuk mengerjakan PR. Saat aku melewati kamar itu, aku merasa kamar itu menyeramkan karena biasanya kamar itu selalu tertutup. Ruangan kamar itu gelap. Ayah mungkin lupa memasang lampu di kamar itu.

Aku pergi ke kamar ayah dan bilang untuk memasang lampu di kamar belakang itu. Ayah bilang dia sudah memasang lampu itu tadi siang. Akhirnya ayah ke ruangan itu dan ternyata lampunya memang mati. Ayah mengganti lagi lampunya dan ruangan itu jadi terang. Aku pun merasa tenang karena ruangan itu jadi tidak menyeramkan.

Sekitar pukul 21.30 aku mendengar suara bunda memanggil ayah. Bunda meminta ayah memasang lampu di kamar itu. Tentu saja ayah heran, ia baru mengganti lampu beberapa jam yang lalu. Aku pun mengiyakan perkataan ayah. Tapi lampu itu memang mati lagi.

Akhirnya ayah pun mengganti lampu di kamar itu. Tiba-tiba Vian menangis di kamar. Saat kami datang, dia sedang duduk di kasur. Bunda bertanya ada apa, dia menjawab "Vian kesempitan disini, bunda. Banyak orang di kasur Vian"

Kami bingung karena dilihat bagaimanapun, tidak ada orang selain kami di kamar itu> Nenek datang dan menenangkan kami, nenek bilang Vian hanya bermimpi.

Setelah Vian tenang, kami berkumpul di ruang tamu. Tiba-tiba kami mendengar suara benda jatuh di dapur. Bunda memastikan ada apa di dapur. Belum lama ia beranjak dari ruang tamu, bunda berteriak kencang.

Kami semua langsung berlari menuju ke dapur. Namun apa yang kami lihat sungguh di luar nalar, sesosok wanita tua yang bungkuk tengah menatap kami semua dari dapur! Tak lama kemudian lampu dapur mati dan yang terlihat hanya kedua matanya yang berwarna merah.

Nenek yang melihat sosok itu lalu melemparkan sesuatu ke arah dapur dan membaca doa-doa pendek. Tak lama kemudian sosok itu menghilang dan lampu dapur kembali menyala. Kami pun kembali ke ruang tamu sambil membicarakan hal itu.

Nenek bilang, "Namanya makhluk halus ya datang untuk menyesatkan kita. Dia menunjukkan wujudnya seperti itu agar kita takut. Tujuannya membuat kita tidak ingat pada Allah"

Ayah memutuskan untuk begadang menjaga kami. Nenek terlihat tenang dan terus memegang tasbihnya. Mulutnya tak berhenti membaca kalimat dzikir, dia tak terlihat takut sedikitpun.

Pagi pun tiba, ayam berkokok membangunkan kami dari malam yang mencekam. Meski kami beraktifitas seperti biasa, namun kami masih merasa takut saat ke kamar mandi yang posisinya dekat dengan dapur dan kamar kakek.

Jadinya kami bergiliran ke kamar mandi sambil ditunggu satu sama lain. Saat aku keluar dari kamar mandi, ayah sedang membersihkan kamar itu. Lampu yang dipasang tadi malam hancur dan berserakan di lantai. Ia memasang kembali lampu di kamar itu.

Saat aku bersiap berangkat kesekolah, tiba-tiba...
DUARRRRRR...!!

Terdengar suara ledakan dari arah dapur. Ayah segera berlari memastikan apa yang terjadi. Ledakan itu sepertinya berasal dari lampu di kamar kakek. Saat aku akan melihat apa yang terjadi, ayah berlari keluar dari kamar itu dan menyuruh kami semua keluar dari rumah karena api sudah membakar langit-langit kamar.

Aku dan bunda keluar rumah untuk mencari bantuan. Para tetangga berdatangan untuk membantu. Tapi pada saat yang lain datang ke kamar kakek, tidak ada api di kamar itu! Bahkan bekas terbakar pun tidak ada!

Ayah tertegun bingung pada apa yang sedang terjadi. Jelas-jelas tadi apinya membakar langit-langit kamar. Nenek berinisiatif meminta maaf kepada para tetangga yang hadir. Mereka pun kembali ke rumah masing-masing.

Kami lalu berkumpul di ruang tamu. Ayah merasa sangat bingung dan tidak tahu harus mengatakan apa. Nenek menenangkan kami, "Tenang nak, ibu pun takut. Apa kita pindah saja? Kita jual rumah ini"

Ayah meminta waktu untuk mencari solusi. Tak berapa lama terdengar seseorang mengetuk pintu, ternyata pak RT yang datang. Pak RT datang untuk memberikan arahan tentang rencana seputar keamanan warga sekitar. Selain itu, beliau juga hendak memberitahu sesuatu,

"Pak, Bu, mohon maaf saya dapat laporan dari warga. Kalau bisa di malam hari jangan terlalu gaduh karena para warga terganggu dengan keramaian di rumah ibu dan bapak"

Kami semua sontak bingung dengan perkataan pak RT. Kami memberitahu pak RT kalau rumah ini selalu sepi. Nenek memberi tahu bahwa hanya ada 5 orang di rumah ini. Semua penghuninya pun tidak pernah melakukan kegiatan yang berisik di malam hari.

Pak RT bilang dia tidak tahu-menahu mengenai masalah itu, beliau hanya menerima laporan dari warga dan bermaksud menyampaikannya saja. Tak lama kemudian pak RT pun pamit.

Kedatangan pak RT menambah daftar deretan kejadian yang membuat kami merasa kebingungan. Setelah berembuk, ayah memutuskan bahwa kami akan tinggal sementara di rumah lama. Kami akan berangkat besok pagi dan nenek pun di minta ayah untuk menyiapkan pakaiannya.

Saat makan malam tiba, bunda dan nenek menyiapkan makan malam sementara ayah tertidur di ruang tamu karena kelelahan memikirkan apa yang sudah terjadi selama ini.

Makanan sudah disiapkan di atas meja, tiba-tiba listrik di seluruh rumah mati. Nenek membangunkan ayah untuk menyalakan listrik. Ayah yang terbangun segera bergegas menyalakan meteran listrik.

Saat lampu menyala, bunda berteriak kencang. Kami langsung menuju ke ruang makan. Alangkah terkejutnya kami, semua makanan di meja berantakan. Semuanya berceceran di lantai. Tak hanya itu saja, tiba-tiba muncul kobaran api di kamar kakek.

Terang saja kami semua panik. Nenek menyuruh kami tenang dan keluar rumah. Sesaat sebelum kami keluar, tiba-tiba terdengar banyak suara tawa dari seluruh penjuru rumah. Karena takut, aku dan Vian memeluk bunda.

Nenek melantunkan ayat-ayat suci sedangkan ayah berusaha memadamkan api di kamar itu. Sesaat kemudian adzan isya berkumandang, suar-suara tawa itu lenyap, bahkan api di kamar kakek tiba-tiba padam seketika.

Ayah semakin yakin ada yang tidak beres dengan rumah ini. Bunda terus menangis, begitu juga aku dan Vian. Kami semua ketakutan. Nenek berkata bahwa kita harus segera keluar dari rumah ini sekarang juga.

Tanpa pikir panjang kami langsung menyiapkan barang dan segera bergegas pergi dari rumah itu. Kami semua langsung masuk ke dalam mobil. Ayah menyalakan mesin dan kami mulai pergi menjauh dari rumah itu.

Perjalanan terasa mendebarkan. Di sepanjang jalan aku terus memikirkan kejadian di luar nalar ini. Nenek yang tadinya terlihat tenang dan berani, sekarang tampak takut dan kelelahan.

Beberapa jam kemudian kami sampai di rumah yang lama. Aku merasa sangat lelah dan berniat untuk langsung tidur. Tapi saat kami keluar dari mobil, kami semua kaget setengah mati. Kami sedang berada di depan rumah kakek!

Bagaimana bisa terjadi? Padahal sebelum turun dari mobil, yang kami lihat adalah rumah lama kami. Bunda bertanya pada ayah kenapa kita kembali lagi kesini? Bunda mulai berteriak dan tetangga kami berdatangan. Ayah menceritakan apa yang terjadi pada mereka.

Beberapa orang bilang mereka memang melihat kami naik ke mobil itu, tapi mobilnya hanya diam dan tidak bergerak. Jadi mereka melihat kami hanya menaiki mobil itu tanpa menjalankannya.

Mendengar semua itu, nenek mulai menangis dan meminta tolong pada warga sekitar. Kami tidak mau masuk ke dalam rumah lagi karena sangat ketakutan. Beberapa tetangga kami menawarkan untuk menginap di rumahnya. Tanpa pikir panjang kami pun menerima tawaran itu.

Kami menginap di rumah pak Rusdi. Beliau hanya tinggal dengan anak semata wayangnya, istrinya sudah lama meninggal karena sakit. Pak Rusdi mulai bertanya sebenarnya apa yang terjadi pada kami, ayah pun menceritakan semua yang terjadi pada kami.

Pak rusdi mendengarkan dengan seksama. Tak disangka, pak Rusdi pun bercerita bahwa dia pun merasa aneh pada rumah yang kami tempati. Menurut penuturan pak Rusdi, setiap ia pulang dari kantor dia sering melihat ada banyak orang yang masuk ke rumah kami.

Hampir setiap malam pak Rusdi tidak bisa tidur karena suara-suara di rumah kami sangat berisik, seolah ada banyak orang yang sedang berpesta. Kadang juga terdengar suara benturan pintu yang sangat keras sehingga pak Rusdi tak tahan dan melaporkan masalah itu pada pak RT.

Ayah menjelaskan bahwa di rumah itu hanya ada 5 orang. Kami pun tak pernah membuat kegaduhan sampai mengganggu para tetangga. Mendengar itu, pak Rusdi pun percaya. Dia juga merasa kalau rumah kami memang tidak beres.

Pak Rusdi menyarankan agar kami bersabar dan selalu ingat kepada Tuhan. Malam itu kami tidur berdesakan di dalam 1 kamar yang lumayan besar. Aku sangat ingin melupakan kejadian-kejadian itu dan berharap semua ini hanya mimpi, dan aku pun tertidur.

Suara ayam berkokok menandakan hari telah pagi. Saat aku buka mata, kami semua terbangun di rumah kakek!

Aku pun berteriak! Ayah, bunda, nenek, dan Vian pun terbangun. Aku benar-benar menjerit histeris. Semua benar-benar kebingungan. Bukankah semalam kami menginap di rumah pak Rusdi?

"Tenang... Tenang, jangan panik! Istighfar!" sahut ayah. Nenek terus beristighfar sedangkan bunda terus menangis, begitu juga dengan Vian.

Ayah bersama nenek pergi ke rumah pak Rusdi dan menanyakan apa yang terjadi. Sesampainya disana, ayah mengetuk pintu dan dibuka oleh seorang wanita.

"Permisi, saya mau ketemu sama pak Rusdi"
"Bapak siapa?" sahut wanita itu.
"Semalam pak Rusdi mengajak kami untuk menginap di sini. Tapi tadi pagi kami sudah ada di rumah, kami ingin bertemu dengan beliau" ayah menjelaskan.
"Maaf, pak. Dari semalam saya di rumah sama ibu. Tidak mungkin bapak menginap di sini tanpa sepengathuan kami" sahut wanita itu.
"Tolong panggilkan dulu pak Rusdi, beliau yang tahu semuanya"
"Maaf, pak. Kita bicarakan dulu di dalam" wanita itu mengajak ayah dan nenek masuk ke dalam rumahnya.

"Apa kamu bisa panggilkan pak Rusdi sekarang?" ayah terus memintanya.
"Maaf, sebelumnya darimana bapak tahu tentang ayah saya?"
"Maksudnya apa? Saya lagi urgent. Tolong, saya harus bicara sama pak Rusdi" jawab ayah
"Saya tidak tahu bapak kenal ayah saya darimana, tapi beliau sudah meninggal 3 tahun yang lalu" jawabnya.

Jawaban wanita itu membuat ayah dan nenek terhenyak. Mereka tak percaya dengan apa yang dikatakan wanita itu. Ayah dan nenek pun kembali ke rumah dengan keadaan tertekan dan kebingungan.

Ayah terlihat stress, begitupun dengan bunda yang tak henti-hentinya menangis. Nenek sangat kebingungan sampai tak tahu harus berbuat apa. Setelah kejadian itu, kami mencoba hidup normal seperti biasanya dan melupakan apa yang sudah terjadi. Namun tetap saja, kami selalu dibayang-bayangi ketakutan.

Saat aku sedang berada di kamar, terdengar suara nenek memanggilku dari arah dapur. Saat aku hendak menghampirinya, ternyata nenek sedang berada di kamar kakek. Aku pun mendekat ke arahnya dan bertanya ada apa.

Tiba-tiba nenek menghilang dalam sekejap. Karena ketakutan, aku mencoba lari dari kamar gelap itu. Aku berlari secepat yang aku bisa. Namun entah kenapa aku seperti berlari di tempat yang sangat luas dan tak berujung. Untuk mencapai pintu kamar itu rasanya sangat sulit.

Seolah aku hanya berlari di tempat, tapi aku tetap harus berlari. Aku mulai berteriak dan meminta tolong. Terdengar jawaban dari belakangku, "Mau kemana?"

Saat aku memalingkan wajah, tampak ada sepasang mata berwarna merah yang menatapku dengan menyeramkan. Lalu kudengar suara tawa yang saling bersahut-sahutan di sekeliling ruangan itu.

Aku berlari dan terus berlari, hingga akhirnya aku bisa keluar dari ruangan itu. Ayah dan nenek yang datang mendengar teriakanku tidak bisa berkata apa-apa. Ayah hanya membawa dan menenangkanku.

Tak lama kemudian, kami semua mendengar suara tawa yang sangat menyeramkan dari semua sudut rumah. Ayah menyuruh kami semua keluar dari rumah itu. Di luar rumah, bunda menangis sekeras-kerasnya.

Yang aneh, kondisi di luar rumah saat itu penuh dengan kabut. Ayah meminta bantuan pada tetangga di sekitar tapi tidak ada satupun orang yang datang. Beberapa saat kemudian tampak ada yang datang dari kejauhan, ia membuka pintu gerbang dan... itu kakek!

Yang datang itu kakek. Kami semua ketakutan dan bingung. Mungkinkah itu kakek? Bukankah kakek sudah meninggal dan bahkan sudah dimakamkan?

Nenek mencoba mendekat dan memeluk kakek, namun ia tak bisa menyentuhnya. Sosok kakek itu lalu meminta maaf, karena kesalahannya kami semua harus menderita.

Ayah bertanya pada kakek apa yang sebenarnya terjadi? Kakek pun mulai menceritakan semuanya. Menurut kakek, sekarang kami sedang terjebak di lingkaran setan. Itu yang menyebabkan kami semua tidak bisa pergi dari tempat itu.

Kakek bilang kalau seharusnya kami jangan pernah membuka pintu itu.
Sebenarnya dahulu saat kakek membeli rumah, rumah itu bekas tempat pesugihan. Karena harganya begitu murah, kakek mengambil resiko dan mencari cara agar keluarganya tetap merasa aman di rumah itu.

Lalu kakek membuat perjanjian dengan iblis pesugihan. Iblis itu berjanji tidak akan mengganggu keluarganya, tapi ia minta disiapkan ruangan khusus dimana mereka bisa berkumpul. Kakek setuju dengan hal itu.

Tak disangka, iblis itu juga meminta agar saat kakek mati kelak dia harus menjadi budak para iblis. Kakek menyetujuinya dengan syarat: saat kakek mati esok, iblis itu harus pergi dengan kakek setelah 40 hari.

Setelah mendengar itu nenek begitu terpukul dan menyalahkan kakek. Kakek bilang bahwa teror ini akan berakhir setelah 40 hari. Ayah bertanya bagaimana caranya agar kami semua bisa keluar dari lingkaran setan ini?

Kakek menyuruh kami untuk melewati kamar itu. Jangan melihat ke belakang, dan jangan takut dengan apapun yang terjadi. Kami hanya harus terus berlari ke depan.

Tak berapa lama tampak ribuan pasang mata merah muncul dari balik kabut. Kakek menyuruh kami agar melakukannya sekarang. "Pergi sekarang! Ingat, jangan pernah berhenti dan jangan lihat ke belakang!"

Sosok kakek tiba-tiba menghilang dan kabutnya menjadi hitam. Kami semua segera berlari masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar itu. Kami berlari secepat mungkin.

Saat kami menuju kamar kakek, ada banyak sosok tanpa kaki yang menunggu kami di depan. Ayah bilang kalau kami tidak boleh takut. Kami saling berpegangan tangan dan ayah bilang, "Jangan lepas tangan! Kalau kalian takut, tutup mata kalian!"

Kami mulai berlari sambil terus berpegangan tangan. Aku benar-benar ketakutan, rasanya seperti sedang bermimpi. Aku bisa mendengar ribuan suara tawa yang sangat keras. Suara itu membuat kami ingin berhenti, namun ayah memaksa kami untuk jangan melepaskan tangan satu sama lain dan tetap menutup mata.

Nenek terus berdzikir sambil berlari, ayah pun membaca surat-surat pendek. Entah kenapa mataku menjadi sangat berat, tapi aku terus berusaha agar tetap terjaga dan tidak tertidur. Aku melawan rasa kantuk ini dan aku pun membuka mata.

Saat aku membuka mata, aku berada di luar rumah. Banyak orang yang mengelilingiku, aku didudukkan dan mereka memberiku air minu. Aku melihat sekeliling. Ada Vian, ayah, nenek, dan bunda yang sedang tertidur di dalaman dan dikelilingi banyak orang.

Beberapa saat kemudian ayah terbangun. Lalu pak RT datang menghampiri ayah,

"Bapak tidak apa-apa?"
"Haahh..! Dimana anak dan istri saya?"
"Tenang, pak. Semuanya selamat" jawab pak RT.

Saat aku dan ayah menoleh ke belakang, ternyata orang-orang sedang berusaha memadamkan api yang melahap rumah kami. Tak lama kemudian bunda, nenek, dan Vian juga sadar. Aku segera berlari ke arah mereka dan menangis karena takut.

"Ayah, Vania takut! Vania mimpi buruk!"
"itu bukan mimpi, sayang. Yang penting kita sudah keluar dari lingkaran setan itu" jawab ayah.

Tenyata apa yang kualami selama ini memang bukan mimpi, kami benar-benar mengalaminya!

Pak RT mulai menjelaskan kejadiannya. Menurut pak RT, api bersumber dari korsleting listrik di kamar kakek. Saat tetangga berdatangan, api sudah membesar. Saat berusaha mengevakuasi, kami sudah ada di lantai. Pak RT mengira kami pingsan karena terlalu banyak menghirup asap.

Aku beranjak dari temapt aku duduk dan menuju ke arah nenek. Aku ingin memastikan bahwa apa yang aku alami benar-benar nyata. Nenek bilang, semuanya sudah berakhir dan iblis itu sudah pergi bersama kakek.

Setelah kejadian itu ayah memutuskan untuk tinggal di rumah lama kami. Bersama nenek, kami pun memulai semua dari awal. Kami berusaha melupakan semua yang terjadi. Bahkan sampai saat ini, aku masih merasa itu semua hanya mimpi.

--- TAMAT ---