Cerita Horor Pendaki Gunung Lawu

Pengalaman Seram Pendaki Gunung Lawu

Hari ini kami akan membagikan sebuah cerita misteri yang ramai di jagat Twitter yakni sebuah cerita horor pendaki gunung Lawu. Kisah mistis ini menceritakan tentang kejadian-kejadian mistis yang dialami penulis dan teman-temannya saat mendaki ke Gunung Lawu.

Kawasan pegunungan memang dikenal memiliki banyak sekali kisah mistis seputar pendakian atau cerita tentang para pendaki yang hilang atau tersesat. Diantara sekian banyak gunung yang ada di Indonesia, Gunung Lawu yang terletak di perbatasan antara Karanganyar (Jawa Tengah) dan Magetan (Jawa Timur) ini dikenal cukup angker.

Dalam kisah nyata pendaki gunung yang tersesat kali ini menceritakan kejadian-kejadian aneh yang dialami penulis gara-gara beberapa anggota lainnya berkata tabu dan melanggar aturan pendakian.

Cerita ini disampaikan oleh akun Twitter @wasbornmycloud yang kami tulis ulang dengan mengubah beberapa susunan kata dan kalimat agar lebih mudah dimengerti tanpa mengubah alur atau jalan cerita. Selamat membaca.

Tahun 2015 itu kami bersama dengan beberapa siswa pencinta alam (PA) berniat melakukan pendakian ke puncak gunung Lawu melalui jalur pendakian Cemoro Sewu. Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB saat kami tiba di sana. Cemoro Sewu kami jadikan spot untuk memulai pendakian karena track ini medannya tidak terlalu berat untuk pemula.

Malam itu kami menginap terlebih dahulu di Cemoro Sewu karena senter yg dibawa terjadi masalah. Sialnya, tidak semua anggota membawa alat penerangan. Padahal senter sangat penting untuk melakukan pendakian pada malam hari.

Niat kami untuk naik ke puncak lebih awal akhirnya gagal. Tadinya kami berharap di pagi hari sudah mendirikan tenda di atas. Maklum, tak jarang pendakian gunung Lawu penuh sehingga banyak pendaki tidak kebagian tempat berkemah. Tapi karena ada masalah jadi kami mengurungkan niat itu.

Keesokan harinya pukul 8 pagi kami bergegas untuk memulai pendakian. Untunglah pendakian kami lancar, kira-kira pukul 14.00 kami sudah sampai di kawasan puncak. Benar saja, di puncak sudah dipenuhi tenda dari pendaki lain yang datang lebih awal. Setelah berputar-putar mencari spot yang kosong untuk mendirikan tenda, akhirnya kita memutuskan memakai tempat yg sebenarnya tergolong berbahaya untuk mendirikan tenda.

Kami mendirikan tenda di tempat dengan kemiringan 35o dan tepat di tengahnya ada aliran air. Tapi apa boleh buat, sudah tak ada tempat kosong lagi. Toh, ini hanya tempat istirahat siang dan langit juga sedang cerah, begitu pikir kami.

Bukan anak gunung namanya kalau belum menyeruput kopi hitam dan makan mie instan. Dan itulah yang kami nikmati setelah mendirikan tenda. Beberapa teman yang lain sedang asyik berselfie ria dan ada juga yang memilih rebahan.

Kira-kira pukul 16.00 terjadi hal yang tak diinginkan. Tiba-tiba datang kabut tebal dan petir yang semakin meramaikan sore itu. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Kami berlarian ke arah tenda dan bergegas menyimpan barang-barang yang tidak tahan air. Seketika itu juga datang air bah menerjang kami tepat di bagian tengah tengah tenda. Alhasil tenda kami pun roboh dan beberapa barang ikut terseret air.

Setelah semua barang yang tersisa diamankan, tenda kami yang roboh segera dilipat di bawah derasnya hujan. Apalagi tenda yang dipakai bukan tenda dome melainkan hanya tenda biasa seperti yang dipakai anak pramuka saat berkemah.

Selesai beres-beres, kami berdiskusi sebentar. Jika kami memaksa bertahan di puncak, kemungkinan malamnya kami tak akan kuat bertahan karena tenda sudah roboh dan beberapa stok makanan hanyut dibawa air bah.

Akhirnya kita semua sepakat untuk nekat turun dalam kondisi hujan deras. Kami membagi tugas, yang pernah naik gunung Lawu menjadi leader dan 2 teman nongkrong kami membawa tenda yang basah tadi. Sebagian lagi bertugas menjadi sweeper.

Kami turun dalam keadaan gelap, hujan deras, dan kedinginan dengan alat penerangan seadanya. Kami mempercepat langkah karena takut kemalaman di perjalanan. Dari sinilah semua kengerian dimulai.

Beberapa kali aku mendengar dua orang pembawa tenda tadi mengeluh dan mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya pantang diucapkan saat naik gunung Lawu. Kebetulan posisiku persis di belakang mereka Sebenarnya aku merasa kasihan, tapi leader bilang itu sebagai hukuman buat mereka karena persiapan yang seadanya dan berdampak pada semua anggota.

Hal aneh pertama yang kami temukan adalah deretan lampu senter yang seolah berbaris dan berliku-liku. Sinarnya terlihat jelas karena hujan sudah mulai mereda. Tapi anehnya, tak ada satu pun yang berpapasan dengan kami saat itu.

Kami mencoba tentang dan berpikir positif, itu mungkin pendaki lain yang belum sampai di sini karena kami pun belum bertemu Pos 5. Tapi lama-kelamaan, kami marasa aneh dan khawatir karena jalur yang dilewati sepertinya bukan jalur Cemoro Sewu.

Sering kali kami melewati jalan yang tergenang lumpur layaknya daerah yang belum terjamah manusia. Aku kebetulan membawa senter dan beberapa kali senter diarahkan ke kanan dan kiri. Rasanya kami malah masuk ke dalam hutan. Saya beberapa kali berteriak ke rombongan di depan, "Leader tolong perhatikan jalur". Harapannya, leader bisa menemukan jalan yang sebenarnya.

Kembali terdengar suara jengkel dari pembawa tenda di depanku. Meskipun aku tidak bisa melihat mereka karena gelap dan jaraknya agak berjauhan, tetapi aku ingat betul logat dan suara mereka. Beberapa kali leader berteriak meminta pembawa tenda tidak berbicara seenaknya dan bersabar.

Pengalaman horor pun dimulai. Saat aku merasa agak jauh dari teman-teman yang lain, tiba-tiba aku disalip seorang pemuda dari belakang yang memakai celana jeans pendek dan kaos oblong tanpa alat penerangan sama sekali.

Aku sempat menyapa, "Mas! Rombongan dari mana?" Namun pemuda itu menghiraukan aku dan terus berjalan tanpa menoleh. Ah, mungkin temannya ada di belakang atau malah dia tertinggal dari rombongannya, begitu pikirku waktu itu.

Terus mengikuti arah leader, aku menyusuri jalan setapak dan berbatu. Tepat di sampingku adalah jurang yang kedalamannya tidak diketahui karena saat aku mengarahkan senter ke sana terlihat pemandangan gelap gulita dan tidak kelihatan dasarnya.

Tiba-tiba aku melewati sekelompok orang yang duduk tepat d iatas batu besar. Karena penerangan yang kurang, aku tak begitu jelas melihat mereka. Hanya hitam saja, kalau tidak salah mereka ada 4 orang. 2 diantaranya duduk di atas batu di tepi jurang dengan potongan rambut gondrong, sedangkan yang lainnya berdiri bersender di batu.

Aku sempat mengarahkan senter ke arah batu besar itu dan melihat beberapa botol bir dan gelas air mineral yang isinya berwarna kekuningan. Di sekitar botol-botol itu berserakan kulit kacang.

Sambil menyapa aku mencoba bertanya, "Maaf, mas. Ini jalur Cemoro Sewu bukan?" Mereka hanya sekedar mengangguk. Aku berpikir mungkin mereka sedang mabuk. Aku pun melanjutkan berjalan.

Hal paling aneh pun terjadi. Kali ini kami berhenti di sebuah batu besar yang menempel di tebing. Leader bilang bahwa ternyata kami sedang dikerjain sama penunggu gaib di situ. Sebelumnya, leader ternyata telah memberikan tanda berupa coretan pada batu itu. Dan dia sudah ketiga kalinya mencoretnya.

Akhirnya kami berkumpul dan berdoa memohon pertolongan. Peringatan keras ditujukan kepada pembawa tenda yang sedari tadi mengeluh dan berbicara kotor. Selesai berdoa dan ritual meminta maaf, kami melanjutkan perjalanan.

Benar saja, tak lama kemudian kami sampai di Pos 5. Di sana kami beristirahat sejenak untuk menenangkan diri dan mengisi perut yang sudah keroncongan. Sekitar pukul 03.00 dini hari kami pun sampai di Cemoro Sewu.

Di antara kami masih belum ada yang bercerita soal kejanggalan-kejanggalan yang terjadi selama turun dari gunung Lawu. Barulah beberapa hari kemudian kami bercerita tentang keanehan-keanehan yang dirasakan.

Mereka ternyata juga mengalami beberapa kejadian mistis. Ada yang melihat wanita sedang berjalan di depannya dan ketika akan memanggil teman di belakang, sosoknya hilang tiba-tiba.

Berbeda dengan leader, dia merasa kalau jalannya itu sama persis dengan jalan yang dilewati saat berangkat. Sebenarnya dia sudah berkali-kali diberi tahu kok berlumpur begini. Tapi dia hanya menjawab, "Ya kalau mau enak di rumah saja". Meskipun sebenarnya dia sudah curiga sejak awal.

Dan dia juga beberapa kali mendengar suara aneh dari arah samping. Terdengar suara seperti minta tolong, padahal di sampingnya itu jurang. Sempat juga terdengar suara hingar bingar layaknya pasar. Mitosnya itu adalah pasar setan gunung Lawu yang tersohor itu.

Demikianlah cerita misteri kali ini tentang pengalaman horor pendaki di Gunung Lawu. Sama seperti yang sudah-sudah, alangkah baiknya selama mendaki gunung untuk selalu menjaga pikiran dan perkataan karena percaya atau tidak, mereka selalu mendengar dan mengamati gerak-gerik anda. Salam Rahayu.