Cerita Misteri: Ibu, yang Dikubur Itu Bukan Aku

Bu, yang Dikubur Itu Bukan Aku

Kali ini kami akan membagikan sebuah kisah misteri nyata yang pernah terjadi di daerah Bandung beberapa tahun lalu berjudul "Ibu, yang Dikubur Itu Bukan Aku". Cerita misteri ini mengkishakan tentang hilangnya seorang anak bernama Asep secara gaib dan tak pernah diketemukan hingga kini.

Cerita yang ramai di Twitter ini dibagikan oleh @cinta__kirana yang kami tulis ulang dengan mengubah beberapa susunan kata dan kaliamt tanpa mengubah alur atau jalan cerita. Selamat membaca.

Hari itu sekitar pukul 4 sore, Ibu Saodah, wanita berusia kurang lebih 35 tahun sedang mempersiapkan makan malam di dapurnya. Saat ia sibuk memasak, anaknya, Asep yang saat itu masih duduk di kelas 4 SD meminta ijin untuk bermain bersama teman-temannya. Bu Saodah memang hanya tinggal berdua dengan Asep, anak semata wayangnya. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. 

Saat pulang sekolah, Asep memang biasa bermain dengan anak-anak tetangga di sebuah lapangan kosong pinggiran desa. Desa tempat mereka tinggal memang bukan desa besar, hanya desa kecil dengan beberapa rumah panggung dan rumah beton semi bilik anyaman khas pedesaan.

Saat itu memang belum ada gadget sehingga anak-anak terbiasa bermain di luar rumah. Menjelang magrib, biasanya Asep sudah pulang lalu mandi dan pergi ke mushola di desa untuk mengaji. Tapi hari itu, adzan maghrib sudah berkumandang dan langit mulai gelap tapi Asep belum juga pulang.

Setelah melaksanakan sholat maghrib, Bu Saodah mencoba menyusul Asep ke lapangan yang jaraknya sekitar 5 menit dengan berjalan kaki dari rumahnya. Terkadang anak-anak bermain sampai lewat maghrib dan baru pulang setelah diomeli oleh orang tua mereka. Maklum, kalau sedang seru bermain bisa sampai lupa waktu.

Sesampainya di lapangan Bu Saodah tidak mendapati seorangpun di sana. Kemana perginya Asep, batinnya. Dengan rasa khawatir, ia bergegas pergi ke mushola. Alunan sholawat terdengar saat Bu Saodah mendekati mushola, matanya menelusuri anak-anak yang sedang mengaji. Tapi Asep tak ada di sana.

Pak Ustad Sofyan yang menyadari kehadiran Bu Saodah mendekatinya dan bertanya.
"Cari siapa Bu?" tanya Pak Ustad.
"Asep datang ke musola tidak Pak?" tanya Bu Saodah dengan suara yang bergetar.
"Tidak, Bu. Dari tadi Asep tidak kesini." jawab Pak Ustad.

Pak Ustad menanyakan Asep pada murid-muridnya. Namun hari ini tidak ada seorangpun yang bertemu Asep sepulang sekolah. Bu Saodah mulai panik. Ia ditenangkan oleh Pak Ustad yang kemudian mengantarnya ke rumah pak RT.

Setibanya di rumah Pak RT, mereka dipersilahkan masuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Pak RT sempat bercerita bahwa Asep memang datang ke rumahnya untuk meminta ijin mengambil buah mangga di halaman rumahnya.

Di halaman rumah Pak RT memang ada satu pohon mangga yang besar dan buahnya selalu ranum. Menurut Pak RT, Asep datang bersama dua orang anak sebayanya sekitar pukul setengah 5 sore. 
Tapi ia belum pernah melihat kedua anak yang datang bersama Asep itu.

Pak RT mengira kedua anak tersebut datang dari desa sebelah atau mungkin saudara Asep. Namun ada yang aneh dari kedua anak tersebut, kulitnya nampak lebih putih dan pucat dengan lingkaran hitam yang tampak samar di sekitar mata.

Setelah Pak RT mengijinkan anak-anak itu mengambil mangga di halamannya, ia masuk ke dalam rumah dan meninggalkan mereka yang sedang memanjat pohon. Sejak iitu Pak RT tidak melihat Asep lagi.

Bu Saodah nampak pucat dan terkejut mendengarnya. Ia merasakan ada hawa dingin di tengkuk yang membuat bulu kuduknya merinding. Ia meminta bantuan Pak RT untuk mencari anaknya yang hilang.

Pak RT segera memberi tahu beberapa warga untuk mencari Asep. Bapak-bapak mulai ramai berkumpul di depan pos ronda yang berdekatan dengan rumah Pak RT. Mereka membawa senter dan kentongan dari pos ronda kemudian berpencar memanggil-manggil nama Asep. Mereka menyisir desa dan semak-semak sekitar desa sambil memukul kentongan.

Bu Saodah diperintahkan Pak RT menunggu di rumahnya ditemani oleh Bu RT. Saat malam semakin larut, Bu Saodah bertambah kalut. Tangannya terasa dingin, sesekali ia mengusap air matanya yang jatuh mengalir begitu saja.

Ia tak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan agar anaknya bisa kembali dengan selamat. Sekitar pukul 1 dini hari, Pak RT dan warga akhirnya memutuskan untuk pulang setelah tidak berhasil menemukan Asep. Pencarian akan dilanjutkan besok pagi.

Bu Saodah pun pulang ke rumah dalam keadaan pasrah. Bu Saodah yang terus menangis sesengukan ditenangkan oleh Bu RT. Tentu saja Bu Saodah tidak bisa tidur sama sekali. Dibenaknya hanya terbayang wajah Asep.

Saat pagi menjelang, beberapa orang kembali membantu Pak RT untuk mencari Asep. Tapi warga yang datang tidak sebanyak tadi malam karena yang lainnya harus berangkat kerja. Salah satu warga mengusulkan kepada Pak RT untuk mendatangi Mbah Anom yang merupakan orang pintar dari desa sebelah untuk membantu proses pencarian. Pak RT pun pergi dengan salah satu warga ke rumah Mbah Anom.

Di depan rumah, Mbah Anom sedang duduk di kursi bambu yang berada di teras sambil minum kopi hitam dengan cangkir loreng khas tempo dulu. Pak RT pun dipersilahkan masuk dan mulai menceritakan tentang kejadian hilangnya Asep. Mbah Anom tampak memejamkan mata sambil sesekali mengerutkan kening.

Ia berkata bahwa Asep berada di tempat yang gelap, sempit, dan lembab. Kemudian ia menanyakan apa ada sumur kering yang sudah tidak terpakai di sekitar desa. Pak RT menjawab bahwa memang ada sumur yang sudah tidak terpakai dan terletak di sebelah utara desa dekat dengan semak-semak.

Setelah mendapat informasi itu, Pak RT langsung melesatkan motornya dan memberi tahu warga untuk mencari di sumur tersebut. Saat tiba di lokasi, mereka sangat terkejut ketika menemukan Asep sedang meringkuk di dasar sumur tersebut.

Warga pun turun untuk mengangkat tubuh Asep. Tubuhnya sudah pucat dan dingin, tidak ada aliran darah yang mengalir sama sekali. Ia sudah meninggal dunia. Bu Saodah yang mengetahui hal tersebut lantas menerobos kerumuman warga dan terpaku menatap anaknya yang telah tiada. Ia pun menangis dengan menjerit histeris sambil memeluk Asep.

Siangnya, warga membantu Bu Saodah untuk mengurus jenazah Asep dan memakamkannya. Acara pemakaman berjalan dengan lancar disusul dengan acara tahlilan pada malam harinya. Setelah warga pulang, di rumah hanya tinggal Bu Saodah dan beberapa kerabat yang datang menginap. Bu Saodah terlihat sangat terpukul atas kehilangan anaknya, berkali-kali ia jatuh pingsan dan menangis sambil menyebutkan nama anaknya.

Malam semakin larut, Bu Saodah mencoba mengikhlaskan kepergian anaknya walaupun terasa amat berat. Ia pun berusaha untuk tidur setelah malam sebelumnya begadang dan kelelahan. Tak butuh waktu lama untuk Bu Saodah tertidur pulas.

Dalam mimpinya, ia didatangi oleh Asep dengan baju kaos dan celana persis seperti yang terakhir dikenakannya sebelum meninggalkan rumah.

Asep berkata,
"Ibu....."
"Aku takut..." suaranya terdengar bergetar seperti ketakutan.

Di mimpinya, Bu Saodah tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya menyaksikan Asep tanpa bisa memeluknya yang sedang ketakutan.

"Ibu, aku di sini."
"Yang dikubur itu bukan aku..."
"Tolong..." lanjutnya.


Bu Saodah lalu tercekat, ia terbangun dari tidurnya dengan peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Tangisnya berderai lagi. Ia beristigfar berkali-kali mengingat kejadian yang baru dialaminya dalam mimpi. 

Diliriknya jam di dinding kamar, jam sudah menunjukan waktu subuh. Ia pun menenangkan diri sejenak dan pergi mengambil air wudhu. Paginya, Bu Saodah menceritakan mimpinya semalam. Kerabat yang mendengarkan cerita Bu Saodah menyuruhnya untuk bersabar.

Bu Saodah pun berpikiran mungkin dirinya masih terpukul sehingga bermimpi didatangi oleh anaknya. Tapi di hari kedua dan ketiga, ia masih mengalami mimpi yang sama. Anaknya berkali-kali mendatanginya dalam mimpi dengan ekspresi ketakutan dan berkata, "Bu, yang dikubur itu bukan aku..."

Merasa mimpinya itu merupakan firasat, Bu Saodah menyampaikan kepada Pak RT dan memintanya untuk menggali kembali makam anaknya. Alih-alih membantu, Pak RT lebih memilih untuk meyakinkan Bu Saodah kalau mimpi yang berulang itu dikarenakan Bu Saodah belum bisa mengikhlaskan kepergian anaknya.

Hari keempat, kelima, dan keenam, berkali-kali Bu Saodah memimpikan hal yang sama dan terus mendesak Pak RT untuk membantunya. Berkali-kali Pak RT menolaknya dan meyakinkan bahwa itu hanya mimpi belaka.

Pada hari ketujuh, Bu Saodah merasa tidak sanggup lagi melihat anaknya yang ketakutan di dalam mimpi. Mimpi yang sama selama tujuh hari berturut-turut hampir membuatnya menjadi gila. Tanpa lelah, iapun kembali meminta bantuan pada Pak RT.

Pak RT akhirnya luluh dan menuruti keinginan Bu Saodah untuk membantu menggali makam anaknya. Sejujurnya, selain karena iba dan tidak tega melihat Bu Saodah yang semakin hari makin terpuruk dengan kesedihan, dalam batin Pak RT ia pun penasaran dengan apa yang akan terjadi bila makam itu digali.

Siang itu Bu Saodah, dua orang kerabatnya, Pak RT dan Bu RT, serta dua orang penggali kubur datang ke makam Asep. Makamnya tampak masih baru dengan taburan bunga yang sudah mengering di atasnya.

Setelah dipersilahkan oleh Bu Saodah, dua orang penggali kubur mulai menggali. Bu Saodah berusaha tegar menahan air matanya. Dalam hatinya ia tidak menyangka bahwa makam anaknya akan digali kembali.

Beberapa menit menggali, kain kafan Asep mulai terlihat, para penggali mulai memperlambat penggaliannya karena tidak ingin merusak kain kafan Asep. Selesai menggali, mereka merasa heran melihat bentuk kain kafan yang membungkus Asep. Kain kafan Asep tampak sangat lurus dan kaku. 

Para penggali tidak berkomentar apa-apa dan mulai mengeluarkan jenazah Asep dibantu oleh Pak RT serta dua orang kerabat Bu Saodah. Jenazah kemudian diletakkan di samping lubang kubur yang terbuka. Bu Saodah menahan sesegukan tangisnya dengan kedua tangan yang menutupi mulut.

Pak RT dan salah satu kerabat Bu Saodah mulai membersihkan bagian wajah Asep yang sudah tertutupi tanah. Mereka terheran-heran dan dengan cepat membuka tali pengikat dan kain kafan yang membalut jenazah Asep.

Betapa terkejutnya semua orang yang berada di sana melihat apa yang ada di dalam kain kafan. Itu bukan jenazah Asep, melainkan batang pohon pisang yang dipotong setinggi tubuh Asep. Bu Saodah langsung lemas dan pingsan seketika.

Kejadian ini dengan cepat tersebar ke eluruh penjuru desa bahkan sampai ke desa-desa lain. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu pasti dimana keberadaan Asep. Ada yang bilang Asep diculik makhluk gaib, ada yang bilang juga Asep dijadikan tumbal pesugihan. Entahlah. Yang pasti, Asep sudah tidak pernah datang lagi ke dalam mimpi Bu Saodah.