Cerita Misteri 2020: Janji Mati

Cerita Misteri 2020 - Janji Mati

Kisah horor kali ini diangkat dari kisah nyata yang memang pernah benar-benar terjadi pada sekitar tahun 1970 lalu. Cerita lawas, memang, namun masih tetap dikenang bahkan menjadi salah satu cerita horor legend di kota Pekalongan. Maka inilah cerita misteri 2020 terbaru: Janji Mati.

Cerita horor berjudul "Janji Mati" mengisahkan tentang seorang pria yang gagal menikahi pujaan hatinya karena meninggal dunia. Namun perasaan cintanya yang begitu kuat telah dimanfaatkan oleh sesosok makhluk halus yang menyamar.

Cerita misteri ini masih tetap diceritakan oleh akun twitter @AgilRSapoetra yang kami tulis ulang dengan mengubah beberapa susunan kata dan kalimat tanpa mangubah alur atau jalan cerita. Selamat membaca.

Pekalongan tahun 1970,

Tami dan Kuncoro adalah sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan sejak SMA. Kini, setelah lebih dari 5 tahun, mereka kuliah di universitas yang sama di kota Jogja. Mereka sama-sama cinta pertama, mungkin itu yang membuat hubungan keduanya langgeng.

Setelah menjalani perkuliahan beberapa semester, ayah Tami meninggal dunia. Ia sempat mencoba memaksakan diri untuk tetap kuliah karena ingin selalu berada di dekat Kuncoro. Tapi apa daya, karena ekonomi keluarganya memburuk selepas kepergian ayahnya, ia terpaksa berhenti kuliah.

Keluarga Tami yang dulu hidup serba berkecukupan kini bangkrut hingga harus pindah ke rumah kontrakan. Walaupun begitu, Kuncoro tetap setia. Ia selalu menghabiskan waktu libur kuliahnya untuk bersama Tami.

Setelah Kuncoro lulus kuliah dan bekerja, ia ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengan Tami. Ia ingin menikahi Tami. Meskipun Kuncoro berasal dari keluarga terpandang,orangtuanya sangat merestui hubungan mereka.

Hingga pada akhirnya mereka bertunangan dan berencana akan menikah sekitar 1-2 tahun kemudian. Tapi tak disangka, baru 3 bulan  mereka bertunangan, Tami tiba-tiba terjatuh saat mencuci pakaian di sumur belakang rumahnya.

Kuncoro yang diberi kabar langsung bergegas menuju rumah Tami, tapi Tami sudah dilarikan ke rumah sakit. Saat Kuncoro sampai di rumah sakit, betapa kagetnya dia. Kuncoro melihat perawat hendak menyelimuti seluruh tubuh Tami. "Nyawa nona Tami sudah tidak tertolong", ucap sang perawat. Kuncoro pun berlari memeluk tubuh Tami yang mulai kaku dan menangis sekeras-kerasnya.

Dari info keluarganya, Tami meninggal 2-3 menit sebelum Kuncoro datang. Kuncoro menangis sesenggukan dan berkata, "Kamu tidak akan mati, Tami! Kita sudah berjanji". Begitu kata-kata Kuncoro saat itu.

Tami meninggal akibat pecahnya pembuluh darah di otak akibat benturan dan banyak pikiran. Tami memang pernah berkeluh kesah di surat yang ditulisnya tentang dia yang harus ikut menanggung hutang puluhan juta peninggalan ayahnya. Tapi Kuncoro tak berpikir jika itu akan mempengaruhi kesehatan Tami.

Dengan mata sembab, Kuncoro berjalan di samping ibunya Tami sambil membawa foto berbingkai. Kuncoro mencoba tegar, sambil berjalan menuju areal pemakaman, sesekali ia merangkul calon  ibu mertuanya dengan berlinang air mata.

Tami adalah anak tunggal, tak heran jika hati ibunya merasa hancur. Setelah ditinggal kepergian suaminya, kini ia harus kehilangan anak semata wayangnya. Saat jenazah Tami dimasukkan ke liang lahat, ibu Tami sempat histeris dan berteriak, "Aku mau ikut!! Aku mau ikut!!"

Kuncoro memeluk ibu Tami sambil berucap, "Istighfar, bu! Istighfar!" Prosesi pemakaman berlangsung dengan lancar. Malamnya, Kuncoro tidak pulang. Dia lebih memilih menemani calon mertuanya dan menemui orang-orang yang takziah.

Anehnya, saat acara tahlilan pada hari ke 3, tak ada satupun sanak saudaraTami yang hadir. Kuncoro awalnya menghiraukan. Tapi setelah acara tahlilan 7 hari dan 40 hari, memang tak ada satupun dari saudara Tami yang hadir di situ.

Kuncoro tak tega melihat ibu Tami diperlakukan seperti itu. Di malam hari saat suasana tak begitu ramai, Kuncoro mendekati ibu Tami. Ibu Tami memang terlihat sering melamun setelah meninggalnya Tami. Kuncoro memang sangat dekat dengan beliau.

Sambil memijat bahunya, Kuncoro berkata "Sampun, bu. Mbotensah rumongso kesepian. Tasih wonten kulo. Kuncoro niki nggih anake ibu to?" (Sudah, bu. Jangan merasa kesepian. Masih ada saya. Kuncoro ini anak ibu juga kan?)

Ibu Tami menghela nafas panjang dan berkata, "Ho'o le, aku ngerti" (Iya, nak. Saya tahu). Kuncoro pun bertanya, "Lha, bu. Dugi 40 dinten niki kok sederek mboten wonten ingkang nindak mriki? (Lha, bu. Sampai 40 hari ini, kok saudara-saudara tidak ada yang datang kesini?)

Jadi menurut penuturan ibu Tami, dulu keluarganya memang kaya dan cukup sukses. Tapi sejak kematian ayah Tami, mereka bangkrut sampai harus menjual rumah dan tinggal di kontrakan. Itupun hutang ayahnya masih belum lunas.

Entah apa itu penyebabny. Tapi setelah keluarganya bangkrut, semua sanak saudaranya seperti menjauh. Kuncoro pun mencoba mencari tahu berapa hutang keluarga Tami. Nominalnya ternyata sekitar 30 juta, angka yang sangat besar pada waktu itu. Dalam hati Kuncoro bertekad ingin membantu melunasi semua hutang-hutang itu.

Setelah kepergian Tami, Kuncoro melanjutkan aktifitas seperti biasa. Kini ia bekerja sebagai kontraktor dan tak jarang menyempatkan diri menjenguk ibu Tami di rumahnya saat sedang libur.

Dia sempat mencari informasi siapa saja yang berhutang. Semuanya ia datangi satu per satu dan membuat pernyataan tertulis bahwa sekarang dia-lah yang menanggung hutang-hutang itu. Kuncoro mulai mencicil hutangnya satu per satu hingga lunas beberapa tahun kemudian.

Kuncoro kini sukses, namun beberapa orang temannya mulai merasakan keganjilan dalam dirinya. Kuncoro diketahui sering membeli pakaian-pakaian wanita secara diam-diam. Awalnya, keluarga dan teman-temannya menghiraukan atau bersikap pura-pura tidak tahu. Tapi semakin lama, tingkahnya semakin aneh.

Kuncoro yang awalnya serba tertutup, tiba-tiba menjadi lebih terbuka. Sehabis membeli pakaian wanita, selalu ia perlihatkan ke teman atau keluarganya sambil bilang "Apik, to? Tami mesti seneng iki" (Bagus, kan? Tami pasti suka ini)

Setiap malam minggu, Kuncoro selalu nongkrong di depan stasiun radio. Tempat dimana dulu pernah menjadi tempat Tami dan kuncoro pacaran sewaktu SMA. Ia juga sekarang sudah jarang ke rumah Tami.

Lambat laun, orang-orang di sekitarnya mulai menyadari bahwa kini tatapan mata Kuncoro tampak "kosong". Ia seperti orang yang kena gangguan jiwa, setiap bertemu teman atau orang yang dikenalnya dia selalu bercerita tentang Tami. Seperti misalnya, "Wah, tadi saya makan bakso di sana sama Tami. Enak, lho"

Sikapnya menunjukkan seolah dia masih bertemu dengan Tami setiap hari. Setiap kali diingatkan bahwa Tami sudah meninggal, Kuncoro selalu marah. Ia menundukan kepalanya dan pergi berjalan sambil menggerutu tidak jelas.

Meskipun begitu, Kuncoro masih seperti orang normal dan bekerja dengan giat. Teman-temannya yang merasa iba kadang menanggapi omongan Kuncoro. Misalnya ditanya, "Kenapa kalau malam minggu kamu ngapel di depan stasiun radio, bukan di rumah Tami?"

Kuncoro menjawab kalau Tami selalu ingin jalan-jalan. Katanya kalau sudah menikah kelak tidak akan ada banyak waktu untuk berjalan-jalan lagi. Anehnya lagi, setiap kali pertanyaan itu diulang oleh orang yang sama, Kuncoro tetap menjelaskan. Seolah orang itu belum pernah bertanya sebelumnya.

Kesaksian dari teman dekat Kuncoro, sebut saja Yono.

Saya adalah teman SMA Tami dan Kuncoro, kebetulan kami juga satu desa. Memang sejak kepergian Tami, Kuncoro jarang berbaur. Awalnya saya kira dia sibuk bekerja, tapi beberapa tahun belakangan dia sering nongkrong di kampung. Sekitar seminggu dia menjadi perbincangan di desa karena kelakuan anehnya. Semua warga menganggap kalau Kuncoro mengalami stres.

Saat malam minggu tiba, dia selalu keluar dengan motornya. Setelah berdandan rapi, selepas maghrib dia selalu pamit ngapel dan menjemput Tami. Hal itu selalu berulang setiap malam minggu tiba hingga akhirnya saya penasaran. Dan di suatu malam minggu, saya iseng coba membuntuti Kuncoro.

Dengan motor pinjaman dari paman, saya membuntuti Kuncoro. Namun di perjalanan, saya bingung karena jalan yang dilwatinya menuju ke rumah Tami yang lama. Rumah yang sudah disita oleh bank. Tapi setelah melewati rumah itu, bukannya berhenti tapi Kuncoro berjalan terus menuju ke bagian ujung desa.

Saya terus mengikuti sampai akhirnya dia berhenti di depan gapura sebuah makam. Itu adalah areal pemakaman tempat dimana Tami dikuburkan. Dari jarak sekitar 20 meter, saya melihat Kuncoro seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang sebelum akhirnya dia pergi lagi. Padahal saya tidak melihat ada lawan bicaranya saat itu.

Seketika itu juga bulu kuduk saya merinding. Saya pun putar balik dan bergegas pulang. Di kampung, ternyata teman-teman saya sudah menunggu. Mereka semua penasaran tentang dimana Kuncoro menjemput Tami. Setelah diceritakan semuanya, mereka juga kaget dan bingung.

6 tahun sudah berlalu sejak Tami meninggal dunia, tapi Kuncoro malah menjadi semakin aneh. Entah ia mengalami gangguan jiwa, atau memang Kuncoro benar-benar menjalin hubungan dengan arwah Tami.

Sangat sulit disimpulkan, karena di satu sisi Kuncoro masih seperti orang normal. Ia pernah dibawa ke psikolog dan diagnosanya cuma mengalami delusi. Tapi di sisi lain, ada beberapa orang yang mengaku pernah melihat sosok makhluk halus menyerupai Tami.

Narasumber Fattah tahun 1976,

Cerita-cerita tentang keanehan Kuncoro sudah menjadi rahasia umum, tapi tak ada satu orang pun yg berani menggunjingnya. Itu karena Kuncoro adalah anak dari keluarga terpandang dan disegani di desanya.

Saya adalah salah satu orang yang bingung untuk menyimpulkan apakah Kuncoro itu gila. Pasalnya, dari luar dia masih seperti orang normal pada umumnya. Kuncoro tetap bekerja, dan bahkan ikut kerja bakti atau kegiatan-kegiatan sosial di desa. Kebetulan rumah kami juga bersebelahan.

Tapi di sisi lain, saya bisa dibilang adalah orang yang paling sering melihat dan mendengar keanehan dalam diri Kuncoro. Jendela kamar saya dan Kuncoro itu saling berhadapan, hanya terpisah jalan setapak.

Waktu itu saat tengah malam, saya yang kebetulan tidak bisa tidur seperti mendengar suara percakapan dari kamar Kuncoro. Awalnya saya kira itu suara radio. Tapi semakin saya dengarkan seksama, sepertinya itu bukan suara radio melainkan suara 2 orang sedang mengobrol. Saya tak mendengar jelas apa isi percakapan itu karena suaranya lirih seperti berbisik.

Saya yang penasaran coba mengintip, membuka jendela sedikit demi sedikit. Dan ternyata benar, ada suara dua orang sedang berbincang, tapi dengan nada berbisik. Sesekali ada suara tawa yang seperti ditahan.

Disitu saya langsung bergidik takut. Saya tutup jendela dan mencoba untuk tidur, tapi suara itu masih saja ada. Hingga menjelang adzan subuh, suara itu menghilang.

Kejadian itu terus berulang, walau tidak setiap hari. Sampai suatu malam, ada suara seperti jendela yang terbuka. Itu bukan suara jendela saya, tapi jendela di kamar Kuncoro. Lalu tiba-tiba tercium bau busuk yang menyengat, seperti masuk menembus dari luar.

Karena tak tahan dengan baunya, saya beranjak dari tempat tidur dan mencari-cari dari mana bau itu berasal. Saya pun membuka jendela kamar saya dengan sedikit jengkel. Saya buka lebar-lebar, dan ternyata jendela kamar Kuncoro pun juga terbuka lebar.

Di dalam kamarnya saya melihat ada wanita telanjang bulat dengan kepala gundul (botak). Wanita itu melirik ke arah saya sambil tersenyum lirih. Wajahnya tak nampak jelas karena penerangan yang remang-remang, hanya terlihat matanya yang hitam. Tubuh saya kaku tak bisa bergerak sampai sosok itu berlalu, terbang keluar menembus jendela.

Saya langsung lari terbirit-birit ke kamar ibu saya. Keesokan harinya saya demam sampai harus di bawa ke rumah sakit. Saya dirawat inap selama 3 hari. Dan saat saya pulang ke rumah, para tetangga datang menjenguk, tak terkecuali Kuncoro.

Sambil membawa buah-buahan, dia langsung masuk ke kamar dan duduk di samping saya. Saat ibu membuatkan minuman, kami berbincang-bincang sekedar basa-basi. Tiba-tiba saja Kuncoro bilang, "Ojo ngomong sopo-sopo yo" (Jangan bilang siapa-siapa ya).

Intinya Kuncoro melarang saya bilang ke siapa-siapa kalau kemarin malam "Tami" main ke rumah Kuncoro dan masuk lewat jendela. Saya yang merasa gugup hanya bisa menganggukan kepala saja. Saat Kuncoro pamit hendak pulang, ibu saya sempat bertanya, "Kok keseso to mas Kuncoro? Niki lho unjukane" (Kok buru-buru mas Kuncoro? Ini minumnya)

Tapi Kuncoro malah menjawab sambil melangkah pergi, "Sampun bu, mboten sah repot-repot. Kulo selak ajeng blonjo niki, kagem keperluan nikahe kulo" (Sudah bu, tidak usah repot-repot. Saya mau berbelanja, untuk keperluan nikah saya)

Sampai beberapa hari kemudian, tindak-tanduk Kuncoro semakin aneh. Dia berkata ke orang-orang kalau besok dia mau menikah dengan Tami. Bahkan ia sempat bernada geram, berkata kalau dia akan kawin lari jika orang tuanya tak setuju.

Kuncoro bahkan sampai mengumumkan tanggal pernikahannya, kalau tidak salah tanggal 24 November. Orang-orang tentu tak mempedulikan omongan itu. Selama masa itu, Kuncoro juga terlihat berbelanja keperluan layaknya pernikahan seperti beras, mie, telur, dan lain sebagainya.

Meskipun tak ada orang yang peduli, tapi tak bosan-bosannya Kuncoro selalu mengingatkan teman dan tetangganya kalau tanggl 24 November besok dia akan menikah. Tapi yang mengagetkan adalah, pada tanggal 24 November dimana hari itu Kuncoro akan menikah, dia ditemukan tewas karena gantung diri dengan kain sarung di kamarnya.

-----SEKIAN----