Cerita Horor: Kisah Nyata Ketemu Pocong

Cerita Seram Teror Pocong di Kampung Kami

Suasana malam terasa dingin ketika aku mencium bau aneh mirip bau bangkai atau mungkin mayat. Bau tak sedap tersebut disusul dengan munculnya sesosok makhluk yang sekujur tubuhnya ditutupi kain putih yang sudah lusuh dan kumal. Cukup lama aku diam tegak berdiri bagaikan patung bernyawa.

Peristiwa yang menyeramkan ini terjadi beberapa tahun yang lalu, sempat membuat diriku trauma. Oh, ya namaku M. Alwyn Effendi. Sekitar tahun 2007 masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Kota Medan Sumatera Utara. Ketika liburan panjang, aku sering menyempatkan diri pulang kampung alias mudik ke Desa Belani Rawas Kecamatan Rawas Hilir Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan. Desa itu merupakan desa tertua yang pada dataran rendahnya mengalir Sungai Rawas Hilir. Di sana orang tuaku tinggal dan membesarkanku.

Seperti diketahui, wilayah sekitarnya dipercaya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke VII dan di tempat itu masih bisa ditemukan situs-situs peninggalan sejarah masa lampau. Ayahku yang bekerja sebagai petani di desa tersebut pernah menemukan sisa-sisa peninggalan sejarah berupa barang-barang pecah belah, keramik dan lain-lain ketika bekerja di sawah.

Sebagai mahasiswa yang selalu menekuni masaiah-masalah atau fakta yang sifatnya rasional dan dapat dibuktikan secara ilmiah, aku selalu menjauhi diri dari kepercayaan terhadap tahayul dan mistik. Tegasnya, aku tidak pernah percaya atas keberadaan setan, hantu, serta makhluk-makhluk halus (gaib) atau sejenisnya.

Ketika aku mudik hari itu, teman-teman sepermainan semasa kecil selalu datang berkerumun menemuiku. Biasanya mereka minta oleh oleh atau buah tangan dari kota Medan yang terkenal dengan bika Ambonnya.

Sambil ngobrol dan bertukar informasi, teman-teman menyantap kue kenyal dan manis tersebut saling rebutan. Setelah itu kami ramai-ramai ke surau, sambil menunggu waktu sholat Maghrib seorang pria tua datang mengucap salam ambil bergabung dengan kami. Aku kurang mengenalnya, namun teman-teman memperkenalkan orang tua itu sebagai seorang musafir dan sudah hampir sebulan menumpang tidur di surau. Beliau mengaku datang dari Aceh dan sejak seluruh keluarganya tewas dihanyutkan gelombang tsunami, kini hidup sebatang kara tanpa sanak saudara lalu memutuskan untuk pergi meninggaikan tanah kelahirannya di Serambi Mekah itu.

Pada waktu yang sama masyarakat desa sedang dihebohkan dengan munculnya sosok pocong setiap malam Jum'at. Ada warga desa yang memastikan diri telah menyaksikan penampakannya. Konon Pak Tua yang datang dari Aceh tersebut siap membantu-masyarakat setempat untuk mengusir atau memindahkan pocong tersebut jauh-jauh.

Namun sejauh ini, usaha beliau belum membuahkan hasil, karena si pocong masih sering menampakkan diri terutama pada malam Jum'at saat malam mulai larut. Mendengar hal itu, aku hanya bisa terpana dan mewamai wajah dengan senyum sinis. Sambil geleng-geleng kepala pelan, aku kemudian iseng bertanya. Pertanyaan khusus kuarahkan kepada Pak Tua yang serius bercerita.

"Pocong? Apa sesungguhnya pocong itu, Pak Tua? Apa dia sejenis hewan langka atau makhluk ciptaan Tuhan juga?" tanyaku.

Kini giliran Pak Tua yang tersenyum sinis, terkesan mengejek. Salehuddin, salah seorang temanku menatap wajahku lurus- lurus.

"Alwyn..." ujarnya pelan.

"Kami tahu kau sosok seorang mahasiswa yang selama ini tidak pernah percaya tentang keberadaan setan dan sekalian yang namanya hantu belang. Tetapi pada kesempatan ini kami minta harus percaya setelah menyaksikannya sendiri dengan mata kepalamu."

"Oh, ya? Wujudnya saja aku belum tahu, bagaimana bisa menyaksikannya?" ujarku dengan nada mengejek.

"Begini, pocong itu sekujur tubuhnya ditutupi kain kafan putih, yang bisa kelihatan hanya wajahnya saja. Kira-kira demikian yang bisa digambarkan tentang wujud pocong. Kalau kau berminat ingin membuktikan keberadaannya, kebetulan malam ini Jum'at Kliwon. Si pocong biasanya sering melintas Sungai dekat kuburan di pinggir desa kita ini, tunggu saja dia disana itupun kalau kau nekat dan berani".

"Hmmmmm...." Aku mendehem.
"Siapa takut? Tapi dengan syarat, bahwa di antara kalian yang paling penakut agar memantau keadaanku dari jarak agak jauh. Setuju?"

"Sebenamya di antara teman-temanmu ini, tidak ada yang berani bertemu pocong," potong Pak Tua mengingatkanku.

Sejenak teman-teman saling tukar pandang satu sama lain. Setelah agak lama hening, Salehuddin kemudian ngerocos, "Baiklah, aku bersedia memenuhi syaratmu itu, sekalian ingin membuktikan kau memang melakukannya."

Tidak lama setelah itu sehabis sholat Maghrib berjemaah di surau tersebut, kami segera bubar dan pulang ke rumah masing-masing. Dalam perjalanan ke rumah orang tuaku, aku kemudian merencanakan sesuatu untuk membuktikan bahwa yang namanya pocong hanya fenornena fiktif dan khayalan ilusi semata, serta khayalan orang-orang penakut dan pecundang. Mustahil di era modern ini masih ada orang-orang yang percaya hal-hal yang begituan.

Diam-diam kulipat sprei putih ranjang tidurku lalu kumasukkan Ke dalam tas plastik kantongan hitarn. Ketika jam dinding berbunyi 11 kali, aku segera melangkah keluar rumah.

Malam ini aku cuma ingin membesarkan hati teman-teman, bahwa aku sosok yang selalu menepati janji, ingin membuktikan bahwa aku memang selalu berpikir rasional. Dan aku bahkan ingin menakut-nakuti siapa saja yang kutemui karena aku yang menyamar sebagai pocong.

Begitu berada di lokasi lintasan si pocong, aku segera menyelinap di balik ketinggian semak belukar dan ilalang dekat tepian sungai. Kemudian menyelimuti sekujur tubuh dengan sprei putih sedemikian rupa, kusungkupkan ke kepala menutupi wajah dengan melubangi dua tempat sebata mata bisa memandang keluar.

Waktu itu sudah lewat tengah malam, dan aku menunggu apa yang akan terjadi masih sembunyi di balik semak. Menunggu siapa saja yang lewat di sana untuk ditakut-takuti. Dapat kubayangkan dia akan terkencing-kencing menyaksikan pocong-pocongan hasil rekayasa.

Aku masih menanti ketika terdengar sayup-sayup suara Salehuddin berteriak histeris, "Pocong......Pocong, tolong....!!!" Lama-kelamaan suara teriakan itu semakin jelas.

"Lho, apa yang terjadi?" gumamku dalam hati sambil keluar dari tempat sembunyi. Lalu melemparkan pandangan berkeliling.

Alam sekitar gelap semata, pandanganku hanya terbatas pada jarak kira-kira satu dan dua meter saja. Untung aku membawa senter sehingga sinarnya mampu menyorot ke berbagai arah sesuai kehendakku.

Suasana matam terasa dingin ketika aku mencium bau aneh mirip bau bangkai atau mungkin mayat. Bau tak sedap tersebut disusul dengan munculnya sesosok makhluk yang sekujur tubuhnya ditutupi kain putih yang sudah lusuh dan kumal. Cukup lama aku diam tegak berdiri bagaikan patung bernyawa, ingin memastikan diriku tidak bermimpi atau berhalusinasi.

Kalau ini nyata, ketidak-percayaanku pada keberadaan makhiuk halus (gaib) kini harus kupertimbangkan kembali. Ternyata apa yang dinamakan pocong tersebut memang ada lalu bagaimana mengadakan kajiannya secara ilmiah? Sukar untuk menjawabnya.

Saat itu kami hanya saling pandang. Si pocong sering menyeringai. Menatap tajam ke arahku dalam jarak kira-kira 3 atau 4 meter di depan. Si pocong tidak mendekat untuk berbuat sesuatu. Atau mungkin dia menduga sedang berhadapan dengan komunitas pocong juga, karena sprei putih yang menyelimuti tubuhku saat itu masih utuh.

Setelah kuperhatikan lebih teliti, pelan tapi pasti dari mulut, lobang hidung dan matanya bermunculan cacing-cacing tanah, belatung dan beberapa jenis ulat-ulat lainnya.

Alangkah jijiknya aku menyaksikan semuanya itu. Ingin rasanya aku teriak minta tolong, anehnya temanku Salehuddin tak terdengar lagi suaranya. Apalagi setelah merasakan cacing-cacing tanah, belatung dan serangga lainnya itu berhamburan ke arah wajahku yang masih tertutup sprei.

Entah bagaimana awalnya, hewan menjijikkan itu semakin banyak merayap kian kemari memasuki rongga dan lubang di tubuh. Selain merasa jijik juga geli. Setiap kusingkirkan, datang lebih banyak lagi. Kulit terasa seperti dicubit-cubit ketika mereka ingin masuk lebih jauh memasuki tubuh. Suara minta tolong dariku tidak pernah keluar.

"Hi......M......hi....." Si pocong yang kupastikan berkelamin perempuan itu memperdengarkan suara tawa yang cukup spesifik. Nadanya serak-serak basah dan melengking. Setelah itu aku tidak sadarkan diri. Entah masih pingsan atau telah mati, aku tidak tahu. Yang kutahu aku belum mati, dan berada di sebuah rumah sakit dalam ruang gawat darurat.

"Anda telah mengalami keadaan koma selama lima hari," kata dokter yang
merawatku ketika aku dilihatnya kebingungan.

"Untung Anda diselamatkan oleh seorang pria tua yang kebetulan berada di lokasi tersebut."

Pak Tua? gumanku dalam hati. Artinya beliau tetap membayangi diriku saat itu.

"Lalu dimana beliau, Dok?" tanyaku kemudian karena didorong keinginan untuk
mengucapkan terima kasih.

"Pak Tua itu telah dikuburkan kemarin karena ada ulat dan cacing yang sempat masuk ke dalam tubuhnya dan berkembang biak di dalamnya."

Mendengar kabar itu, aku cuma mampu tafakur. Lalu mendoakan semoga arwahnya mendapat tempat di sisi-Nya. Ketika kembali kuliah di Medan, aku merasa malu untuk menceritakan apa yang telah kualami di kampung. Rekan-rekan sekampus ada yang menganggapku mendongeng atau ingin mencari sensasi karena telah hampir dipecundangi oleh pocong. Sejak itu aku sering trauma jika membesuk mayat orang mati meski yang meninggal dunia teman dekat atau tetangga.