Cerita Horor Terseram: Santet Sewu Dino (Bag.1)

Kisah Misteri Horor - Santet Sewu Dino Bag.1

Hari ini kami akan menceritakan ulang sebuah kisah yang sempat viral setelah "KKN di Desa Penari". Sebuah kisah yang diceritakan oleh orang yang sama, yakni akun Twitter @SimpleM81378523 berjudul "Santet Sewu Dino".

Santet Sewu Dino (Santet Seribu Hari) ini adalah cerita misteri horor yang ditulis berdasarkan kisah nyata. Kami menulis ulang ceritanya di sini dengan mengubah beberapa susunan kata dan kalimat serta menterjemahkan percakapan tanpa mengubah alur atau jalan cerita.



Selama beberapa hari saya sempet gak muncul karena drop setelah menempuh jalan jauh buat datang ke beberapa orang yang bakal menceritakan cerita ini. Narasumbernya gak hanya 1, tapi 4 orang yang seharusnya jadi narasumber. 1 orang gagal saya temui karena keterbatasan waktu. Tapi cukup bagi saya buat bilang, cerita ini bakal jauh lebih panjang dari KKN di Desa Penari. Dan mungkin jauh lebih kelam.

Tapi sebelum itu, saya cuma mau bilang soal beberapa peraturan atau pantangan yang narasumber ajukan, salah satunya kerahasiaan kota dan lokasi. Dan yang paling penting, kerahasiaan semua tokoh yang terlibat karena cerita ini menyangkut sebuah keluarga besar yang terpandang.

Kejadian atau lokasi latar cerita tidak begitu jauh dari cerita KKN di Desa Penari. Hanya berbeda daerah saja alias bertetangga tapi tidak ada hubungannya sama cerita KKN itu, dan jangan dihubungkan.

Malam ini saya akan menyajikan sebuah peristiwa kelam, atau bisa dibilang pengalaman mengerikan dari seseorang yang berhasil saya ulik. Begitu kelamnya cerita ini sampai saya janji gak akan membocorkan lokasi dan semua yang berhubungan dengan cerita ini. Untuk itu saya mohon kerjasamanya. Selebihnya terima kasih sudah meluangkan waktu.

-2001-

"Kamu yakin mau pergi ke ibu kota? Kenapa ndak cari di sekitar sini? Yang dekat saja dulu, mungkin saja tenaga kamu dibutuhkan"

Sri terdiam, butuh waktu untuk mencerna kalimat bapak.

"Kerja apa pak disini? Sri kan cuma lulusan SD" kata Sri sembari menghela nafas.

"Terus kalau kamu berangkat, nasib bapak gimana? Siapa yang nanti merawat, nak?"

"Iya pak, Sri tahu. Tapi kalau Sri ndak cari kerja, gimana Sri bisa ngasih bapak uang?"

Sore itu matahari mulai terbenam, sebelum seseorang mengetuk pintu gubuk rumah Sri. Rupanya itu adalah bu Menik, tetangga yang paling mampu di kampung itu. Ia menyampaikan kedatangannya, mengabarkan bahwa ada penelpon dari Griya Zainah; salah satu agen penyalur pembantu yang tempo hari dititipi oleh Sri bila ada yang membutuhkan tenaganya.

Sri pun bergegas. Di kampung itu memang hanya bu Menik yang punya pesawat telepon. Karena itu banyak warga yang selalu minta tolong kepada beliau, termasuk untuk urusan ini. Sri menjawab telepon, ia diminta datang esok hari ke rumah si penyalur.

Untuk sementara, Sri menunda keberangkatannya. Ia berharap bila memang rejekinya tidak jauh dari tempatnya tinggal, ia akan menyanggupinya. Mengingat bapaknya sudah tua dan mungkin tak mau jauh dari anak semata wayangnya yang hanya lulusan SD, seperti kebanyakan anak perempuan di kampung itu.

Yang sekarang Sri pikirkan adalah, ia harus cari uang untuk menopang kebutuhan yang kian hari semakin melejit. Untuk makan sehari-hari saja sudah susah. Karena itu Sri nekat melamar untuk menjadi pembantu di rumah orang yang mampu.

Langit masih gelap, namun Sri begitu antusias. Meski ia janji akan datang pukul 8, Sri sudah bergegas keluar rumah saat fajar pertama sudah menyingsing. Ia harus naik angkutan kota. Kampungnya ada di pinggiran, butuh waktu satu setengah jam untuk sampai ke kota.

Tibalah Sri di depan rumah besar itu. Meski bentuknya rumah, namun si pemilik sudah terkenal sebagai agen penyalur tenaga kerja untuk orang yang mencari jasa PRT. Sri baru tiba dan dilihatnya sudah banyak sekali orang menunggu. Tampaknya, Sri bukan satu-satunya yang datang.

Butuh waktu lama hingga akhirnya nama Sri dipanggil. Ia masuk ke sebuah ruangan kecil, melihat si pemilik agen penyalur lalu ia menjelaskan kalau mungkin ia butuh jasa PRT untuk satu keluarga. Katanya ia masih harus diseleksi, dan siang ini si keluarga akan datang.

Sebelum keluarga itu datang, si pemilik jasa mengutarakan pertanyaan yang membuat Sri sedikit curiga. Lebih tepatnya, pertanyaan itu mengundang banyak sekali pertanyaan lain di kepalanya.

"Sri, ini benar kamu lahir Jumat Kliwon?"

Sri yang mendengar pertanyaan itu awalnya kaget. Namun dengan tergagap, Sri bisa menjawabnya. Mungkin memang benar ia lahir di hari Kliwon, tapi ia tidak tahu jika itu hari Jum'at. Si pemilik jasa mengangguk, seakan ia menemukan apa yang ia cari. Bagi Sri, itu pertanyaan aneh.

"Hari lahir kamu istimewa ya, Sri?" kata si pemilik jasa.

Kemudian ia membawa Sri ke ruangan lain yang lebih besar, lebih megah. Ia diminta untuk menunggu. Disana ada 2 orang yang sudah duduk terlebih dahulu. Tampaknya, Sri sudah lolos tes pertama.

Selama berjam-jam Sri menunggu disana. Ia sudah mengobrol dengan 2 orang yang duduk, namanya adalah Erna dan Dini. Mereka usianya tidak jauh beda dari Sri, masih muda dan belum menikah kecuali Dini yang telah berkeluarga.

Entah sampai mana mereka bicara, tiba-tiba si pemilik jasa memanggil salah satu dari mereka. Erna keluar. Lama tidak ada kabar, Erna tidak kembali. Sekarang gantian Dini yang dipanggil hingga menyisakan Sri sendirian di ruangan itu. Menunggu, entah untuk apa.

Di sela kebosanannya, Sri melihat-lihat lewat jendela. Ia melihat banyak mobil terparkir. Sri tidak melihat mobil itu tadinya. Kini, tiba giliran Sri yang di panggil.

Dengan ragu, ia keluar dan berjalan menuju ruangan tadi. Di ruangan itu sekarang ada si pemilik jasa dengan seorang wanita tua yang memakai pakaian kebaya, lengkap dengan sanggulnya. Ia duduk dengan anggun, menatap Sri dari ujung kepala hingga mata kaki.

Ia tersenyum sangat tulus membuat Sri merasa sungkan, seakan ia sedang berhadapan dengan orang yang derajatnya tinggi sekali. Sri bahkan tidak berani melihat matanya, auranya begitu membuat Sri merasa kecil.

"Cantiknya..." ucapnya. Nada suaranya sangat halus.

Sri diminta duduk, kemudian si pemilik jasa memperkenalkan siapa wanita anggun itu yang rupanya adalah pemilik rumah makan terkenal di seantero Jawa Timur. Begitu terkenalnya sehingga kekayaannya tidak perlu lagi dipertanyakan. Semua itu membuatnya terkejut.

Namanya Kembang Krasa. Meski itu hanya semacam gelar, namun Sri tahu arti nama itu. Nama itu berarti Bunga Krasa, bunga yang wanginya dulu sempat melegenda sebelum ditumpas untuk menyingkirkan balak di atas gunung Ijen saat bangsa lelembut masih mendiami tanah Jawa.

Kembang Krasa di Jawa Timur adalah nama lain dari bunga Edelweiss, bunga unik yang jika dipetik dari tangkai masih akan terlihat segar dalam waktu yang lama. Itulah sebab kenapa Kembang Krasa disebut sebagai bunga abadi.

Semua orang disini tahu tentang itu. Sri hanya menunduk, ia masih segan menatap wanita itu.

"Angkat kepalamu, nak. Tidak usah takut begitu. Mbah ini sudah tua, tidak perlu hormat begitu"

Sri hanya mengangguk, ia tidak membuang rasa segannya seperti yang diperintahkan. Tibalah saat mbah Krasa mulai mengajukan beberapa pertanyaan mulai dari tanggal lahir, weton, dan penanggalan yang bahkan Sri bingung menjawabnya. Puncaknya saat ia menyentuh tangan Sri, ia tersenyum.

"Nak, kamu mau kerja sama saya?" Sri mengangguk,

"Kamu minta berapa untuk gajimu dalam sebulan?" tanya mbah Krasa.

Sri bingung menjawabnya. Kemudian dengan gugup, ia mengatakannya, "700 ribu mbah, kalau bisa"

Sri sempat melirik wanita itu. Ia tetap anggun dengan senyumannya.

"700 ribu..." katanya. "Gimana kalau setiap bulannya tak kasih 5 juta?"

Sri kaget bukan main. Gaji PRT tahun itu cuma sekitar 500 ribu. Sri pun langsung setuju. Ia tidak tahu harus mengatakan apa, bahkan ketika si wanita itu sudah pergi. Si pemilik jasa tidak akan memungut uang sepersen pun dari Sri. Hal itu membuat serentetan kejadian ini jadi semakin aneh. Pekerjaan macam apa yang digaji setinggi itu?

Sri mulai ragu. Ia pulang dan menceritakan sama bapak. Namun bapak mengatakan hal yang sedari tadi dipikirkan Sri.

"Firasat bapak kok ndak enak ya nak? Apa ndak usah aja? Cari lagi yang lain"

Tapi Sri meyakinkan bapak bahwa kapan lagi ia bisa mendapat pekerjaan dengan gaji setinggi itu. Dalam hati kecilnya, ia ingin melihat lebih dahulu pekerjaan apa yang diberikan kepadanya.

Keesokan harinya ia pergi ke rumah mbah Krasa. Disana ia melihat Erna dan Dini, mereka juga terkejut. Sama seperti sebelumnya, mereka dipanggil satu per satu. Hingga tiba giliran Sri, kali ini ia melihat semua anggota keluarga mbah Krasa. Ada 7 orang yang semuanya duduk memandang Sri. Mereka juga mengamati Sri dari ujung kepala hingga mata kaki.

"Begini, mbak. Saya mau tanya dulu. Anda setuju mau bekerja disini? Karena ada pantangannya, kalau mbak sudah menerima maka pantangannya tidak bisa dicabut" kata seorang wanita yang lebih muda, umurnya sekitar 30 tahun.

"Pantangan apa ya?" Sri bisa melihat gelagat aneh karena mereka saling memandang satu sama lain, seakan pertanyaan Sri tidak perlu mereka jawab. Mbah Krasa berdiri dari tempatnya lalu berbisik pada Sri,

"Hidupmu akan terjamin kalau kamu mau, nak. Tapi kalau kamu tidak mau, mbah tidak memaksa" Tidak ada jawaban dari pertanyaan Sri. Namun Sri memberikan jawaban pada saat itu juga.

"Iya, saya mau"

Sri pun melangkah pergi, ia menemui Dini dan Erna. Rupanya mereka semua diterima bekerja disini. Disini? Itu adalah pertanyaan yang akan membuat mereka kebingungan. Terutama saat malam tiba.

Malam itu ketika mereka semua sudah datang ke rumah itu, mbah Krasa sudah menunggu bersama anggota keluarga lain. Ia menjelaskan bahwa mereka bertiga akan ditugaskan di tempat lain. Sebuah rumah yang sangat jauh, jauh sekali. Sebuah rumah di dalam hutan.

Sri dan yang lain bingung, tidak ada penjelasan tentang ini sebelumnya. Namun mereka sudah terlanjur menerima pekerjaan ini. Rumah macam apa yang dimaksud pun Sri tidak mengerti. Ada sebuah mobil yang datang dan siap mengantar mereka.

Mobil sudah bergerak. Sri, Erna dan Dini masih terlihat kaget. Mereka tidak ada yang berbicara. Bingung. Sri memberanikan diri bertanya pada sopir, namun sopir memberi isyarat bahwa mereka tidak boleh bicara terlebih dulu, seakan-akan mereka sedang dibuntuti sesuatu.

Ada kejadian menarik yang membuat Sri semakin curiga. Di etiap persimpangan, si sopir berhenti. Ia mengambil sesuatu dari belakang lalu meletakkannya di tengah jalan. Seperti bunga di dalam kotak yang terbuat dari daun pisang.

Hal itu menimbulkan kecurigaan pada apa yang sebenarnya ia lakukan. Ia terus melakukannya sampai akhirnya mobil sudah jauh meninggalkan kota. Perlahan mobil itu mulai memasuki area hutan. Jam menunjukkan pukul 12 malam saat kegelapan hutan mulai menyelimuti mereka.

Tak terbayangkan bahwa mereka akan tinggal di dalam hutan segelap ini, di kiri-kanan pepohonan dengan semak belukar. Mobil terus berjalan sampai tiba di sebuah jalan setapak. Perlahan mobil melesat masuk. Di atas jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan liar, mobil terus menerobos memaksa masuk.

Sri dan yang lain mulai merasa tidak nyaman dengan ini. "Pak, kita mau kemana ini? Saya tidak akan dibunuh kan?" tanya Dini.

Si sopir hanya tersenyum, tetap memaksa mobil menembus sela pepohonan seakan mencari jalan di tengah gelap hutan yang dipenuhi kabut di sepanjang jalan.

Setelah jauh masuk ke dalam hutan, laju mobil terhenti karena terhalang satu pohon besar yang tiba-tiba tumbang begitu saja. Si sopir keluar dari mobil dan menyingkirkan pohon tumbang itu, dari sana mereka melanjutkan perjalanan.

Setelah melewati jalan yang naik turun, mereka sampai di sebuah rumah gubuk. Rumah itu terbuat dari kayu yang disusun serampangan. Atapnya tidak terlalu tinggi, terlihat sangat kumuh yang bahkan lebih kumuh dari rumah Sri. Dari dalam rumah muncul seorang pria tua yang seolah sudah menunggu mereka semua.

Sri dan yang lain turun, kemudian si sopir menjabat tangan si pria tua. Ia mencium tangannya sebelum memperkenalkan Sri dan 2 orang lainnya. "Mulai dari sini, bapak ini yang akan menjelaskan semua" kata si sopir.

Bapak itu sudah uzur, bahkan caranya berjalan saja seperti kewalahan menyangga badannya sendiri. Ia tidak bicara banyak, ia mengajak Sri dan yang lain masuk ke rumah itu dan menuntunnya masuk ke dalam kamar.

Di salah satu kamar itu, Sri dan yang lain kaget bukan main karena tepat di atas ranjang ada sebuah peti mati. Itu keranda mayat. Di dalamnya ada seorang gadis yang mungkin masih SMU, masih muda. Ia tertidur, di badannya ada nanah berbau busuk dan garis lebam hitam. Siapa?

"Nama saya Tamin. Saya tahu, pasti banyak yang ingin kalian tanyakan tentang apa yang terjadi disini" si pria tua itu membungkuk sebelum melangkah keluar kamar.

"Ada apa sebenarnya disini?" kata Dini, ia tidak bisa mengalihkan pandangannya pada gadis itu. Matanya terpejam, dikurung oleh bambu kuning yang dibentuk menyerupai keranda mayat. Sri dan yang lain yakin, ada sebuah rahasia di tempat ini. Tapi apa?

Di saat-saat kebingungan itu, Sri melangkah mundur. Ia tidak sanggup lagi melihat gadis itu yang entah siapa dan kenapa ada disini. Ia berniat mencari tahu dan bertanya langsung kepada sopir yang mengantar mereka. Langkahnya terhenti saat ia mendengar si sopir dan mbah Tamin berbicara.

"Gik, apa gak ada yang ngasih tau mereka pekerjaannya? Kok kayaknya mereka kaget gitu?"

si sopir mulai bicara, "Belum mbah, maaf"

"Kamu mau langsung pulang? Apa gak besok saja?" tanya si mbah.

"Tidak, mbah. Besok saya harus mengantar ibu"

"Ya sudah, hati hati. Jangan buru-buru, takutnya ada itu"

"Itu?" batin Sri. Apa maksudnya? Apa yang mengikuti mereka, dan ada apa semua ini? Banyak pertanyaan muncul dalam kepala Sri. Saat si sopir beranjak pergi, si mbah tiba-tiba bicara.

"Keluar saja, nak. Saya tau kamu ada disitu"

Sri melangkah keluar. Ia melihat cahaya mobil mulai menjauh, pudar, lalu menghilang.

"Panggil teman-temanmu. Biar tau kenapa kalian ada disini"

Sri pun memanggil yang lain. Mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang, matanya menerawang jauh di teras rumah gubuk. Sementara Sri dan yang lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini.

Suasana hutan kian mencekam, setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka. Sri merasa kecil di tempat ini. "Aku masih ingat. Anak kecil cantik, ceria, belum punya dosa"

"Seperti baru kemarin rasanya. Tapi sekarang anak kecil itu ada di ambang nyawanya karena santet dari manusia laknat!" wajah mbah Tamin menegang. Kosakata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat Sri dan yang lain bergidik ngeri.

"Anak kecil itu, Dela, dia yang di kamar"

"SANTET?" ucap Sri dan yang lain bersamaan. Wajah Sri dan yang lain semakin menegang.

"Iya, karena itu dia dibawa kesini, disembunyikan. Biar bisa bertahan sampai ketemu awuluran (cara memasang santetnya)"

"Disembunyikan dari siapa mbah?" tanya Sri yang semakin tertarik, seakan semua yang ada disini membuatnya penasaran.

Mbah Tamin menatap Sri, matanya seakan tidak nyaman dengan pertanyaan itu. "Banyak yang tidak kamu ketahui, lebih baik tidak tahu saja"

Suasana menjadi hening sesaat. Mbah Tamin meraih sebuah kotak lalu mengambil sejumput daun kering dari dalam kotak itu. Ia memelintirnya dengan kertas, sebelum menyesapnya kuat-kuat. Asap mengepul dari mulutnya.

"Sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian disini"

Mbah Tamin berdiri, ia memberi tanda agar Sri dan yang lain mengikutinya. Ia berjalan di samping sisi rumah, banyak sekali potongan kayu yang disusun. Memang, rumah ini terlihat mengerikan dengan pencahayaan yang hanya dari lampu petromak. Selain itu, kegelapan ada dimana-mana.

Ia berhenti tepat di belakang rumah. Ada sebuah pagar bambu dimana di dalamnya ada sebuah sumur. Disana tempat untuk mandi dan mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal disini. Termasuk untuk basuh sudo (memandikan tubuh mati) Dela yang terbaring tak bergerak.

Hanya Sri yang berinisiatif bertanya, terutama ketika soal memandikan itu. Entah kenapa Sri seakan tahu kalau cara memandikannya pasti tidak sama dengan orang biasa. Hal itu membuat mbah Tamin tersenyum, seakan mempersingkat penjelasan beliau tentang ini semua.

"Iya, cara memandikannya memang ada tata caranya. Salah satunya kembang 7 rupa" mbah Tamin menunjuk sebuah tempat khusus dimana ada bunga dengan berbagai jenis berbeda diletakkan di atas tampah.

Dengan cekatan mbah Tamin mengisi baskom dengan air, mencampurnya dengan bebungaan itu, lalu membawanya ke kamar tempat Dela tertidur. Lalu ia memanggil Sri. Dini dan Erna hanya mengamati saja.

Ia diminta mengikat tangan dan kaki Dela. Sri menuruti mbah Tamin walau sebenarnya ia bingung kenapa Dela harus diikat. Setelah Sri menyelesaikan tugasnya, mbah Tamin baru membuka keranda bambu kuning itu. Ia mulai membasuh badan Dela. Sri ikut membantu.

Disitu Sri menemukan fakta lain. Perut Dela membesar seperti sedang mengandung. Sri yang membasuhnya menatap mbah Tamin dengan tatapan bingung dan kaget, namun mbah Tamin tampak mengerti apa yang ingin Sri tanyakan.

Setelah selesai dengan semua itu, keranda kembali ditutup dan kain yang mengikat Dela dilepas satu persatu. Mbah Tamin lalu melangkah pergi.

"Mbah" panggil Sri sambil mengejar mbah Tamin. Di belakangnya ada Dini dan Erna yang tidak tahu apa yang baru Sri lihat.

"Nanti tak ceritakan, kalau kamu sudah siap. Tugas kalian semua, mengurus Dela" kata mbah Tamin.

- Sudah 3 hari berlalu -

Sri, Dini, dan Erna bergantian mengurus Dela. Mulai dari memandikannya hingga memberi minuman. Gadis itu lebih seperti gadis yang tengah koma dibandingkan gadis yang disantet. Entah oleh siapa dan bagaimana ceritanya. Masih terlalu awam untuk tahu, pikir Sri.

Sudah tak terhitung berapa kali Sri mendengar Erna dan Dini berbicara tentang Dela. Tentang bau busuk yang keluar dari tubuhnya, sampai kalimat tidak menyenangkan lainnya saat mereka tinggal di tempat ini. Dan betapa misteriusnya lelaki tua bernama Tamin itu, namun Sri lebih memilih diam.

Di luar semua itu, sebenarnya Sri sama seperti yang lain, aroma busuk itu benar-benar menganggunya. Selain itu hidup disini sangat berat. Tidak ada orang lain, kiri-kanan hanya pohon liar, seakan mereka tinggal di dunia yang berbeda.

Suatu sore mbah Tamin pamit, ia akan pergi. Ia berpesan kepada Sri dan yang lain untuk tetap menjalankan tugasnya dan tidak melupakan pantangan yang sudah ia ucapkan. Salah satunya, tidak lupa mengikat Dela saat membuka keranda itu.

Mbah Tamin juga berpesan untuk tidak membukakan pintu malam ini.

"Siapapun dan bagaimanapun, jangan membuka pintu" ucap mbah Tamin sebelum ia pergi menembus pepohonan hutan. Sri yang mendengar langsung merasa merinding setiap ingat pesan orang tua itu.

Hari sudah gelap, Sri menutup pintu dan jendela lalu pergi ke kamar. Disana ia melihat Dini sudah tidur. Disampingnya, Erna tengah meringis menahan sakit.

"Kamu kenapa, Er" tanya Sri.

"Sri, aku boleh minta tolong?"

"Minta tolong apa?"

"Nanti malam giliranku memandikan Dela. Bisa kamu gantikan? Besok biar aku yang gantikan kamu"

Awalnya Sri keberatan. Namun melihat kondisi Erna, Sri setuju. Setelah menerima permintaan Erna, Sri bersiap mengambil air. Ia lupa bahwa air di gentong dapur sudah habis. Terpaksa ia membuka pintu untuk menimba air dari sumur.

Meski awalnya ragu, Sri mematung di depan pintu. Perlahan ia membuka pintunya lalu keluar. Entah perasaan tidak enak macam apa yang Sri rasakan, malam ini lebih hening dari biasanya. Tidak terdengar suara binatang malam, seakan membuat ketakutan Sri yang selama ini ia tahan menyeruak keluar.

Sri melangkah keluar lalu cepat-cepat pergi ke sumur, menimbanya, lalu kembali, tapi...

Dari sudut matanya, jauh di salah satu pohon besar di samping kamar mandi, Sri melihat ada wajah yang mengamati. Saat Sri menatapnya, wajah itu menghilang. Sri terdiam cukup lama tapi ia tetap melanjutkan tugasnya.

Sri segera menimba air dengan cepat. Tak lupa matanya awas menatap sekeliling, seakan ia sedang diawasi sesuatu. Setelah semua selesai, Sri berlari dan mengunci pintu. Perasaan lega langsung dirasakan oleh Sri. Kini ia melangkah menuju kamar Dela.

Sri meletakkan airnya, taburan kembang sudah ia lakukan. Sri membuka keranda bambu kuning dan mulai membasuh tubuh Dela dengan handuk kecil. Pandangannya masih tertuju pada perut besarnya; yang katanya Erna; dihamili oleh mbah Tamin. Namun Sri tidak percaya, ia selalu menyangkal ucapan itu.

Sri terus membasuhnya hingga sampai ke tangannya yang penuh luka borok. Disana Sri terdiam, ia lupa belum mengikat tangan dan kaki Erna. Saat Sri baru menyadarinya, ia melihat Dela membuka mata, tersenyum menyeringai, dan melotot menatap Sri.

Kaget, Sri beringsut mundur. Namun Dela mencekik leher Sri kuat-kuat. Mulut Dela menganga, menunjukkan gigi hitamnya yang membusuk. Terjadi pergulatan hebat antara Sri dan Dela. Sri berusaha melepaskan cekikan Dela yang kuat sekali, membuatnya hampir meregang nyawa.

"Siapa kamu nak?" tanya Dela. Suaranya berat, nyaris menyerupai suara seorang wanita tua.

"Dimana ini nak?"

Sri masih mencoba melepaskan cengkraman kuat itu. Namun Dela terus menyeringai. Air liurnya menetes, matanya putih. Ia tersenyum,

"Jawab kalau ditanya!"

"Siapa kamu?!" tanya Sri terbata-bata, nafasnya mulai sesak.

Dela tertawa semakin keras, membuat Sri menangis ketakutan. Erna masuk ke kamar karena keributan itu. Ia bingung melihat Dela terbangun.

"Ada apa ini? Sri, kenapa Dela... Kenapa Dela..." bingung, Dela menyeringai melihat Erna sebelum akhirnya melepaskan cekikan itu. Ia melompat ke atas ranjang, merangkak, kemudiantertawa kegirangan.

Dela berteriak, "Anak (kelahiran) Kliwon semua"

Dela masih tertawa. Sri beringsut mundur sementara Erna masih bingung dan shock melihat wajah Dela yang mengerikan itu. Dela terus melihat Sri dan Erna bergantian.

"Percuma, sewu dino (seribu harinya) anak ini akan habis"

"Kalian semua hanya akan jadi tumbal untuk anak ini" Dela tertawa terus menerus sebelum Sri melompat dan mencengkram Dela. Ia mengguyur Dela dengan air kembang itu dan Dela berteriak kesakitan.

"Kamu ngapain? Cepat ambilkan tali hitam itu!" teriak Sri pada Erna. Erna yang sempat kebingungan bergegas mengambil tali itu. Sri mengikatnya tepat di lehernya.

"Ada apa ini, Sri?" Erna ikut menahan tubuh Dela yang meronta sebelum akhirnya Dela menjadi tenang dan ia kemudian tertidur kembali. Sri baru mengikat tali itu dengan benar, ia mengangkat Dela kembali ke ranjangnya, lalu menutupnya dengan keranda bambu kuning.

Wajah Erna dan Sri masih tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi. Erna mulai menangis, "Aku mau pulang"

Sri tidak berkomentar. Ia sadar bahwa sekarang ia juga ingin pulang. Kalau bukan karena sudah terikat kontrak dan ada resiko, mereka pasti sudahpulang. Lantas apa yang disembunyikan oleh si mbah?

Sri menceritakan semuanya kepada Erna, ia lalai dalam menjalankan tugasnya. Karena panik, ia membasuh Dela tanpa mengikat tali di kaki dan tangannya terlebih dahulu.

Namun gara-gara itu Sri menyadari santet macam apa yang memasukkan iblis sekuat itu hanya untuk menghabisi nyawa Dela. Sri jadi ingat cerita bapak, santet bukan hal baru disini. Namun untuk melaksanakan santet dibutuhkan kebencian yang melebihi akal.

Bila benar itu, kebencian macam apa yang bisa dan setega ini dilakukan oleh orang hanya untuk mengambil nyawa seorang anak yang tidak tahu apa-apa.

Di balik semua itu, santet ini adalah kali pertama Sri lihat. Seperti ada teka-teki, seakan ada yang ditutupi. Pasti ada jawabanya, pasti ada jalan keluarnya. Namun apa? Sri tidak tahu apapun dari keluarga ini, dan kenapa anak ini sebegitu berharganya.

Sampai, Sri teringat, "Seribu harinya" kata Sri lirih, ia melirik menatap Erna. "Er, jangan bilang kamu lahir di hari Jum'at Kliwon"

Erna yang mendengarnya kaget, "Kamu juga?"

Sri merasa ngeri, sekarang ia tahu sesuatu. Namun ada satu lagi yang harus ia cari kebenarannya. Bila benar, pertanyaannya terjawab sudah. Tidak hanya Dela yang hidupnya di ujung tanduk, tapi mereka bertiga semua terjerat dalam satu garis weton yang sama.

Sejahat itu keluarga ini untuk harga nyawa mereka semua. Tiba-tiba terdengar suara orang mengetuk pintu. Erna pun sama, ia langsung berdiri.

"Mbah Tamin pulang, Sri. Ayo kita tanya orang tua sialan itu. Pokoknya dia harus menjelaskan semuanya, ada apa sama anak ini"

Erna pergi saat Sri teringat pesan mbah Tamin. Ia langsung bergegas menghentikan Erna. Sri lari mengejar Erna. Untung ia masih sempat mencengkram lengan Erna, mereka terdiam di depan pintu rumah.

Suara ketukan itu terdengar lagi, setiap ketukannya terdiri dari 3 ketukan. Semakin lama ketukannya semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat.

Sampai, tidak ada ketukan lagi...

Erna dan Sri saling berpandangan, bingung. Keheningan menenggelamkan mereka di dalam rumah itu. Sebelum sesuatu menggebrak pintu dengan keras hingga membuat mereka tersentak.

Mereka hanya diam, berusaha tidak bersuara. Lalu dari belakang, seseorang melangkah masuk. Dini melihat 2 temannya terlihat kacau balau. Ia kemudian berujar,

"Kalian gak dengar mbah Tamin manggil? Cepat buka pintunya"

"Heh! Jangan ngawur kamu!" bentak Erna.

Namun Dini memaksa, bahkan Sri yang memegang tangannya. Dini melotot sampai akhirnya mereka mengalah. Dini membuka pintu. Di luar, mbah Tamin berdiri. Ia hanya diam, menatap mereka semua sebelum melangkah masuk ke rumah.

Anehnya, malam itu wajah mbah Tamin tampak merah padam. Ia tidak berbicara kepada mereka, tidak membahas kenapa pintunya tidak langsung dibuka padahal ia sudah memanggil-manggil dari tadi.

Namun Sri merasa mbah Tamin sudah tahu bahwa ia baru saja lalai terhadap Dela. Sri dan yang lain mengikuti mbah Tamin. Beliau masuk ke dalam kamar Dela lalu perlahan membuka keranda itu. Ia membukanya, kali ini tanpa mengikat Dela terlebih dahulu, seakan ingin mengulang kesalahan Sri.

Hanya Sri dan Erna yang memandang hal itu dengan ngeri. Sri mendekat perlahan, seakan ingin melihat lebih dekat apa yang akan orang tua itu lakukan. Tiba-tiba mata Dela terbuka, ia melihat mbah Tamin. Menatapnya cukup lama, sebelum menangis meraung layaknya gadis kecil.

"Sakit, ki... Sakit..." Dela hanya menangis.

Mbah Tamin membelai rambut Dela, berusaha menenangkannya. Pemandangan itu seperti melihat seorang ayah dan anak yang saling mengasihi. Tapi Sri masih bingung kenapa Dela yang ini berbeda dengan Dela yang tadi?

"Yang sabar ya, nak? Sebentar lagi adalah puncak rasa sakitmu" ucap mbah Tamin, ia masih mengelus rambut Dela.

Dela melirik, Sri dan yang lain yang hanya diam mematung. Tatapannya seakan mengucapkan "terima kasih sudah mau merawat saya"

Mbah Tamin lalu mengikat tangan dan tali Dela. Tergambar wajah sedih disana. Ia lalu masuk ke dapur mengambil sebuah kain putih besar. Saat mbah Tamin kembali ke kamar Dela, Dela menangis semakin keras. Ia berulang kali mengatakan, "Jangan, ki... Jangan kembalikan saya kesana"

Namun mbah Tamin tetap meletakkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh Dela yang meronta-ronta. Terakhir, mbah Tamin membakar kemenyan sebelum memegang kepala Dela. Dan terdengar suara raungan yang mengguncangkan seisi rumah itu.

Sri dan Erna sampai beringsut mundur. Sosok di dalam kain itu terus meraung layaknya iblis yang Sri saksikan tadi. Kali ini Dini tampak terguncang, bingung atas kejadian itu.

Terdengar suara marah dari dalam kain. Ia adalah wujud yang tadi Sri saksikan, "Manusia bejat!"

Mbah Tamin terus menekan kepalanya, membuat suara itu semakin menjerit marah. Setelah kurang lebih 5 menit mbah Tamin melakukan itu, perlahan sosok itu mulai tertidur dan mbah Tamin membuka kain itu. Ia melihat Dela memejamkan matanya.

"Sri, Erna, ikut aku" kata mbah Tamin memanggil mereka, sementara Dini tetap di kamar. Hanya dia yang belum mengerti apa yang terjadi di sini.