Cerita Horor Terseram: Santet Sewu Dino (Bag.3)

Kisah Misteri Horor - Santet Sewu Dino Bag.3

Cerita mistis terseram ini telah mencapai puncaknya. Sri akhirnya paham semua latar belakang dari kisah ini. Kenapa Dela bisa menjadi target santet dari orang lain hingga rahasia kelam sang sopir pribadi. Jangan lewatkan akhir cerita dari "Santet Sewu Dino" ini.

Sebuah rumah yang menyerupai gaya bangunan pondok dengan atap melebar. Rumah dengan kayu jati menjadi corak bahan utama, seakan memberitahu Sri ini adalah tempat yang dijanjikan.

Mbah Tamin berdiri di teras rumah. Di sampingnya ada Dela, hal itu membuat Sri dan Dini tidak bisa berhenti melihatnya. Mereka seakan ngeri dengan pemandangan itu. Dela berdiri persis di samping mbah Tamin. Senyumnya menjadi pembuka dari sambutan yang tidak pernah Sri bayangkan.

Sugik melangkah keluar dan membuka pintu mobil, Sri dan Dini ikut keluar meski dengan langkah ragu. Mereka mendekati mbah Tamin dan Dela yang sejak tadi menatap kedatangan mereka.

"Mbak Sri ya?" kata Dela, suaranya layaknya seperti gadis muda biasa. "Terima kasih sudah mau menerima pekerjaan ini ya mbak"

Sri hanya menyambut tangan Dela, ia masih bisa melihat luka borok dan perut buncitnya. Tidak ada yang berubah dari penampilan fisiknya yang membuat siapapun tidak akan sanggup melihatnya.

Setelah melihat Sri dengan tatapan sumringahnya, Dela beralih pada Dini, ia melakukan hal yang sama. Sri hanya bingung, ia tidak pernah melihat ini sebelumnya. Apa yang membuat Dela tampak sangat berbeda dengan Dela yang selama ini dia lihat?

Mbah Tamin hanya mengamati saja. Setelah berbasa-basi, mbah Tamin mempersilahkan Sri dan Dini masuk. Di dalam, Sri langsung bisa merasakan bahwa rumah ini jauh berbeda dari rumah gubuk itu. Rumah disini berkali-kali lebih besar dengan nuansa Jawa-nya yang kental.

Meski begitu, Sri merasa ngeri memasukinya. Setiap ruangan di rumah itu sangat luas, banyak lukisan dengan corak yang kental adat budaya Jawa. Namun dari semua itu, ada satu lukisan yang menarik perhatian Sri, sebuah lukisan yang familiar.

Sri menatap lekat-lekat lukisan itu. Seorang wanita tengah berpose dengan sanggul, mengenakan kebaya, menatap lurus. Ia tengah memegang jabang bayi. Yang membuat Sri tidak bisa mengalihkan perhatiannya, jabang bayi di lukisan itu memiliki 2 kepala.

"Sri, kamarmu di belakang. Sini, aku antar" kata mbah Tamin.

Sri baru menyadari Dini tidak ada di belakangnya, entah kemana. Ia mengikuti mbah Tamin menelusuri setapak demi setapak dan melihat banyak ruangan tanpa pintu.

Kamar Sri hanya ruangan kecil dengan beberapa perabot tua. Hanya ada jendela yang ditutup oleh gorden. Ia tidak lagi sekamar dengan Dini. Lalu mbah Tamin mengatakannya.

"Kalau sudah jam 12, pintu kamarmu jangan lupa ditutup. Jangan sampai kamu buka, itu saja pesanku" tegas mbah Tamin, lalu ia pergi.

Sri membuka gorden di jendelanya. Ia bisa merasakan bahwa keberadaannya disini tidak ada bedanya dengan di hutan itu. Entah kenapa, tempat ini rasanya sama saja. Seperti memintanya untuk menguak apa yang ada disini.

Ia melihat Dela yang baru saja melewati kamarnya, menatapnya sejenak, lalu menghilang dengan senyuman yang memancing rasa ingin tahu.

Sri sudah mengunci pintu kamar dan jendelanya. Kini ia berbaring di atas kasur tua yang setiap ia bergerak selalu mengeluarkan suara tidak mengenakkan. Hanya dengan menatap cahaya lilin di meja, Sri merasa aman. Selebihnya, ia terjaga. Tidak bisa tidur dengan sejuta pertanyaan di pikirannya.

Waktu terasa begitu lambat, setiap detik yang Sri lalui terasa mengambang dalam sepi di kamar itu. Tiba-tiba terdengar suara lirih yang membuat Sri merasa tidak sendiri lagi. Suara itu terdengar dari luar kamar.

"Mbaaak Sriii, mbaaak... Ini aku, Dela"

Mendengar itu, Sri langsung tercekat. Suara itu seakan mengancamnya.

"Mbak sudah tidur? Ini aku Dela, mbak. Dibuka dulu pintunya mbak"

Sri masih diam, ia mencoba menahan diri. Suara itu kembali menganggunya.

"Mbak Sriii, aku tau kamu masih bangun. Dibuka dulu pintunya, nanti aku kasih tahu sesuatu"

Kaki Sri mulai melangkah turun Ia beranjak dari tempatnya namun ia masih ragu. Sri belum menjawab, ia masih diam. Membiarkannya ditelan sunyi, sampai keheningan itu menguasai.

Senyap.

Suasana saat itu sangat senyap. Namun perasaan itu seakan menekan Sri dalam kegilaan dan rasa penasaran yang saling melahap satu sama lain. Sri menggila.

Benar saja, keheningan itu membuat sebagian pikiran Sri tertekan hingga Sri merasa bahwa Dela telah pergi. Sri mencoba untuk menenangkan diri, ia terduduk dengan kaki yang sudah lemas. Tapi tiba-tiba...

"BRAKK!!" pintu kamar Sri dihantam oleh sesuatu yang sangat keras. Setelah gedoran itu, suara tertawa yang pernah Sri dengar kembali muncul.

"Anak bodoh, nyawamu itu sampai mana sih? Tak kasih tahu, Jum'at Kliwon! Pikirkan itu, PIKIRKAN OMONGANKU!!"

Sri hanya meringkuk, ia tidak mau menjawab siapapun itu. Lalu terdengar suara,
"Sri, kalau sudah mau tidur, lilinnya dimatikan dulu ya?"

Saat itu juga, lilin itu mati dengan sendirinya. Kegelapan itu menenggelamkan Sri dalam tangisan ketakutan tergila.

-----

"Dela juga mendatangi kamu semalam?" tanya Dini, ia tengah sibuk membasuh baju di sumur belakang. Sri yang baru tiba hanya mengangguk, lalu duduk di sampingnya.

"Kalau sudah malam, Dela kumat. Kata si mbah begitu"

"Si mbah yang kasih tau kamu?"

"Iya, memangnya kamu gak dikasih tau?" Sri tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya melihat air mengalir yang ada di hadapannya.

"Jum'at Kliwon" kata Sri tiba-tiba, Dini mengangguk. Rupanya ia tahu.

Siang itu si mbah memanggil Sri dan Dini. Mereka melihat Dela tengah duduk sendirian, ia seperti sibuk dengan dunianya sendiri.

"Dela lahir disini, makanya saya tidak perlakukan dia seperti saat tinggal di hutan. Setiap sudut rumah ini sudah saya pasang payung untuk orang meninggal. Jadi jangan khawatir"

Mbah Tamin menyesap rokok lalu menghembuskanya perlahan, "Masalahnya sekarang disini..."

"Besok kamis legi, saya minta tolong kamu, Dini. Tolong carikan dimana jimat itu disimpan, bisa?"

"Jimat buat nyantet Dela?" ucap Dini.

"Benar."

-----

Di malam itu, Sri dan Dini masuk ke kamar si mbah. Disana mereka melihat banyak kepala kerbau yang tergantung di tembok. Selain itu kamar mbah Tamin banyak dihiasi kain merah. Bau kemenyan tercium sampai menusuk hidung.

Mbah Tamin kemudian melangkah masuk. Ia menyuruh Dini duduk di depannya, membiarkan Sri berada di samping Dini,

"Kamu akan melihat kebun tebu. Cari orang yang akan kamu temui disana, ikuti. Kemana saja dia pergi sampai ia duduk"

Mbah Tamin kemudian meminta Dini meminum air kelapa hijau dan memijat-mijat kepalanya, sambil mengusap asap kemenyan. Ia lalu menghantam kepala Dini dengan telapak tangan, Dini tersungkur pingsan.

"Sri, tolong jaga Dini. Mbah mau keluar dulu"

Mbah Tamin pergi. Dahi Dini terus berkeringat. Berkali-kali ia tampak seperti orang yang meracau, mengatakan sesuatu seperti "peteng" (gelap).

Dengan sabar Sri membersihkan keringat Dini. Ia juga membantu Dini agar bisa tidur dengan posisi yang benar. Ia terus menjaga Dini sepanjang malam. Si mbah tidak juga kembali. Semakin malam, Dini semakin kacau. Ia menjerit dan seperti sedang berlari, nafasnya terengah-engah.

Yang membuat Sri tersentak ketika Dini mengatakan,
"Bapaknya lihat aku... Bapaknya sudah melihat... Aku dikejar... Aku dikejar!"

Badan Dini tiba-tiba panas, panas sekali. Sri mulai khawatir, namun ia bingung harus apa.

Tak berapa lama mbah Tamin kembali. Ia hanya menepuk bahu Dini dan ia langsung bangun. Wajahnya tampak kaget seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ia urungkan saat melihat mbah Tamin melotot seakan menahan bahwa ia tidak boleh mengatakannya disini.

Mbah Tamin dan Dini keluar. Sri tidak mengerti, kenapa si mbah seakan menghindarinya?

Setelah menunggu, si mbah memanggil Sri dan menyuruhnya agar kembali ke kamar. Perjalanan ke kamar Sri melewati sebuah kamar tanpa pintu. Disana ada Dela yang melihatnya. Ia hanya tersenyum menatap Sri.

Hal terakhir yang Sri ingat saat melihat Dela adalah, ia seakan memberitahu bahwa akhir dari semuanya adalah rumah ini. Rumah yang akan Sri ingat sampai akhir nanti.

Sri menutup pintu lalu menguncinya, ia terlalu lelah malam ini. Apa yang ia lihat ingin ia lupakan dalam tidurnya. Saat Sri memejamkan mata, seseorang membelai rambutnya. Itu memaksanya untuk melihat siapa yang tengah menganggu tidurnya.

"Dela!" Sri terkejut saat melihatnya.

"Kok bisa?"

"Aku dari tadi sebenarnya ada di dalam kamarmu, Sri. Tepatnya di bawah ranjangmu. Orang tua itu gak mencariku, kan?"

"Aku minta tolong. Sekarang nyawamu ada di tangan orang tua itu. Kalau kamu menuruti aku, kamu akan selamat. Nanti tak kasih tahu semua masalahnya. Kamu percaya sama aku, kan?"

"Minta tolong apa?" tanya Sri ragu. Ia masih ingat bagaimana ia melakukan kesalahan fatal itu.

"Bakar payung orang meninggal itu untukku"

Dela lalu melangkah pergi. Ia memberikan tatapan terakhir kepada Sri, seakan yakin Sri akan melakukannya.

Malam semakin larut, Sri melihat sebuah mobil datang. "Sugik" ucap Sri mengawasi dari jendela. Mbah Tamin dan Dini melangkah masuk ke dalam mobil, mereka pergi dari tempat ini. Sri hanya membatin, kemana mereka pergi? dan kenapa ia tidak diajak pergi?

Semua ini tiba-tiba mengingatkannya pada pesan Dela bahwa nyawanya ada di tangan si mbah. Meski ragu, Sri membuka pintu. Ia melihat Dela tersenyum, berdiri di depan kamar seakan sudah menunggunya.

Sri dan Dela menyusuri rumah, ia pergi ke dapur mencari korek dan minyak tanah kemudian mulai berjalan di tengah kegelapan malam.

Bulan sedang tidak menampakkan diri. Sri berdiri di sudut sebuah pagar. Disana, ada sebuah payung kecil berwarna hijau, "Payung penduso" ucap Sri.

"Bakar semua payung ini. Ada 7 payung di atas tanah ini. Percaya sama aku" ujar Dela.

Sri menyiram payung itu dengan minyak tanah lalu membakarnya. Setiap kobaran api yang menyala-nyala, Dela tertawa. Ia seperti menari-nari.

Sri seperti ikut dalam setiap bisikan Dela ketika ia menunjuk dimana saja payung itu disembunyikan. Setiap satu payung terbakar, Dela menari-nari. Ia merentangkan tangan dan tertawa begitu senang, sampai Sri menatap payung terakhir.

Payung itu terletak tepat di depan lukisan itu. Sri berhenti, ia melihat lagi lukisan itu. Memperhatikan setiap detail tentang siapa yang dilukis dalam balutan palet warna yang seakan familiar di mata Sri. Apa maksud lukisan itu? Seolah ia mengenal siapa yang ada dalam lukisannya.

Sampai Sri baru memahami sesuatu namun Dela tiba-tiba berbisik, "Kok ragu, Sri?"

Dela melihat Sri, mengawasinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tatapannya membuat Sri merinding. Ia masih tersenyum, seolah memaksa Sri melanjutkannya.

"Sudah sadar ya siapa aku?"

Sri beringsut mundur, namun Dela terus mendekatinya. Sri langsung berlari sementara Dela hanya melihatnya begitu saja. Ia tidak tahu apa-apa, tidak sampai ia yakin sekarang.

Kini ia mengerti semuanya. Kenapa ia bisa sampai ada disini, siapa Sengarturih dan Banarogo yang sebenarnya, lalu tempat ini. Semua ini adalah...

Sri tersandung, jatuh. Ia merangkak lalu bersembunyi.

Dela baru saja mendekat. Suara langkah kakinya dan bayangan ketika melewatinya seakan membuat Sri hampir kehilangan akal. Sri terus terdiam, Dela tidak akan tahu dimana ia berada. Sebelum...

"SRI...!!!" Dela menarik rambut Sri, mencengkramnya.

Sri melawan sebisanya. Namun ia tidak bisa menghadapi kekuatan yang entah darimana datangnya. Dela seperti orang kesurupan, caranya menghantam wajah Sri dengan telapak tanganya membuat wajah Sri babak belur. Bahkan ia menginjak wajah Sri dengan kakinya.

Dela terus berteriak meminta Sri menyelesaikan tugasnya. Ia harus menyelesaikannya, tidak boleh tidak. Disini Sri menyadari sesuatu, lagi.

Seribu hari sudah semakin dekat. Artinya, tidak ada kesempatan lagi untuk membuang-buang waktu. Sampai terdengar suara mobil datang, Dela dan Sri terdiam. Manakala ada seseorang datang mendekat.

Langkahnya pelan, ia menyusuri ruangan kemudian menampakkan dirinya di depan Sri dan Dela. Mbah Krasa melihat Sri, tatapannya kecewa. Lalu ia mendelik melihat Dela yang entah bagaimana langsung duduk bersimpuh di depan mbah Krasa.

Ia membelai rambut Dela, seakan dia adalah binatang peliharaannya.

"Rupanya kamu sudah mengerti ya?" "Antar Sri ke kamarnya" kata mbah Krasa.

Orang yang berdiri di belakang membawanya pergi. Sri hanya bisa melihat mbah Krasa yang masih menatapnya. Dela hanya melirik dia dengan tatapan penuh ancaman, seakan ia belum selesai dengan semua itu.

Seseorang mengetuk pintu kamar lalu membukanya, Sri melihat wanita tua anggun itu. Tidak ada segan lagi untuknya, Sri justru merasa kesal setiap melihat tatapan matanya yang terbungkus kaca mata tebal mengerikan itu.

"Sri, bantu mbah ya?" ucap mbah Krasa.

"Jum'at Kliwon itu bukan hari lahir Dela. Tapi hari lahir dari orang yang menyantet cucu anda. Apa saya salah, mbah?" tanya Sri pelan.

Mbah Krasa mengangguk, ia mengakuinya.

"Anda ingin mengakhiri nyawa dia melalui saya dan Dini" lanjut Sri.

Mbah Krasa mengangguk. Sri tidak tahu harus bilang apa lagi. Namun kemudian sebelum tangisannya meledak, mbah Krasa membisikkan sesuatu,

"Tolong" lalu ia pergi.

Pagi itu mbah Tamin dan Dini sudah kembali. Seseorang memanggil Sri dari dalam kamar, ia melihat mbah Krasa duduk bersama Dela. Di tengah meja, Sri melihat kotak itu lagi. Dini mulai membukanya. Dari dalam kotak, Dini mengeluarkan "Pasak jagor".

Semua orang menatap Sri. Pasak Jagor, boneka yang Sri lihat nyaris sama persis. Jadi mbah Tamin dan Dini semalaman mencari benda ini. Di badan boneka ada lilitan rambut kusut yang sama persis seperti Sri lihat, mengingatkannya pada Erna.

"Nanti malam kita akhiri disini"

Dela mendekati Sri. Ia menatap Sri seakan ingin tahu. Tatapannya lebih lembut, ia berucap dengan suara lirih,

"Terima kasih ya, mbak. Saya gak akan pernah lupa jasamu" Sri hanya mengangguk, ia sudah tidak perduli.

Setelah memotong rambut Sri dan Dini, mbah Tamin mengikat rambut itu pada boneka. Di belakang rumah, ia sudah membuat 3 lubang galian untuk tempat Dela, Sri, dan Dini duduk di dalamnya.

Mbah Tamin duduk, menyirami boneka itu dengan air sementara bau kemenyan semakin menyengat. Tangan dan kaki mereka diikat dengan ranting muda dari daun kelor sehingga ketiganya tidak ada yang bisa bergerak. Hanya pasrah di dalam setiap lubang yang sudah digali untuk mereka semua.

Mbah Tamin perlahan mencabut satu persatu rambut itu. Terdengar sebuah suara yang tidak asing, suara kerbau meraung. Sri yang sudah terjebak dalam lubang tidak tahu apa yang terjadi karena setelah suara itu hilang, ia mendengar Dela dan Dini menjerit. Lalu hening...

Sesuatu baru saja membasahi tubuh Sri, itu darah. Baunya amis, darah-darah kental itu membuat Sri merasa tidak nyaman. Tanpa sadar, ketakutan sudah merasukinya. Napasnya tersengal karena di dalam lubang itu Sri kesulitan untuk bernafas.

Tiba-tiba Dini berteriak lagi. Kali ini ia meronta. Dari suaranya, ia seperti tengah disiksa. Suara Dini, lalu suara Dela. Suara mereka saling bersahutan satu sama lain.

Sri yang tidak bisa melihat apa yang terjadi hanya bisa gemetar, menahan ketakutan yang semakin menguasainya. Mbah Tamin sedang membalas perbuatan si pengirim santet.

Lalu Sri merasakan tubuhnya tiba-tiba mati rasa. Rasanya seperti terjebak dalam keadaan tidak sadar, seakan Sri tidak lagi bisa merasakan apapun. Rupanya itu hanya awal sebelum rasa sakit seakan merobek-robek daging di tubuhnya.

Saat menceritakannya kepada penulis, Sri berkelakar kalau itu adalah rasa sakit terhebat yang pernah ia rasakan di sepanjang hidupnya.

Suara Sri menggelegar, mereka sama-sama berteriak. Namun ada suara lain yang ia dengar, suara seorang lelaki. Ia tidak hanya berteriak, ia juga mencaci maki dengan suaranya yang bergetar. Suara asing yang tidak diketahui darimana datangnya. Suara si pengirim santet.

Kesakitan itu nyata, membuat Sri tidak tahu seperti apa ia harus menggambarkannya. Setelah sentakan itu, nyawanya seperti ditarik. Saat itulah Sri yakin melihatnya, Dela. Selama ini ia menggendong seorang wanita yang memiliki perut buncit. Hanya saja, sosok itu tak berkaki.

Selama itu juga Sri melihatnya lagi. Selama Dela dikurung dalam keranda bambu kuning, sosok wanita itu mendampinginya. Menjilati borok dan lebam biru Dela dengan lidah panjangnya. Dan sosok itu kemudian melotot melihat Sri.

Sri melihatnya, sosok yang datang bertamu pada malam itu rupanya adalah seorang lelaki. Sri tidak mengenal siapa lelaki itu. Si lelaki tampak mengacak-acak kamar si mbah, namun tampaknya ia tidak mendapatkan benda yang ia cari, ia mengambil kain hitam itu lalu menukarnya. Ia hanya meninggalkan sebuah patek peti mati bertuliskan Atmojo, lalu pergi begitu saja.

Lingkaran itu seperti berputar. Sri menyadarinya, kini mereka terikat satu sama lain. Santet Sewu Dino sebenarnya adalah santet yang tersambung satu sama lain. Nyawa dibayar nyawa.

Lelaki itu memiliki peliharaan yang sama seperti Dela. Kembar. Hanya saja, ia senantiasa berjalan di belakangnya. Kakinya panjang nyaris 2 kali tinggi si lelaki dan terus mengikutinya.

"Banarogo"

Sri terbangun dengan kaki lumpuh. Ia melihat mbah Tamin yang menatapnya. Di depannya, Dela berdiri. Meski berlumuran darah yang sama seperti Sri, Dela menatapnya. Ia membungkuk berterima kasih. Dini hanya duduk, matanya kosong. Mereka semua sama, berbagi rasa sakit. Namun tidak bagi si pengirim santet, mungkin ia sudah mati saat ini.

Mbah Krasa mendekati Sri, memberinya handuk untuk membersihkan badannya. Ia ikut menuntun Sri untuk membasuh diri dengan air, lalu mengantarkannya ke kamar. Ia butuh istirahat sampai tubuhnya pulih kembali.

Sri hanya diam saja. Ia terus mendengar suara mbah Krasa bahwa si pengirim pantas mendapatkannya atas perbuatan yang selama ini ia lakukan terhadap keluarganya. Bahkan mbah Krasa sudah berjanji, Sri akan mendapatkan sesuatu yang pantas. Uang bukan masalah baginya.

Setelah mbah Krasa selesai memandikan Sri, ia mengantarkannya ke kamar. Untuk terakhir kalinya, mereka saling melihat satu sama lain sebelum akhirnya mbah Krasa bersiap untuk pamit pergi.

Namun Sri, mengatakannya, "Yang sebenarnya jahat disini dia apa anda, mbah?"

Ucapan itu membuat mbah Krasa menghentikan langkahnya. Tangannya yang tengah membuka pintu, kembali menutupnya. Senyuman yang tadi terpancar di wajahnya kini kian pudar menatap wajah Sri yang penasaran.

Mbah Krasa lantas kembali duduk, ia menatap wajah Sri. Mereka saling menantang satu sama lain.

"Kamu pernah dengar ndak, Sri? Peribahasa ketidak-tahuan itu berkah dari Tuhan?" Sri yang mendengarnya, menegang.

"Kuncoro, apa itu nama keluarga yang sudah anda habisi? Sampai dia berani menggadaikan nyawanya untuk membalas keluarga anda" tanya Sri dengan suara bergetar.

Mbah Krasa menatap Sri. Ia tersenyum, sudut bibirnya seakan memuji betapa Sri pintar dalam menghubungkan semua ini. Hanya dengan mengikat batin antara Sri dan Kuncoro, Sri langsung tahu semuanya.

"Lalu?" kata mbah Krasa menunggu kejutan lain.

"Sengarturih dan Banarogo adalah peliharaan anda, yang anda jadikan alat untuk menghabisi semua keluarga Kuncoro. Tapi keturunan terakhirnya bisa menangkap Banarogo agar Sengarturih bisa menyiksa Dela. Sebagai gantinya, dia yang menerima semua dosanya"

Mbah Krasa tersenyum lalu tertawa. Ia terhibur dengan semua ucapan Sri. Lantas ia bertanya, "Kamu mau mati disini, apa kalau sudah sampai di rumah, nak?"

Sri hanya diam, ia tidak mengatakan apapun lagi.

"Kamu akan tetap hidup, nak. Mbah sudah yakin, dari awal kamu yang paling berbeda dibandingkan yang lain. Nyawamu ndak ada harganya bagiku. Tapi jangan ceritakan kepada siapapun sebelum saya meninggal, mengerti?"

"Semua manusia itu tidak bisa ditebak. Jahat atau tidak, tetap saja manusia punya tujuannya sendiri yang tidak bisa kamu jangkau seenaknya. Sekarang, kamu masih mau ikut saya atau tidak?" tanya mbah Krasa, ia menunggu jawaban.

"Tidak, saya mau pamit pulang saja mbah"

Mbah Krasa tampak mengerti. Ia memanggil Sugik untuk membopong badan Sri yang masih lemas, lalu membawanya ke mobil. Sekilas, ia melihat sorot mata mbah Tamin. Ia tersenyum seakan tahu apa yang telah terjadi.

Sebelum masuk ke mobil, Dela menghentikannya. Dela meminta agar Sri tetap bekerja disini, berapapun bayarannya. Namun Sri menolak. Ia menatap mbah Krasa tajam, membuat ia mengatakannya,

"Sudahlah, nanti cari lagi yang lebih pintar"

Sri juga melihat Dini. Ia hanya duduk memandangnya, seakan menegaskan bahwa ia akan bertahan disini. Sri tidak punya hak memintanya pergi, terlepas apakah ia juga tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik semua peristiwa ini atau tidak.

Sugik menutup pintu mobil dan membiarkan Sri beristirahat. Mobil perlahan meninggalkan kediaman Atmojo. Sugik terus membawa Sri menuju perjalanan pulang. Namun tiba-tiba ia menghentikan mobil di samping sebuah tebing.

Ia keluar dari mobil, mengeluarkan sebatang rokok, lalu menghisapnya. Sugik lalu bertanya pada Sri yang kebingungan, "Sri, sekarang kamu mengerti kan siapa keluarga Atmojo?"

Sri mengangguk,

"Tapi apa kamu tahu siapa itu keluarga Kuncoro?"

Sri terdiam memandang Sugik, "Aku tahu"

"Dulu aku bekerja untuk keluarga Kuncoro. Sebelumnya, keluarga itu berani menentang keluarga Atmojo. Aku tahu semuanya. Bagaimana keluarga itu dibunuh satu per satu dengan penyakit aneh, sampai ada yang bunuh diri. Tapi ada yang tidak diketahui oleh keluarga Kuncoro..."

Sugik terdiam sejenak, "Aku yang menanam Pasak Jagor di rumah keluarga Kuncoro. Aku yang berkhianat pada keluarga itu. Aku takut, Sri. Sampai sekarang kalau ingat itu, aku pasti nangis"

"Mbah Tamin yang memaksaku. Kalau tidak mau, anak istriku yang akan menerima kirimannya"

Sri tidak habis pikir. Sekarang kepingan puzzle itu selesai sudah.

-----

Itu adalah kali terakhir Sri berhubungan dengan keluarga Atmojo. Sudah sebulan lebih ia tidak mendapatkan kabar itu lagi. Ia sudah kembali berkumpul dengan bapaknya. Sampai di suatu pagi, ia mendengar seseorang mengetuk pintu.

Bapak pergi keluar untuk memeriksa namun ia tidak kunjung kembali, Sri pun pergi memeriksanya. Ia mendapati bapak memegang sebuah kresek hitam besar. Mata bapak melotot kaget melihat isi kresek itu. Ketika Sri merebutnya, ia langsung tahu apa itu.

Uang.

Uang yang memenuhi kantung kresek itu baru saja tertinggal atau sengaja ditinggalkan di rumah ini. Melihat itu, Sri lantas membawa uang itu hendak membuangnya.

Bapak coba menghentikan Sri. Tapi Sri bersikeras, ia membuangnya ke pembuangan sampah dan mengatakan kepada bapak agar tidak mengambilnya kecuali ingin dia terjerat lagi dalam lingkaran keluarga Atmojo.

-----

Sampai disini saya akhiri saja cerita ini. Tiga narasumber itu sebenarnya memang salah satunya adalah Sri. Narasumber lainnya adalah orang yang mengaku tahu cara kerja ilmu hitam seperti ini. Bahkan nama angon (peliharaan) itu juga diganti karena konon sedikit sulit menceritakan penggambaran sebenarnya dari angon ini.

Yang paling saya inget dari ucapan mbak Sri adalah, "Semua orang besar di negeri ini pasti punya pegangan, jadi tidak usah kaget. Kalau tidak, ya mudah saja buat cara menghabisi dia"

Saya pikir cerita ini adalah cerita tergila yang awalnya saya dengar dari tukang pijat. Sampai setelah mendengarnya langsung, saya merasa bahwa cerita ini akan bagus bila saya angkat.

Saya tidak tahu harus ngomong apa sebagai penutup. Karena kalau ingat ini, rasanya saya cuma milih diam saja. Yang jelas, apa yang kamu lakukan di dunia kelak akan di pertanggung-jawabkan. Karma itu ada.

Saya simpleman pamit saja, terima kasih yang sudah meluangkan waktu membaca cerita ini. Mohon maaf atas typo selama pembuatan dan pengetikan cerita ini. Saya mau undur diri dulu, dan semoga saya bisa kembali mendapat cerita pengalaman lain yang tentu tidak kalah dari ini. Wassalam.

-----

Sepenggal Akhir Kisah Santet Sewu Dino

Cahaya mobil itu menembus kegelapan malam. Dari kaca depan, Sugik terus memperhatikan Sri yang tampak sedang serius memikirkan sesuatu. Ia sadar, gadis polos itu pasti sudah tahu siapa Atmojo yang sebenarnya. Sugik ragu, bimbang. Apakah ia harus menceritakan semuanya, sebuah rahasia kecil.

Setelah bergelut dengan batin, Sugik akhirnya mengambil keputusan. Ia membanting setir, membuat mobil menepi ke pinggiran tebing. Dari sudut matanya, ia melihat Sri tampak gelisah ketakutan. Ia pasti sudah melewati hari yang berat bersama Atmojo.

Namun ini masih detail kecil, ia belum tahu bahwa nama Atmojo hanya sebuah kejutan kecil bila dibandingkan dengan peristiwa yang menimpa Kuncoro. Satu peristiwa yang membuat Sugik lupa cara tidur tanpa treringat kembali ke peristiwa tragis yang akan terus membuntuti kisah hidupnya, selamanya.

"Pesta kematian keluarga Kuncoro" batin Sugik.

Sugik duduk, menghisap rokok, lantas matanya menerawang jauh. Ia masih ingat setiap detail satu per satu bagaimana pembantaian itu terjadi. Termasuk bagaimana ia menyaksikan di depan matanya sendiri, bagaimana kepala manusia bisa dipenggal hanya dengan sekali tebasan parang.

Sri yang sedari tadi bingung mulai mendekati Sugik. Sri tampak hati-hati, namun Sugik membalas tatapan ngeri Sri dengan senyuman palsu. Ia tidak mau menambah trauma yang dialami gadis itu.

Sugik bertanya pada Sri, "Sri tahu siapa Atmojo?"

Sri diam.

"Atmojo itu satu dari 7 keluarga yang memiliki darah persekutuan. Mereka yang memegang wilayah sini"

Sri bingung. Sugik menghisap rokoknya lagi kemudian menatap Sri kembali, "Kalau Kuncoro, sudah tahu mereka siapa?"

Sri semakin bingung.

"Kuncoro itu trah salik, memiliki kedudukan lebih tinggi dari Atmojo" sahut Sugik. Sugik mengawasi reaksi dari Sri. Matanya terbelalak kaget, mempertanyakan apakah ini alasan Atmojo menanyakan itu.

"Tapi di masyarakat, derajat Atmojo lebih tinggi dibandingkan Kuncoro. Itulah kenapa orang menganggap bahwa Kuncoro-lah yang menantang Atmojo lebih dulu"

Wajah gadis itu menunjukkan seolah benar-benar tertarik dengan semua ini. Namun Sugik masih menahan bagian paling menarik, ia ingin melihat reaksi Sri bila ia sudah mengatakannya.

Sugik membuang putung rokok, menginjaknya, kemudian mengatakannya, "Sebenarnya sebelum ikut Atmojo, saya sudah kerja untuk Kuncoro"

Ucapan Sugik membuat Sri tidak percaya. Sri mulai curiga. "Jangan bilang kamu yang..."

Sebelum Sri menyelesaikan kalimatnya, Sugik sudah mengatakannya, "Iya, aku punya peran dalam menghabisi semua keluarga Kuncoro"

"Tapi ada yang harus saya beritahu, ini semua tidak sebatas saling menghabisi. Atmojo harus melakukannya kalau tidak ingin dihabisi juga oleh..." Sugik diam sejenak, ia seperti menahan diri.

Tangannya merogoh rokok di saku celana, namun tangannya gemetar hebat seakan ia ketakutan. Rokok yang ia pegang gagal ia nyalakan. Sugik masih ingat nama itu, nama yang tidak akan ia lupakan.

"Yang ingin saya sampaikan, Atmojo harus menghabisi Kuncoro kalau tidak mau dihabisi oleh yang lain. Sri, kamu akan saya antar pulang. Tapi dengarkan baik-baik, besok kalau ada yang memberikan uang satu kresek jangan diterima. Jangan sampai seperti saya, paham?"

Sugik membuka pintu mobil menyuruh Sri agar masuk. Malam semakin larut. Ketika mobil mulai melaju, Sri tiba-tiba mengatakannya, "Lukisan yang ada dirumah mbah Krasa, itu lukisan apa mas sebenarnya?

Sugik tersenyum kecut. "Ingon (peliharaannya)" sahut Sugik.

"Semua punya peliharaan sendiri-sendiri. Mbah Krasa dipercaya memegang ingon suami-istri. Tapi itu masih belum ada apa-apanya dibanding peliharaan lainnya"

Mobil Sugik terus melaju mulus di jalanan. Ia menatap Sri yang seperti sudah menyimpulkan sesuatu. Sugik menunggu apakah Sri akan bertanya peliharaan apa yang dimiliki oleh Kuncoro. Namun tidak, Sri justru bertanya sesuatu di luar perkiraannya,

"Kuncoro tidak mati oleh santet Sewu Dino. Apa aku benar, mas?"

Sugik yang mendengarnya tidak bisa mengatakan apa-apa selain bertanya, "Kok kamu bisa menyimpulkan seperti itu?"

Sri tersenyum.

"Sederhana. Kalau memang keluarga Kuncoro dihabisi oleh santet Sewu Dino, untuk apa penerus terakhirnya menghabisi Atmojo dengan santet yang bukan kuasanya? Itu artinya yang menghabisi Kuncoro adalah keluarga lain yang dibantu Atmojo. Begitu kan mas yang terjadi?"

Sugik lantas menghentikan mobil. Ia kemudian tertawa terbahak-bahak. Isi kepala Sugik seakan dipaksa kembali untuk mengingat setiap detail dari kejadian itu dan siapa dalang yang bermain dalam tragedi gila itu.

Tragedi bagaimana Sugik melihat semuanya mati satu per satu seakan nyawa tidak ada harganya. Setiap hari jatuh, mati. Satu per satu dari keluarga Kuncoro; tak pandang bulu anak-anak atau orang dewasa; mati gantung diri, dibunuh, sakit, hingga kecelakaan di luar nalar.

Sugik menyaksikan semuanya di depan mata kepalanya sendiri. Termasuk bagaimana Sugik melihat Intan Kuncoro yang tengah mengandung; menghabisi jabang bayi dalam perutnya sendiri. Semua itu di luar nalar pikiran Sugik yang tidak tahu-menahu bahwa ia sedang diperdaya oleh Atmojo.

Sugik menatap Sri lalu berbisik lirih, "Santet Janur Ireng (Janur Hitam), itu adalah santet yang menghabisi keluarga Kuncoro"

-----

Dela menatap kepergian Sri dan Sugik. Ia menatap mbah Tamin kemudian menanyainya, "Kenapa Sri pergi, mbah? Apa yang terjadi sama dia?"

"Sudah, nak. Lupakan Sri, ya?"

Dela hanya diam. Ia tidak menjawab ucapan mbah Tamin.

"Nak, kamu ditunggu di kamar mbah Krasa,"

"SEKARANG!!"