Budak Pesugihan Demit Gunung Ringgit

Budak Pesugihan Demit Gunung Ringgit

Menantu, cucu, dan cucu menantu menjadi budak pesugihan Demit Gunung Ringgit. Mereka dijadikan tumbal di alam astral gunung itu, dengan tugas utamanya memindahkan karung-karung yang berisi uang dan harta karun.

Semakin banyak karung yang dipindahkan, akan semakin melimpah pula kekayaan orang yang telah menjadikannya sebagai tumbal.

Lepas tengah malam, sekeping rembulan tampak jatuh terkulai di pucuk cemara. Hardi menyaksikan pemmandangan tersebut dari balik jendela kamarnya yang ia sibakkan gordennya. Sejenak ia menikmati pemandangan tersebut, sebelum akhirnya melangkah ke sisi pembaringan istri dan anak-anaknya.

Sejurus Hardi mengamati satu per satu istri dan tiga anaknya. Mereka terlihat lelap sekali dalam tidurnya. Hardi menghela nafas panjang, ketika ancaman kehilang atas orang-orang tercinta itu mendadak menyergapnya.

"Sungguh, aku tidak ingin kehilangan kalian," hati Hardi berbisik sekaligus berjanji pada dirinya sendiri, akan melindungi istri dan anak-anaknya dari ancaman tumbal pesugihan Gunung Ringgit.

Ancaman tersebut hampir selatu menghantui Hardi, setelah kehilangan demi kehilangan dialaminya. Mula-mula, ibunya sendiri yang meninggal dunia secara misterius. Kemudian, disusul oleh kematian adik kandungnya dan kakak iparnya yang juga meninggal secara misterius.

Tanpa sebab musabab yang pasti, mendadak mereka pergi satu per satu meninggalkan Hardi untuk selama-lamanya. Kepergian mereka yang misterius itu, tak urung menimbutkan desas-desus di kalangan warga.

Isu yang berkembang di masyarakat, Mbah Gimun telah bersekutu dengan demit Gunung Ringgit. Atas persekutuannya itu, kakek Hardi tersebut mendapatkan kekayaan yang berlimpah dengan konpensasi nyawa menantu, cucu, dan cucu menantu.

Semula, Hardi ragu dengan isu yang berkembang di masyarakat itu. Ia tidak yakin benar, bahwa kakeknya akan setega itu terhadap menantunya sendiri, terhadap cucu, dan cucu menantunya sendiri.

Bagaimanapun, bagi seorang kakek, cucu itu bagian dari darah dagingnya sendiri. Jika ia sudah tega terhadap bagian dari darah dagingnya sendiri, berarti kakeknya itu secara tidak langsung sudah melakukan kekejaman terhadap dirinya sendiri.

"Boleh jadi, yang dikatakan masyarakat itu benar, bahwa kakekmu memang salah seorang penganut pesugihan Gunung Ringgit. Tetapi ketika engkau malah mendapat marah dari kakekmu karena menanyakan kebenaran akan hal itu, engkau harus berusaha mencari jawaban dengan cara yang lain," nasehat Kiai Ghufron tiba-tiba terngiang di telinga Hardi.

Bagi Hardi, Kiai Ghufron seorang tua yang bijaksana. Dan malam itu, dalam kesendirian Hardi, segala ucapan dan nasehat Kiai Ghufron kembali terngiang-ngiang.

Termasuk ketika Kiai Ghufron berkata, "Sekarang, coba kita berpikir dengan logika, jika memang kakekmu itu benar-benar tidak bersekutu dengan demit Gunung Ringgit, mengapa setiap orang yang mengambil apapun dari pekarangan rumah kakekmu itu setelah pulang ke rumah tiba-tiba kerasukan, kejang-kejang dan bicaranya meracau?!"

Atas saran Kiai Ghufron puta, Hardi bertekad untuk mengungkap tabir gelap yang menyelimuti kekayaan kakeknya, yang dinilai tidak wajar. Pekerjaan spiritual itu akan dilakukan Hardi dengan didampingi Kiai Ghufron.

Lamunan Hardi buyar bersama telpon dari Kiai Ghufron yang memintanya bersiap ke Gunung Ringgit. Sekitar sepuluh menit berikutnya, Kiai Ghufron tiba di rumah Hardi.

Hardi menyambut kedatangan Kiai Ghufron dengan penuh kehangatan. "Bagaimana Kiai, kita langsung berangkat ke Gunung Ringgit?" Kata Hardi.

"Boleh," jawab Kiai Ghufron.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 4 km, akhirnya Hardi dan Kiai Ghufron tiba di Gunung Ringgit. Selama ini, masyarakat mengenal gunung itu sebagai tempat mencari pesugihan.

Kabar yang beredar di masyarakat, siapapun yang bersekutu dengan demit Gunung Ringgit harus rela mengorbankan menantu, cucu, dan cucu menantunya. Karena syarat tumbal yang demikian itu, pencari pesugihan di Gunung Ringgit adalah para orangtua yang sudah menikahkan anaknya.

Tanpa banyak bicara, Kiai Ghufron dan Hardi berjalan beriringan meniti jalan setapak yang cukup terjal. Pekerjaan Spiritual malam itu akan dilakukan keduanya di salah satu titik keramat Gunung Ringgit.

Titik keramat yang dimaksud berupa sebuah punden yang terkenal dengan sebutan Punden Songsong Buwana. Di punden inilah negosiasi spiritual dilakukan oleh mereka yang ingin bersekutu dengan demit Gunung Ringgit dalam upaya mencari kekayaan.

"Hardi, yang harus kamu ingat, tugas saya hanya memperlihatkan alam astral Gunung Ringgit. Perkara bagaimana nanti keputusan sikapmu atas apa-apa yang kamu saksikan, itu sepenuhnya tergantung dirimu sendiri," kata Kiai Ghufron mengingatkan Hardi. Ucapan itu disampaikannya setelah tiba di Punden Songsong Buwana.

"Ya Kiai, saya mengerti. Saya hanya ingin mengetahui kebenaran di balik desas-desus yang beredar di masyarakat bahwa kematian almarhum ibu saya, adik kandung saya, dan kakak ipar saya, semata-mata disebabkan oleh persekutuan kakek saya dengan demit Gunung Ringgit," kata Hardi menanggapi pernyataan Kiai Ghufron.

"Benar Hardi, kamu harus mendapatkan kebenaran terlebin dahulu dari sesuatu yang menjadi ketidak-percayaanmu itu, sebelum akhirnya menentukan tangkah berikutnya sebagai amanah dari keputusanmu.

Hanya dengan demikian, kamu akan berusaha mati-matian untuk melindungi dirimu sendiri, juga istri dan anak-anakmu dari ancaman tumbal pesugihan Gunung Ringgit," urai Kiai Ghufron.

"Ya, Kiai. Saya paham," kata Hardi.

"Baiklah, sekarang kita mulai saja," ucap Kiai Ghufron seraya mengambil tempat di sebelah Hardi.

"Apapun yang kamu lihat setelah berhasil memasuki alam astral nanti, kamu harus kuat. Semakin kamu kuat, semakin banyak hal yang bisa kamu lihat.

Tetapi satu hal yang harus kamu ingat, bahwa apapun yang kamu lihat jangan sampai kamu terpengaruh. Kamu harus tetap berada di tempatmu, dan jangan beranjak seincipun di mana kamu berada," lanjut Kiai Ghufron memberikan wejangan-wejangan kepada Hardi.

"Baik Kiai," kata Hardi.

"Baiklah, sekarang kita mulai saja dengan menyebut asma Allah. Semoga Allah SWT mengijabahi apa yang menjadi keinginan kita malam ini," kata Kiai Ghufron seraya mengajak Hardi membaca basmallah sebagai tanda dimulainya aktivitas spiritual memasuki alam astral Gunung Ringgit.

Keanehan tiba-tiba terjadi. Setelah dibacakan bacaan-bacaan tertentu terhadap diri Hardi oleh Kiai Ghufron, tiba-tiba saja Hardi merasa berada di sebuah padang gersang yang sangat luas. Hampir tak terlihat ada tanaman yang tumbuh di areal tersebut.

Sekujur tubuh Hardi mendadak pula bersimbah keringat. Padahal, baru saja dirinya menggigil kedinginan oleh dinginnya udara malam yang serasa menusuk tulang.

Di padang itu, Hardi melihat banyak sekali orang berjalan hilir-mudik. Bolak-balik dari satu tempat ke tempat lainnya. Mereka terdiri dari para laki-laki dan perempuan.

Usianya pun bervariatif, mulai dari anak-anak hingga yang sudah cukup berumur. Satu sama lain seolah tidak saling kenal. Sama sekali tidak ada tegur sapa di antara mereka. Hanya berjalan hilir mudik saja, dari satu tempat ke tempat lainnya.

Mereka berjalan hilir mudik dari satu tempat ke tempat lainnya bukan tanpa beban. Sebab, masing-masing dari mereka membawa karung.

Yang laki-laki membawa karung itu dengan jalan dipanggulnya. Sedang yang perempuan membawanya dengan cara digendong di belakang seperti yang dilakukan penjual jamu gendong.

Karung-karung itu berada di satu tempat, dan terlihat teronggok seperti anak gunung. Orang-orang yang hilir mudik itu mengambilnya satu per satu untuk dipindahkan ke tempat lainnya. Mereka bekerja di bawah terik matahari yang sangat menyengat.

Hardi menyaksikan pemandangan itu dari balik persembunyiannya yang berupa sebuah batu besar dengan hati berdebar-debar karena melihat seorang perempuan yang wajahnya sudah tidak asing lagi.

Perempuan itu tidak lain adalah almarhum ibunya, yang meninggal dunia ketika dirinya baru saja masuk SMA. Hampir tidak berkedip ia menyaksikan almarhum ibunya yang hilir mudik memindahkan karung-karung itu dari satu tempat ke tempat lainnya dengan berjalan terseok-seok.

Sang ibu terlihat oleh Hardi sudah sangat kelelahan, sebelum akhirnya jatuh terjerembab dengan tubuh tertindih karung yang digendongnya.

"Ibu...!" spontan Hardi berseru melihat ibunya terjatuh mencium tanah. la ingin berlari menemuinya. Tetapi aneh, kakinya mendadak seperti terpaku di tempatnya berpijak.

Bahkan, ketika akhirnya terlihat ibunya dicambuki secara bertubi-tubi dengan cemeti berduri oleh seorang yang berdandan ala algojo, Hardi tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya menangis.

Bukan hanya almarhum ibunya saja yang sempat terlihat Hardi di padang gersang yang panas menyengat itu. Ia juga melihat almarhum adiknya dan almarhum kakak iparnya.

Seperti almarhum ibunya, keduanya juga menjalani aktivitas yang sama, yakni berjalan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan beban karung yang dipanggulnya.

Tetapi Hardi merasakan keanehan dari sikap mereka itu, dimana satu sama lain seperti tidak saling kenal.

Bahkan, ketika almarhumah ibunya jatuh dicambuki secara kejam oleh seorang algojo yang berwajah sangar, baik almarhum adiknya ataupun almarhum kakak iparnya diam saja sekalipun mereka melihatnya.

Hardi sangat kesal dengan sikap almarhum adiknya dan almarhum kakak iparnya itu. Ia ingin sekali berlari dari tempat persembunyiannya, dan membuat perhitungan dengan mereka. Tetapi lagi-lagi kaki Hardi mendadak seperti terpaku di tempatnya berpijak, hingga sama sekali tidak bisa bergerak.

Di puncak kegeraman Hardi, mendadak terlihat almarhum adiknya jatuh kelelahan. Begitu juga dengan almarhum kakak iparnya. Keduanya pun mengalami nasib yang sama dengan almarhum ibunya, dicambuki secara bertubi-tubi dengan cemeti berduri oleh algojo yang lainnya.

Pemandangan tersebut membuat Hardi ingin melampiaskan kemarahannya. Tetapi ia sama sekali tidak bisa bergerak dari tempatnya.

Hardi benar-benar tersiksa, karena untuk berteriak saja mulutnya mendadak seperti terkunci. Benar-benar tak ada yang bisa diperbuat Hardi dengan pemandangan yang nyalang di depan matanya itu, sekalipun menimpa orang-orang yang sangat dicintainya.

"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar...," seruan Kiai Ghufron bergema sangat menggetarkan.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja pemandangan astral yang nyalang di depan mata Hardi lenyap. Hardi kembali di alam kenyataan, dengan posisi sama sekali tidak berubah dari semula, yakni duduk bersila bersebelahan dengan Kiai Ghufron.

Cahaya sekeping rembulan yang berpendar di sebuah puncak pohon membantu penglihatan Kiai Ghufron melihat mata Hardi berair. Itu air matanya.

Sesenggukan tangis Hardi menyibak keheningan maiam puncak Gunung Ringgit. Kiai Ghufron berusaha menghiburnya.

"Hardi, hanya dengan mengikhlaskan yang telah terjadi, semuanya akan terasa ringan. Ini memang sulit, saya sendiri belum tentu bisa melakukannya, seandainya yang terjadi pada dirimu menimpa diriku," ujar Kiai Ghufron dengan sangat hati-hati.

"Benar Kiai, saya akan mencobanya sekalipun sulit rasanya. Kini, tak ada keraguan lagi bagi saya untuk mempercayai desas-desus yang selama ini beredar di masyarakat.

Tugas saya sekarang, adalah membentengi istri dan anak-anak saya dari ancaman tumbal pesugihan Gunung Ringgit. Saya mohon Kiai bisa membantu saya khusus untuk hal ini," kata Hardi disela sesenggukan tangisnya.

"Insy Allah, dengan senang hati saya akan membantumu," tukas Kiai Ghufron.

"Tetapi satu hal yang harus menjadi perhatianmu agar dirimu serta istri dan anak-anakmu terhindar dari ancaman tumbal pesugihan Gunung Ringgit," tanjut Kiai Ghufron.

"Apa itu, Kiai?" Tanya Hardi dengan penuh antusias.

"Jangan sekali-sekali engkau menerima pemberian dari kakekmu, berupa apapun," kata Kiai Ghufron kepada Hardi serius.

"Jika engkau atau siapapun dari istri dan anak-anakmu sampai menerima pemberiannya, maka nasibnya akan sama seperti yang kamu lihat tadi. Jangan sampai keluargamu jadi budak demit Gunung Ringgit seperti yang terjadi pada almarhumah ibumu dan almarhum adik serta kakak iparmu," kata Kiai Ghufron mewanti-wanti.