Cerita Horor: Hantu Kepala Buntong

Cerita Horor Hantu Kepala Buntung

Hari ini kami akan membagikan sebuah cerita horor hantu kepala buntung atau yang di daerah Kalimantan disebut dengan hantu Buntong. Kisah horor ini diceritakan oleh akun twitter @bujangbangket yang kami tulis ulang dengan mengganti beberapa susunan kata dan kalimat tanpa mengubah alur atau jalan cerita. Selamat membaca.

Waktu itu saya masih tinggal di Kapuas Hulu saat usia saya masih 8 tahun. Untuk anak seusia itu, cerita tentang penampakan hantu tanpa kepala ini sempat membuat malam-malam saya terasa mencekam. Apalagi setiap dibicarakan, selalu ada isu baru yang muncul tentang hantu yang satu ini.

Untuk memudahkan bercerita, hantu ini kita sebut saja sebagai Buntong. Daripada makhluk halus, Buntong lebih cocok disebut mayat hidup. Karena dari berbagai cerita yang beredar, Buntong ini memiliki wujud fisik. Jadi dia bisa bersentuhan dan bisa menyentuh barang, bukan makhluk halus tanpa raga

Cerita tidak akan panjang karena saya tak pernah mendapat cerita detail soal Buntong ini. Ceritanya hanya beredar dari mulut ke mulut di masyarakat, mirip seperti fenomena Mr. Gepeng. Tak ada yang tahu asal-usul Buntong, namun ada yang bilang dia korban tumbal.

Orang-orang percaya jika ada pembangunan jembatan, pasti ada tumbal berupa kepala manusia. Saat itu, hampir setiap tahun ada isu beredar tentang orang-orang yang mencari kepala manusia untuk dijadikan tumbal pembangunan jalan atau jembatan.

Kalau isu itu sudah beredar, maka anak-anak pasti akan takut keluar rumah. Konon Buntong terus bergentayangan untuk mencari kepalanya yang hilang.

Cerita lain menyebutkan kalau Buntong itu penganut ilmu hitam. Ia punya kesaktian luar biasa sehingga tak dapat mati, seperti aji rawarontek atau pancasona. Nahas, suatu ketika ia celaka dan kepalanya disembunyikan oleh orang yang menghabisinya. Ia mencari kepalanya untuk tetap hidup.

Cerita penampakan pertama Buntong terjadi di kampung yang cukup jauh dari kampung kami. Cerita ini diceritakan oleh seseorang sebut saja namanya Gopar. Ia sehari-hari berkerja di ladang, huma kami disebutnya.

Gopar tinggal sendirian karena belum berkeluarga. Suatu hari dia pulang agak malam karena baru selesai memanen padi. Ia tiba di rumahnya pukul 8 malam. Itu adalah hari yang melelahkan. Dari ladang ia berjalan kaki karena ladang biasanya di tengah hutan atau di atas bukit. Aksesnya pun kadang sulit.

Karena lapar, ia tak langsung istirahat. Gopar masih harus masak. Kebetulan dia membawa ayam yang sudah dipotong sejak di ladang. Itu adalah salah satu ayam yang dipelihara di pondokan ladang. Tidak apa sesekali makan enak, toh ia sudah berkerja keras.

Jam menujukkan pukul 9 saat Gopar selesai memasak. Aroma masakannya begitu harum dan menggoda hingga tercium kemana-mana. Dia pun memakan ayamnya dengan lahap. Selesai makan, dia duduk di teras sambil mengisap rokok.

"Masak enak kau, Gopar?" Tanya Bang Salman, tetangganya.
"Ah, biasa saja Bang. Abang mau?"

Rumah Gopar dan Bang Salman itu berdekatan jadi mereka biasa mengobrol dari teras ke teras. Sebenarnya itu bukan kalimat basa-basi. Gopar memang masih menyisakan lauk ayamnya.

"Ndak, Par. Bercanda saja aku. Masakan istriku jelas lebih enak. Makanya Par, nikah"

Mendengar itu, Gopar cuma menyengir. Ia sudah terbiasa diledek oleh Bang Salman. Begitulah mereka terus ngobrol hingga malam mulai larut. Setelah itu dia langsung tidur. Badannya sudah kelelahan bekerja seharian.

Pukul 2 malam Gopar terbangun. Ia mendengar suara sesuatu dari dapurnya. Itu seperti suara orang yang membongkar panci. Awalnya Gopar mengira itu sekedar kucing, tapi suaranya cukup keras. Ia pun penasaran.

Gopar beranjak dari kasurnya. Ia sengaja tidak menyalakan lampu karena khawatir rumahnya dimasuki maling. Kalau lampu menyala, malingnya pasti kaget dan kabur.

Diambilnya senter dan berjalan mengendap ke dapur. Disana ia kaget setengah mati. Ternyata benar, itu bukan kucing. Dengan mata kepalanya sendiri Gopar melihat bayangan hitam tanpa kepala. Sosok itu sedang duduk membelakanginya. Tubuh Gopar membeku.

Gopar mengarahkan senter ke sosok itu. Jelas sekali kepala sosok itu terpotong. Ada darah yang membeku di bagian lehernya. Belatung-belatung tampak bergerumul. Aroma busuk tercium menyengat.

Tubuh Gopar gemetaran. Tiba-tiba Buntong itu memutar badannya seperti orang sedang menoleh. Dan ini adalah bagian absurdnya, yang membuat cerita ini tak akan seram. Itu si Buntong sedang makan ayam!

Bayangkan saja, sudah tak punya kepala malah makan ayam. Setan macam apa yang kelaparan? Jadi suara panci itu karena Buntong sedang mengais-ngais ayam dari panci. Ia melepas daging ayam satu persatu dengan tangan lalu memasukkan ke lubang lehernya.

Pilihan Gopar ada dua, lari atau pingsan. Dan Gopar jatuh pingsan di dapurnya. Anehnya saat Gopar terbangun di pagi hari, dia berada di tempat tidurnya. Apa kejadian itu hanya mimpi?

Gopar bangun dengan kepala pusing. Dipikirnya kejadian itu hanya mimpi. Tapi saat ia ke dapur, dapurnya berantakan. Pintunya terbuka. Jantung Gopar pun berdebar. Tapi akhirnya ia tak ambil pusing. Gopar harus kembali bekerja di ladang.

Saat Gopar keluar rumah, Bang Salman menyeletuk, "Kamu kalau makan ayam, tulangnya jangan dibuang ke depan pintu rumah saya dong" kata Bang Salman sambil menunjuk tulang-tulang ayam yang berserakan di teras rumahnya.

Gopar yang kaget lalu menceritakan kejadian yang ia alami. Tapi Bang Salman tak seketika itu percaya. Hingga akhirnya cerita ini mulai beredar di kampung dan ada warga lain membenarkan. Ia juga melihat sosok tanpa kepala berjalan di jalanan kampung pada malam itu.

Tapi itu bukan kejadian satu-satunya. Buntong juga muncul di kampung lain yang jaraknya sekitar 3 kampung. Kali ini yang mengalami adalah seorang nenek. Jika sebelumnya rumah yang didatangi adalah rumah yang sedang masak enak, kejadian kali ini berbeda.

Malam Itu Nek Rawas sedang menganyam tikar. Usianya sudah sekitar 60an. Pekerjaan sehari-harinya adalah menganyam tikar, caping, dan berbagai anyaman lainnya untuk dijual. Anyaman Nek Rawas terkenal rapi dan bagus. Orang-orang suka dengan anyaman Nek Rawas.

Malam itu Nek Rawas tidur lebih awal. Badannya yang renta sudah lelah, jadi pukul 8 ia sudah tidur.
Hari itu kebetulan ia tidak memasak, jadi seharusnya tidak ada alasan Buntong untuk datang.

Nek Rawas memaang sudah mendengar cerita soal Buntong. Tapi bagi orang seusianya, itu bukan hal menakutkan. Ia sudah banyak mendengar cerita yang lebih mengerikan.

Sekitar pukul 12 malam, Nek Rawas terbangun. Ia mencium aroma busuk menyengat di dalam rumahnya. Aroma itu sangat menusuk, membuat Nek Rawas susah bernafas. Ia juga mendengar suara anyamannya di luar digeser-geser.

"Maling kah?" pikir Nek Rawas.

Ia pun beranjak dari kamar dan mengintip keluar. Apa yang terjadi? Sosok Buntong itu sedang nganyak tikar, melanjutkan anyaman Nek Rawas.

Nek Rawas terdiam. Sosok yang diceritakan orang-orang itu kini ada di depannya. Buntong itu duduk bersila menganyam tikar. Saat Buntong itu sedikit memutar badannya, tubuh Nek Rawas lemas dan jatuh pingsan.

Dalam keadaan setengah sadar, Nek Rawas merasa badannya diangkat dan diletakkan di atas tikar. Tikar itu digulung, membuat nafas Nek Rawas agak sesak. Ia juga dapat merasakan tikar itu diikat. Lalu perlahan-lahan tikar berisi Nek Rawas itu ditarik keluar. Entah kemana.

Keesokan harinya, Nek Rawas ditemukan warga di ujung kampung. Ia dikira korban pembunuhan. Saat tikar dibuka, ditemukan Nek Rawas yang sedang tertidur.

Pertanyaannya, bagaimana cara Buntong bisa pindah dari kampung ke kampung? Ternyata dia naik bis! Berikut adalah cerita yang dialami oleh Pak Umar, seorang supir bis antar kota dalam propinsi.

Saat itu jalan propinsi belum dibangun dan kondisinya memprihatinkan. Genangan air dimana-mana dan penuh lumpur saat musim hujan. Menjadi sopir bis adalah tantangan tersendiri bagi pak Umar.

Malam itu sekitar pukul 7 malam. Hujan gerimis turun rintik-rintik. Pak Umar berusaha melalui area jalan yang licin di dekat sebuah kampung. Tiba-tiba bannya amblas. Untungnya saat itu para penumpang tertidur.

Ditemani sang kernet, Pak Umar turun untuk mengamati keadaan. Pak Umar biasanya menyiapkan papan di atas bisnya. Papan kayu bisa dipakai untuk mengurangi licin jadi bis bisa bergerak maju dan terbebas dari kubangan.

Saat Pak Umar naik ke atas bis, ia kaget karena ada seseorang sedang berbaring. Memang biasanya ada penumpang yang mabuk kendaraan dan memilih duduk di atas. Tapi harusnya hari itu tidak ada.

Pak Umar pun perlahan membuka terpal yang menutupi sosok itu. Dan ternyata dibalik terpal itu ada sosok hantu tanpa kepala alias si Buntong.

Pak Umar kaget setengah mati. Ia mundur perlahan-lahan hingga badannya terjatuh ke tanah berlumpur.

"Kenapa, pak?" tanya Kernet.
"Buntong! Kepala Buntong!" kata Pak Umar sambil menunjuk bayangan Buntong yang berdiri di atas bis.

Si kernet yang melihatnya ikut terpaku. Tiba-tiba sosok itu melompat ke jalan lalu berjalan santai meninggalkan mereka.

Butuh waktu buat Pak Umar dan Kernetnya untuk menghilangkan rasa takut dan terkejutnya. Ada penumpang yang bertanya, namun pak Umar cuma bilang, "Mesin panas, harus diistirahatkan dulu". Ia tak mau membuat penumpangnya panik.

Beberapa peristiwa serupa juga dialami oleh sopir truk. Saat truk sedang berjalan, tiba-tiba ada suara seseorang yang lompat ke dalam bak truk. Lalusetibanya dekat kampung lain, ada suara orang yang melompat keluar dari truk. Saat dilihat dari spion, ada bayangan dari sosok tanpa kepala yang masuk ke hutan.

Begitulah cerita itu terus berkembang sampai ke telinga kami anak-anak SD. Kisah horor itu membuat kami takut pergi bermain. Suasana kampung pun jadi sepi walau hari masih siang.

Sekitar sebulan cerita soal Buntong itu lalu mereda. Dan anak-anak sudah berani beraktifitas seperti biasa. Saya pun kembali menumpang nonton TV di rumah tetangga. Maklum, di kampung kami yang punya TV terbatas. Selain mahal, TV juga juga harus memakai parabola jaring yang besar, bukan antena UHF biasa.

Malam itu saya dan Umak pulang habis menonton TV sekitar pukul 9. Kami berjalan cukup jauh untuk sampai ke rumah. Rumah kami letaknya dekat sekolah, dan sekolah itu jauh dari pemukiman warga lain.

Saya yang berada di depan membawa senter menjadi penunjuk jalan. Ketika melewati jembatan, saya mendengar sesuatu di bawah jembatan. Di bawah jembatan memang ada sungai kecil yang berlumpur. Biasanya banyak biawak berkeliaran disana.

Umak masih tertinggal di belakang. Saya yang penasaran pada biawak lalu mengarahkan senter ke bawah jembatan. Dan di situlah saya melihat sosok Buntong sedang berjalan di lumpur. Lehernya putus, darahnya beku. Saya panik dan lari ke Umak.

"Ada apa?" tanya Umak.
"Ada hantu pala buntong, mak" kata saya sambil memeluk Umak.
"Salah lihat paling" kata Umak sambil mengambil senter saya.

Dengan masih menggendong adik saya, Umak mengarahkan senter itu ke bawah jembatan. Tak ada apapun disana, tapi memang ada bekas jejak kaki. Umak berusaha memenangkan saya dan bilang itu hanya salah lihat karena saya terlalu banyak dengar cerita hantu kepala buntung.

Namun keesokan paginya, salah seorang warga heboh karena di depan rumahnya ditemukan banyak tulang ayam. Sementara warga lain merasa lauk ayamnya ada yang makan. Suasana kampung pun kembali mencekam.

Hingga terdengar kabar kemunculan Buntong di kampung lain. Itu seperti menjadi tanda bahwa kampung kami sudah aman. Lama kelamaan tak ada cerita baru. Entah kemana dia pergi. Mungkin ia sudah menemukan kepalanya, atau malah merantau ke malaysia supaya bisa makan nasi lemak.

Sekian cerita Buntong ini. Tidak seram memang karena memang setannya serampangan. Tapi semoga tetap jadi bahan bacaan yang menyenangkan. Salam hangat.