Cerita Misteri Pesugihan: Kampung Tumbal (Bag.2)

Cerita Misteri Pesugihan - Kampung Tumbal (Bag.2)
Andin yang lelah karena ketakutan melanjutkan rutinitas kesehariannya di kampung itu. Apakah sosok penampakan yang ia lihat sebelumnya adalah awal dari rentetan kejadian menakutkan yang akan terus menghantuinya? Simak kelanjutan kisahnya di sini.

Pagi itu kita ada kegiatan senam pagi dan acara bersih-bersih bareng warga desa. Kala itu aku tidak bersama Maya karena Maya harus berkumpul dengan anak IPA dan aku kumpul dengan anak IPS.

Kita dibagi beberapa regu untuk membersihkan desa ini. Kelompokku kala itu Mutia, Lutfi, Ayu, Dinar, Faros dan Gilang. Kelompok kita kebagian bersih desa di bagian depan kantor kepala desa. Yang cowok mencabut rumput, yang cewek menyapu dan menyiram tanaman. Sambil beristirahat sebentar di teras kantor itu kami mengobrol.

"Tadi malem aku nggak bisa tidur nyenyak." Keluh gilang
"Emang kenapa?" Tanya anak anak.
"Masak tiap aku merem, kepalaku kayak ada yang ngelus-elus. Pas buka mata nggak ada siapa-siapa tapi." Ucap gilang.
"Hiiii.... serem, sukurin kamuuu" ucap mutia.
"Jangan gitu. Mentang-mentang kamu tinggal di rumah bagus, awas kalau sampai kamu ngalamin" Sungut gilang.

Aku yang mendengar crita itu hanya diam, rasanya ingin bercerita tapi aku takut.
"Ehhh ndin, ngapain kamu diem aja? kamu dapat gangguan juga?" Tanya faros
"Enggk kok, cuma capek aja." Ucapku
"Halah kamu mah cuma gitu lang, lha aku? Lebih serem lagi" tiba-tiba dinar buka suara.

Aku kaget langsung mendengar ucapan dinar.
"Emang apa yang serem?" Jawab mutia
"Semalem aku sama Riska lagi duduk duduk di teras rumah pak Dalan (orangtua asuh mereka) tiba-tiba bau bunga. Terus aku dengar ada suara wanita ketawa melengking keras banget. Aku langsung aja lari masuk rumah, riska kutinggal. Tapi dia nggak nyusul nyusul aku lari, ehhh dia malah pingsan."

Cerita Dinar membuat bulu kuduk kami semua berdiri. Belum selesai bercerita tiba-tiba terdengar suara keras "brakkkk" dari atas atap kantor bapak kades.

Berdirilah kita serentak. Sebuah kelapa tua yang berwarna coklat terjatuh dari atap ke tanah. Sepintas tidak ada yang aneh, tapi sebenarnya disini nggak ada pohon kelapa. Aneh kan? Kita nggak banyak omong langsung lari deh dari kantor itu.

"Kok sudah balik? Emang sudah selesai bersihin kantor saya?" Tanya pak Prapto. Tapi yang buat aku nggak nyaman itu tatapan pak Prapto ke aku. Jijik deh kalau inget tatapan dia. hisss kek otak mesum gitu.

"Sudah dong pak" jawab faros sambil meninggalkan pak Prapto. Aku tahu faros aslinya ketakutan.
"Kayaknya kmpung ini serem deh" ucap ayu.
"Husss jangan bilang gtu" ucap dinar.

Kami pun pulang ke rumah asuh kami masing masing. Tiba-tiba pukul 17.00 ada siaran dari masjid bahwa ada berita lelayu.
"Innalillahi wainailayihi roji'un, telah berpulang ke rahmatullah Bapak Parmin binti pardjo..."

Aku mengingat-ingat siapa bapak Parmin ini? Beliau seperti tidak asing. Ternyata bapak parmin ini tukang kebun kantor kepala desa. Usianya belum terlalu tua, mungkin masih sekitar 40 tahun.

Kaget, perasaan tadi siang masih liat beliau di kantor kepala desa. Ya memang takdir Allah nggak ada yang tau. Tapi tadi terlihat sehat-sehat saja.

"May.. padahal tadi aku masih ketemu beliau lho, dan beliau sehat." Ucapku ke Maya yang sedang bermain hp di kamar.
"Masak sih? Aku malah nggak tahu orangnya yang mana." Ucap Maya
"Dekkk.." tiba-tiba bu Asih memanggil kmi.
"Iya buu.." kami berdua pun keluar menghampiri bu Asih.
"Dek, ibu mau melayat. Tetangga ada yang meninggal, nanti kalau makan itu sudah ada di meja."

Seperti biasa, aku dan Maya sholat maghrib berdua. Setelah sholat maghrib berdua kulihat bu Asih belum datang.

"May, mau makan sekarang apa nunggu bu Asih?" Tanyaku.
"Ntar aja deh, ndin aku mau ke rumah asuh temenku yaa. Tapi ntar balik kok" ucap Maya sambil menyisir rambut. Matilah aku bakal di sini sendiri, tapi aku tetap bersikap tenang, sok pemberani.
"Yaudah jangan malem-malem tapi, ntar bu Asih khawatir." Pesanku ke Maya yang mulai meninggalkan rumah.

Bismillah aja deh, aku braniin di rumah sendiri. Biar nggak suntuk, aku pun menyalakan TV sambil memainkan hp. Jadi TV-nya cuma buat rame-rame aja biar nggak sunyi hehe. Aku dari awal sudah bilang ya kalau rumah bu Asih ini di pinggir jalan. Jadi kalau siang tu lumayan rame, tapi kalau malem sepi banget.

Adzan isya berkumandang, aku mau sholat tapi nggak brani wudhu sendirian. Padahal kamar mandi di dalam rumah, tapi buat beranjak dari TV aku nggak brani guysssss. Akhirnya mohon maaf ku unda sholat, apalah daya antara iman dan ketakutan masih lebih besar ketakutanku.

Tiba tiba ada seseorang mengetuk pintu, langsung ku beranjak bergegas membuka pintu. Ketika kubuka nggak ada siapa-siapa dong. hfft sial banget sudah di kerjain aja. Langsung cepat-cepat kubanting pintu. Tapi baru beberapa langkah pintu sudah diketuk lagi.

Namun kali ini terdengar suara salam, "assalamualaikum". Suara seorang pria yang tidak asing, itu suara pak Prapto. Untuk apa beliau kesini? Bukan kah warganya ada yang sedang berduka, ada apa dia kesini?

Buru buru kubuka pintu lgi. Yang buat aku terkejut adalah suara siapa itu tdiii?? Gk ada orang lagi... huaaaaaa...

Brakkkkk...!!!
Ku banting pintu lebih keras. Langsung lari deh ke tempat TV lagi. Kulihat jam di HP pukul 19.47 tapi Maya dan bu Asih belum pulang.

Kukeraskan volume TV, dan tiba-tiba pintu terbuka. Asli aku nggak brani nengok, tapi tetap kupaksakan. Yang masuk ternyata bu Asih. Alhamdulillah, aku lega.

Bu Asih menutup pintu dan langsung berjalan ke arah kamar beliau. Kok bu Asih diam aja ya? Kenapa nggak nyapa aku atau mencari Maya? Ku diamkan saja setidaknya aku bersyukur beliau sudah pulang.

Selang beberapa menit aku mendengar suara tangis sesenggukan bu Asih. Ada apa dengan bu Asih? Suara tangisan beliau seperti tangisan kesedihan yang mendalam.

Apa mungkin bu Asih menangis atas meninggalnya pak parmin? Untuk sejenak, aku pun ikut merasa berduka. Kasihan bu Asih. Ingin aku samperin beliau namun kuurungkan karena merasa tidak sopan aja gitu.

Aku pelankan volume TV dan mendengarkan tangisan bu Asih. Sungguh aku merasa iba.Tiba tiba hpku bergetar. Ada pesan WA dari Maya.

Maya: Cuy.. aku pulang jam 10 ya ntar.
Aku: oke.. bu Asih sudah pulang kok. Tapi beliau menangis

Sampai disitu Maya tidak menjawab pesanku. Tiba-tiba hpku berdering panggilan WA dari Maya.

"Loh bu Asih emang sudah pulang ndin?"
"Udah tuh may, tapi beliau lagi sedih banget. Pulang-pulang langsung nangis"
"Emang kamu nggak dapat sms dari bu Asih ya ndin?"
"Sms apaan emang? Belum aku cek"

Bu Asih emang punyanya hp jadul gais, jadi cuma bisa SMS.

"Coba kamu buka sms dulu gih." Kumatikan telfon dan kubuka SMS dari beliau.
"dek, ibu malam ini belum tahu pulang jam berapa, kalian istirahat duluan aja ya, nggak usah nunggu ibu" isi tulisan di SMS itu.

Kulihat pesan itu masuk 5 menit yang lalu. Terus yang masuk ke kamar bu Asih dan menangis itu siapa?

Tiba-tiba suara tangisan di kamar itu berubah jadi suara ketawa yang sangat melengking di telinga. Tubuhku terasa kaku, jantung sudah hampir copot, keringatku menetes, tidak terasa badanku juga ikut bergetar.

Kulihat bayangan seseorang akan keluar dari kamar bu Asih. Hingga akhirnya sosok itu menampakkan wajah seramnya. Nenek yang waktu itu kulihat. Wajah hitam legam, gigi hitam, dan bermata merah. Dia tersenyum padaku. Dan saat itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku pingsan.

Kurasa badanku panas sekali. Aku coba membuka mata. Di sekitarku sudah ada bu Asih, Maya, pak ilham, dan beberapa temanku lainnya. Aku terkejut sekaligus heran, apa yang sedang terjadi? Aku coba mengangkat tubuhku yang begitu lemas.

"Jangan bangun dulu dek, tiduran aja" ucap bu Asih mencegahku untuk bangun.
"Ada apa ini may? Kok badanku lemes banget." Ucapku sambil melihat Maya yang menangis.

Maya hanya diam dan tetap menangis, aku mengingat-ingat apa yang sudah terjadi. Iya, aku melihat wujud seorang nenek yang menyeramkan. Dan setelah itu aku tak sadarkan diri.

"Karena dek adnin sudah bangun, sekarang kita semua pulang ke tempat masing-masing, biar bu Asih dan Maya yang menemani dek Andin." Ujar pak Ilham. Pak Ilham ini ustadz di kampung ini.

"Pak saya ikut temen temen aja." Tangis Maya sambil memegang tangan pak Ilham.
"Sebagai teman yang baik sebaiknya kamu menemani dik andin di sini ya? Toh sudah ada bu Asih." Ucap lembut pak ilham sambil tersenyum menenangkan Maya.
"Baru 2 hari di sini tapi sudah menyiksa, aku telfon papaku aja biar dijemput." Tangisan Maya semakin menjadi-jadi.

Kutarik tangan Maya yang sudah memegang hp seperti akan segera menelfon papanya.
"May, kamu jangan egois!!" Bentakku. Maya malah menatapku geram.

"May, kamu harus mikirin kita semua. Bu Asih, sekolah kita. Dengan tindakan kamu seperti itu yang ada malah jadi kasus yang sangat merugikan untuk warga dan sekolah kita" sedikit kesal aku kala itu. Kulihat bu Asih meneteskan air mata.

"Emang cuma mereka yang dirugikan? Kalau aku mati jadi tumbal orang sini gimana? Kamu mau mati konyol karena jadi tumbal?!" Maya semakin memanas.
"Dari awal aku disini aku sudah yakin kampung ini, kampung tumbal. Semua warganya saling menumbalkan keluarga atau saudaranya. Dan asal kamu tahu, anak bu Asih itu bukannya merantau tapi meninggal karena jadi tumbal!" Teriak Maya. Kulihat bu Asih langsung menatap Maya dengan penuh kemarahan.

"kamu jangan sok tahu dan asal bicara ya." Api amarah membakar wajah bu Asih.
"Saya sudah tahu semuanya, kedua anak ibu meninggal karena jadi tumbal bapaknya sendiri! Dan suami ibh meninggal karena tidak bisa memberikan tumbal!"

Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar barusan.
"Plakkk!!! bu Asih menampar Maya.

"Tolong kamu pergi dari rumah ini, dan jangan pernah kesini lagi! Saya tidak sudi mengasuh kamu!" Bu Asih yang semakin murka mendorong Maya untuk keluar dari rumah. Pak Ilham menarik bu Asih dan menenangkannya. Anak-anak yang lain membantu Maya berkemas untuk pergi dari rumah bu Asih.

"Saya jijik melihat tingkah anda yang seolah-olah tidak berdosa! Pasti sebenarnya yang punya pesugihan tumbal itu bu Asih kan?" Olok Maya ke bu Asih
"Terus saja fitnah aku! Jangan salahkan aku kalau ada apa-apa yang terjadi sama kamu!"

Ancaman bu Asih buat aku ngeriii... Semua yang terjadi dihadapanku seperti mimpi. Kepalaku semakin pusing, aku pun tertidur malam itu tanpa tahu apa yang terjadi lagi.

Keesokan harinya ketika aku membuka mata, bu Asih tertidur sambil duduk di sampingku.
"Bu Asih.. bu!" kugoyang-goyang badannya.

"Dek andin sudah bangun." Ucap bu Asih. Kulihat bu Asih sudah menjdi bu Asih yang sepertinya, bukan bu Asih yang menyeramkan seperti semalam.
"Dek, maafkan ibu ya .." bu Asih kembali meneteskan air mata.
"Maaf kenapa bu?" Sambil kuusap bahunya untuk menenangkan.
"Masalah kejadian semalam." Kini tangisan beliau semakin mendalam.
"Sudah saya nggak apa-apa kok, bu." Ucapku iba melihat bu Asih seperti itu
"Dek, sebenarnya apa yang dikatakan dek Maya itu benar." Ucap bu Asih sambil menatapku.

Degg..! "Benar gimana maksudnya nih?" batinku.
"Mmm... ma.. maksudnya bu?"
"Anak-anak saya sebenernya bukan merantau, tapi mereka sudah meninggal dijadikan tumbal sama suami saya."

Jantungku semakin berdegup kencang, sumpah ngeri juga takut dong aku. Saking takutnya aku sadar memundurkan diri ke tembok. Bu Asih berdiri dan menghapus air matanya dan tersenyum.

"Tenang, kamu anak baik kok. Ibu nggak bakal nyakitin kamu. Yang penting kamu nggak macem-macem sama ibu." Wajah bu Asih berubah sedikit menyeramkan lagi. Nafasku tertahan dan dadaku terasa sesak, pengen nangis rasanya.

Bu Asih kmbali tersenyum khas bu Asih seperti biasanya.
"Sudah kamu mandi sana dek." Sambil berjalan meninggalkanku.

Nafasku berangsur normal dan serasa ngos-ngosan. Apa yang sebenarnya terjadi sama bu Asih?