Cerita Horor: Hantu Sungai Meninting
Hantu Sungai Meninting - Wanita bergaun putih itu dengan santai duduk di tepian kali. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai menutupi sebagian punggung dan gaunnya. Sang gadis terus asyik memainkan jari jemari kakinya di atas air. Sesekali terdengar sura keciprak air yang dipermainkan kedua kakinya yang mungil.
Siapa yang tak kenal kawasan pantai Senggigi? Pantai dengan deburan ombak dan hamparan pasir yang menjadi ikon dan destinasi wisata di pulau Lombok ini menawarkan surga bagi siapapun yang menyukai keindahan alam.
Lambaian pohon kelapa dan deretan perahu nelayan yang berjajar di sepanjang pantai menjadi hal yang tak bisa dilepaskan dari pandangan mata bila senja menyapa.
Apalagi, bila matahari senja berwarna merah jingga berdampingan dengan pelangi, sungguh alam memberi kesyahduan tiada tara.
Di antara deretan pantai, terlihat seperti ular air sungai mengalir dengan tenangnya menyusup air laut. Air tawar membawa berbagai aroma kehidupan, menyusuri jauhnya harapan di atas gunung. Inilah Sungai Meninting.
Sungai yang metintas dan menjadi pembatas wilayah Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram menjadi salah satu tujuan para pemancing. Posisi sungai sebagai pintu masuk ke laut kawasan pantai senggigi menjadi area pertemuan ikan laut dan ikan air tawar.
Kondisi demikian, menjadi daya tarik para pemancing. Bahkan para pemancing rela melawan dinginnya malam demi menyalurkan hobinya. Tak jarang, hingga tengah malam masih terlihat para pemancing asyik melompar joran ke Sungai demi mendapat sambutan ikan-ikan muara sungai Meninting.
Para pemancing bukan tidak mengetahui, jika di sungai pembelah dua kabupaten itu ada daerah-daerah yang memitiki aura mistik. Bagi mereka, tak masalah. Yang penting, hobi tersalurkan.
Bagi Yok, Aral, dan Hirin serta pemancing lainnya, memancing di sungai Meninting yang menjadi muara ke Pantai Senggigi mempunyuai kenikmatan tersendiri. Cerita tentang hantu cantik penunggu salah satu sudut sungai bukan suatu yang tak pernah didengar.
Mereka pernah mengalaminya secara sadar mereka melihat dan mendengarkan suara percakapan dua mahkluk cantik yang duduk ongkang-ongkang kaki sambil bermain di air yang terus mengalir ke laut.
Malam itu seperti yang sudah dijanjikan, usai bekerja mereka sepakat pergi memancing ke sungai Meninting. Segala persiapan dari joran, umpan ikan hingga besek tempat ikan pun sudah diperiksa dan dipersiapkan. Tak berapa lama, knalpot sepeda motor terdengar tanda siap meluncur ke tempat pemancingan.
"Wah (bahasa sasak artinya sudah)?!" teriaknya Hirin kepada Yok dan Aral,
"wah" jawab mereka berbareng.
"Bismillah," ucap Hirin sambil menarik gas sepeda motor. Yok dan Aral pun mengikuti Hirin dengan berboncengan.
Sepeda motor terus melaju pelan namun pasti. Jalanan hotmix mulus mulai sepi ditinggalkan para pengendara. Mereka sudah menikmati kebersamaan bersama keluarga. Suasana malam makin cerah seiring bulan dan bintang terang menghias langit.
Laju motor terus mendekati tujuan. Sampai di jembatan sungai Meninting, mereka terus memarkir kendaraannya. Tengok kanan kiri mengawasi lokasi sekitar sambil mencari tempat terbaik melempar joran. Setelah yakin dengan pandangannya, mereka berjalan perlahan menyusuri pinggiran kali.
"Di sini Yok," ucap Aral sambil melepaskan gendongan tas berisi keperluan memancing.
Sambil mengatur posisi, Aral mulai mengeluarkan joran dan umpan ikan.
"Plung! Plung!" tak berapa lama terdengar suara kail jatuh di air.
Angin malam semakin dingin menerpa kulit dan dedaunan. Satu persatu asap rokok mulai menghias wajah ketiga pemancing. Tak terasa, umpan di kail beberapa sungai telah diganti walau belum menampakkan hasil yang berarti. Rokok pun satu persatu mulai lepas dari bungkusnya.
Saat asyik menikmati malam bertabur bintang berselimut angin dingin. Tanpa dinyana, saat kepala menoleh ke arah sebelah kanan terlihat pemandangan mencengangkan sekaligus menggugah rasa.....seram.
Di salah satu sudut, terlihat seorang wanita bergaun putih dengan santainya duduk di tepian kali. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai menutupi sebagian punggung dan gaunnya.
Sang gadis terus asyik memainkan jari jemari kakinya di atas air. Sesekali terdengar sura keciprak air yang dipermainkan kedua kakinya yang mungil.
Bulu kuduk semakin meninggi menghias tengkuk Yok, Aral dan Hirin manakala tak berapa lama terlihat lagi seorang gadis sudah duduk dengan santainya di samping gadis yang satu. Kedua gadis itu asyik bercanda seakan tak menyadari kehadiran para pemancing.
Kedua gadis dengan penampilan sama itu tak menghiraukan keadaan sekeliling. Mereka terus asyik bermain di tepi sungai dan bermain di riaknya air.
Saat terpana menyaksikan pemandangan itu, kemudian terdengar kedua gadis melakukan pembicaraan. Mereka seperti teman lama yang saling curhat. Menceritakan apa yang mereka alami selama beberapa lama tak bersuara.
Suara obrolan kedua gadis begitu jelas terdengar. Namun di telinga ketiga pemancing, obrolan mereka terdengar seperti suara orang meracau tak jelas.
Obrolan kedua gadis bergaun putih semakin asyik. Mereka masih memainkan kakinya di air seakan tak peduli dengan para pemancing yang memperhatikannya.
Justru, ketidakpedulian kedua gadis cantik ini membuat susut nyali ketiga pemancing. Secara periahan, ketiganya bergeser menjauhi kedua gadis cantik itu.
"Ral, ayo kita pulang," bisik Yok.
Aral yang mendapat ajakan tersebut, hanya bisa menganggukkan kepala tanda persetujuan. Begitu pula Hirin, yang mendapat isyarat segera membereskan alat-alat pancingnya.
Tak berapa lama, suara knalpot terdengar tanda mesin motor sudah hidup dan siap meluncur meninggalkan lokasi pemancingan. Tanpa bertanya lagi, Hirin langsung tarik gas meninggalkan lokasi pemancingan. Namun, Yok dan Aral mengalami nasib kurang menguntungkan.
Berkali-kali motor distarter, namun tak sekalipun mesin motor mau hidup. Keduanya silih berganti menggunakan kekuatan kakinya untuk starter kaki. Tapi usaha itupun masih terus mengalami kegagalan.
Keringat dingin yang mengalir di antara dahi dan sela-sela rambut, makin menambah kecut hati kedua pemancing. Keduanya segera menuntun sepeda motor menjauh dari lokasi parkir.
Setiap ada kesempatan untuk menstarter motor hal itu tak pernah luput dilakukan. Tapi tetap saja, mesin motor belum mau bersahabat.
Rasa kecut di hati semakin menambah lemah tenaga yang tersalur tewat kaki untuk menghidupkan mesin motor. Dua kaki kedua pemancing seakan hilang tenaga.
Hanya kemauan keras untuk segera meninggalkan lokasi yang memberi semangat sehingga sisa-sisa tenaga itu dimanfaatkan untuk menggeret sepeda motor menjauh dari lokasi pemancingan.
Tiba-tiba HP mereka berbunyi. Meski sempat kaget, namun merasa beruntung. Sebab suara HP itu mampu membuyarkan rasa takut yang seakan sudah di ujung rambut kepala.
"Halo..." terdengar suara di seberang sana.
"Ya.....halo," jawab Yok menimpali suara Hirin.
"Dimana?" tanya Hirin
"Masih di dekat sungai Meninting. Motor tak mau hidup," jawab Yok.
"Dimana Rin?" tanya Yok.
"Sudah di rumah," jawab Hirin.
Mendengar jawaban Hirin, semakin menambah rasa kecut Yok dan Aral. Mereka baru sadar, mereka telah lama berkutat dengan rasa takut dan ketidak-mengertian kenapa mesin motor tidak mau menyala. Tak heran jika tenaga mereka hampir habis terkuras. Begitu juga Hirin, ia pun merasa heran.
Sesampainya di rumah ternyata kedua temannya tidak berada di belakangnya. Padahal waktu tempuh cukup lama. Jika dihitung jarak tempuh dari sungai Meninting ke kawasan cemara, paling tidak butuh waktu 30 menit.
Mendapat jawaban Hirin, semangat keduanya bangkit kembali. Motor terus dituntun menjauhi lokasi memancing di tepi sungai Meninting. Setelah beberapa sungai mencoba, maka terdengar knalpot memainkan peran. Pertanda mesin motor hidup dan siap meluncur.
Tanpa pikir panjang, keduanya segera naik dan gas pun langsung tertarik dengan kuatnya. Tak banyak suara yang keluar dari keduanya. Diam membisu. Membayangkan apa yang sebenarnya terjadi sehingga mereka tertingga! begitu jauh dari Hirin.
"ih, ngeri!" rucap keduanya hampir bersamaan saat bertemu Hirin di rumah.
"Kenapa kamu tinggal Rin," tanya Aral setelah keadaan tenang dan napas teratur dengan baik.
"Saya kira Side ikut di belakang. Saya gak tahu kalau Side masih tertinggal di Meninting," jawab Hirin dengan wajah penuh penyesalan.
"Ya sudahlah. Anggap ini sebagai pengalaman. Lain sungai kita mancing lagi, kan," tanya Yok menimpali ucapan Hirin.
"He-eh," jawab kedua temannya.
Malam itu, ketiganya melanjutkan cerita dengan canda tawa seakan tak ada kejadian yang membuat mereka ketakutan tiada kepalang. Yang pasti, mancing masih menjadi hobi bagi ketiganya dan tak mungkin dihilangkan.
Hingga saat ini, mereka masih terus menyalurkan hobi memancing. Tak pernah lagi memikirkan wanita cantik yang ada di Sungai Meninting.