Sejarah Ilmu Kebal di Indonesia

Sejarah Ilmu Kebal

Ilmu kekebalan adalah salah satu bukti keaneka-ragaman budaya di Indonesia. Ilmu kekebalan sudah lama dipelajari dan dimiliki oleh para jawara, pendekar, dan prajurit sejak zaman dahulu. Berikut kami ulas sebagian dari sejarah ilmu kebal yang ada di Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, beragam ilmu kekebalan berkembang di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan prajurit kebanggaan rakyat Indonesia, Kopassus juga memiliki pelatihan khusus bagi prajurit agar menguasai ilmu kekebalan.


Ilmu-ilmu kekebalan juga diketahui banyak dimiliki oleh para tokoh nasional pada masa revolusi kemerdekaan. Itulah sebab mengapa mereka yang hanya bermodalkan bambu runcing sanggup mengusir penjajah yang bersenjata sten dan meriam.

Dalam agama Islam, ilmu kekebalan semacam ini masih diragukan keberadaannya. Meskipun kita sudah seringkali mendengar beberapa ulama-ulama ternama tanah air diyakini memilikinya.

Ilmu Kebal dalam Peristiwa di Tanah Air


Peristiwa Mbah Suro tahun 1967 di Nginggil dan peristiwa Lampung adalah dua peristiwa yang terdengar hingga seluruh pelosok tanah air. Dalam peristiwa itu, para perusuh yang diberondong peluru tentara itu malah maju semakin dekat.

Beberapa orang diantara mereka malahan berteriak, "Ayo, tembak lagi" sambil menunjukkan peluru yang tak menembus tubuhnya. Sungguh fantastis.

Pertempuran berlangsung hingga akhirnya gelap malam menyelimuti kawasan itu. Dalam kesunyian, beberapa orang terkapar, tewas. Mereka adalah sebagian dari orang-orang yang kabarnya 'tak mempan peluru'. Yang lain memilih mundur, menyusup ke hutan Gunung Balak.

"Kebal", itu kata yang terlontar dari mulut ke mulut semua penduduk Lampung. Bentrok tentara dengan sekelompok orang; yang oleh pemerintah disebut "GPK Warsidi"; memang mengagetkan semua orang. Benarkah ada manusia tak mempan ditembak, dibacok, bahkan dibakar?

Peristiwa itu kemudian menjadi pembicaraan hangat. Khusus persoalan kekebalan, Pangdam Sriwijaya Mayor Jenderal Sunardi pernah berkata, "Ah, kebal apa? Buktinya mereka ditembak, ya mati."

Pernyataan Pak Mayor Jenderal itu mungkin benar. Tapi masyarakat masih meyakini bahwa Warsidi dan sejumlah anak buahnya memang mempunyai ilmu kebal.

Dengar saja penuturan Bambang Saputro, tukang ojek di Way Jepara Lampung. Ia mengaku menyaksikan dengan mata kepala sendiri kejadian tersebut.

Di Talangsari, ia melihat bagaimana Kapten Sutiman; Danramil Way Jepara; menembak langsung orang-orang itu. Namun kata Bambang, mereka yang ditembak tidak apa-apa. Malah kemudian Sutiman yang tewas, terhunjam anak panah.

Suprapto, Kepala SMA Muhammadiyah Sidorejo di Lampung, percaya soal kekebalan dalam kasus GPK Warsidi itu. Ia mendengarkan kisah semacam dari sejumlah saksi mata bahwa Jamjuri (salah seorang anggota GPK Warsidi) tak terluka oleh peluru.

Padahal Serma Sudargo telah menembaki Jamjuri hingga peluru habis. Hasilnya hanya luka tak berarti pada kaki Jamjuri, sedang nyawa Sudargo sendiri melayang lantaran dikeroyok.

Seorang anggota GPK Warsidi mengungkapkan bahwa mereka memperoleh kekebalan setelah menjalani sejumlah amalan. Diantaranya dengan cara iktikaf di masjid selama 40 hari dan hanya makan nasi putih sepiring kecil setiap hari. Juga selalu bersholat tahajud dan membaca wirid di penghujung malam.

Adapun wiridnya antara lain Surat Yassin ayat 89, Al-Maidah ayat 67, Al-Baqarah ayat 3, dan At-Taubah ayat 2. Bila mereka lulus dari tempaan 40 hari itu, maka mereka akan mendapat karomah yang melindungi dari serangan musuh. Kalaupun toh mati juga, maka menurut keyakinan mereka, itu "mati syahid".

Para Pengguna Ilmu Kebal dalam Masa Revolusi Kemerdekaan


Dalam sejarah Indonesia, ada banyak sekali kisah-kisah mengenai kekebalan yang dimiliki oleh para pejuang. Pada perlawanan "Barisan Bambu Runcing" atau "Barisan Muslimin Temanggung" terhadap tentara NICA dan Sekutu, misalnya.

Siapa pun yang terlibat pada masa itu pasti mengenal nama Kyai Subkhi. Seorang kyai yang menurut K.H. Muhaiminan Gunardho dari Parakan, Jawa Tengah "selalu berada di depan jika menyerang musuh".

Ketika itu, rakyat bergelombang menyerang Belanda yang bersenjata lengkap hanya dengan bambu runcing. Tetapi mereka terus maju, termasuk Kyai Subkhi yang menjadi pucuk pasukan. Kendati demikian, kyai asal Parakan, Temanggung itu selamat.

Menurut Kyai Muhaiminan, bukan hanya Kyai Subkhi yang tidak mengalami luka fatal. Semua orang yang memegang bambu runcing juga menjadi kebal. Tentu saja senjata itu bukan bambu biasa yang diruncingkan lalu dibawa ke medan perang. Bambu runcing itu sudah "diisi" atau "disepuh".

Yang bertugas mengisi adalah Kyai R. Sumomihardho, ayah Muhaiminan. Namun sebelum bambu runcing yang bakal dipakai untuk melawan penjajah itu diisi, pembawanya harus menghadap kyai lain. Yakni K.H. Abdur Rohman, Kyai Ali, dan K.H. Subkhi.

Kyai Abdur Rohman akan memberi 'nasi manis' (nasi yang ditaburi gula putih) kepada para prajurit. Ini bukan nasi biasa, tapi mengandung asma yang kadang juga disebut isim. Semacam jimat yang dalam hal ini untuk kekebalan.

Kyai Ali memberi asma air wani (wani: berani; Jawa) yang membuat orang-orang itu bangkit keberaniannya dan tak mudah merasa lelah.

Sedangkan Kyai Subkhi mengajarkan sebuah hafalan doa yakni: "bismillahi bi aunillah. allahu ya khafidhu. allahu akbar." Masing-masing dibaca 3x, lalu menyandang bambu runcingnya masing-masing.

Dengan bantuan para kyai, rakyat bisa bertempur habis-habisan. Kejadian ini memang tak tercantum dalam buku sejarah, namun banyak tokoh nasional yang sudah memanfaatkan jasa para kyai agar memperoleh kekebalan dan keberanian dalam masa revolusi.

Bahkan konon Jenderal Soedirman pernah datang ke Parakan guna menyepuhkan bambu runcing yang akan digunakan dalam peristiwa "Palagan Ambarawa". Selain itu, masih ada sederet nama lain misalnya Wongsonegoro (dulu Gubernur Jawa Tengah), Roeslan Abdul Gani, K.H. Wahid Hasyim, Moch. Roem, juga Kasman Singodimedjo.

Kyai Muhaiminan juga merasa sangat terkesan dengan ilmu kekebalan Parakan yang banyak menyumbang jasa bagi berdirinya republik ini. Maka beliau pun menamai pesantren yang kini diasuhnya dengan sebutan Pondok Pesantren "Kyai Parak Bambu Runcing".

Ilmu Kebal dalam Peristiwa G30S/PKI


Cerita-cerita mengenai kekebalan juga bisa ditemui dalam peristiwa G30S/PKI. Namun saat itu bukan para kyai yang jadi peran utama, tapi kalangan kaum abangan PKI. Justru para kyai yang ditumpas.

Seorang santri di pesantren daerah Kediri menceritakan kisahnya kepada kami. Ia sempat menjadi anggota Banser yang banyak membantai PKI. Satu saat ia dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang-orang PKI yang dijejerkan untuk dieksekusi.

"Saya yang mendorong orang-orang itu satu per satu," ujarnya.

Setiap anggota PKI yang didorong langsung disambut dengan tebasan pedang algojo. Potongan kepala dan tubuh mereka pun mengotori aliran Sungai Brantas. Tiba-tiba mereka mengalami suatu kejadian ajaib; salah seorang anggota PKI itu tak mempan ditebas lehernya.

"Bunyinya trang…! seperti besi yang beradu," kata santri itu mengenang.

Algojo pun kebingungan. Sesaat kemudian ia meletakkan pedangnya, lalu menerkam korban dan menggigit tenggorokannya hingga putus. Cerita seputar kekebalan pada peristiwa tahun 1965 itu terasa semakin hebat lantaran kisahnya dibumbui aroma mistis dan hal-hal gaib.

Di Bali, ada yang terpaksa dimintai baik-baik untuk melepaskan ilmu yang dimiliki karena tak mempan dieksekusi. Begitu juga yang terjadi pada kasus eksekusi Mbah Kahar di Pulung, Ponorogo, Jawa Timur. Atau pada mitos Mbah Suro dari Nginggil, desa tepian Bengawan Solo di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Karena minimnya akses terhadap berita yang aktual dan ketiadaan prasarana teknologi di masa itu, kisah-kisah semacam itu kemudian banyak yang dilebih-lebihkan. Mereka membaurkan cerita antara mimpi, dongeng, dan kenyataan dalam kisah yang konkret dan dianggap valid.

Namun kisa-kisah tentang kekebalan yang dibumbui itu tak serta-merta tanpa arti. Tujuannya jelas untuk meninggikan mental dan keberanian para pejuang sekaligus membuat ciut hati musuh yang mendengarnya.

"Mbah Kahar tidak mempan ditembak maupun dipenggal kepalanya," kata Mislan, yang mengaku menjadi algojo. Tentara yang bingung lalu menyerahkan tugas itu pada Mislan. Sebab, ia juga dikenal memiliki ilmu kebal setelah bertapa di sebuah gua.

Dengan pedangnya, ia menebas leher Mbah Kahar yang sedang duduk bersila. Kepalanya putus, menggelinding sekitar 5 meter. Namun kata Mislan, "Pelan-pelan kepala itu menyatu kembali dengan tubuhnya."

Suasana pun menjadi kacau sebab tak ada lagi orang yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Mislan. Algojo itu kemudian mencoba lagi. Begitu kepala korban putus, Mislan membawa kepala itu menyeberangi sungai. Dan mbah Kahar pun tewas.

Cerita itu sepintas memang seperti cerita khayalan. Begitu pun yang terjadi pada tahun 1967 saat Mbah Suro mencoba membangkitkan PKI. Mbah Suro yang dikenal sebagai dukun dan para pasukannya konon tak mempan senjata, asal memakai 'piandel' barang yang diandalkan.

Piandel itu antara lain pakaian hitam-hitam, kolor (ikat pinggang ala Jawa), dan kenthes (pentungan). Setelah geger PKI, ribuan orang berdatangan ke rumah Mbah Suro untuk mengharap keselamatan. Mereka membeli 3 piandel dan minum air dari Gentong Kemiri agar tak mempan peluru bedil.

Padahal, menurut Mbah Sumi; adik kandung Mbah Suro; semua itu hanya akal-akalan bisnis penduduk setempat. Mbah Suro sebenarnya hanya dukun biasa.

Kepentingan bisnis dan soal kepercayaan itu kemudian bercampur baur. Ketika ribuan orang PKI telah dibantai, para pengikut Mbah Suro masih berteriak gagah, "Hidup PKI!!" dan anak-anak yang berharap agar diberi uang membalas, "Hidup!"

Dengan bersenjatakan kenthes, pasukan hitam-hitam itu berani menghadapi tentara yang menggerebeknya. Pertempuran pun pecah dan berlangsung seru. Namun pada akhirnya perlawanan Mbah Suro berakhir dan ia pun menyerah.

Untuk keperluan eksekusi, dukun itu harus menanggalkan pakaian hitamnya dan mengganti dengan sarung hijau. Dia pun tewas di tangan para algojo. Setelah kematian Mbah Suro, cerita tentang orang kebal menjadi surut.

Kisah kekebalan juga sering menjadi catatan kaki riwayat para tokoh sejarah. Tokoh Teuku Umar, misalnya, masyarakat Aceh meyakini tokoh itu tak bisa ditembus peluru. Begitu kental keyakinan itu hingga konon Belanda sampai merasa perlu membuat peluru emas hanya untuk membunuhnya.

Sosok Bung Karno di mata pengagum setianya juga dianggap memiliki ilmu kebal. Buktinya, berulangkali Bung Karno menghadapi percobaan pembunuhan, dan selalu lolos. Misalnya dalam peristiwa Cikini, atau sewaktu ditembak saat sedang sholat Idul Adha.

Nama lain yang dianggap memiliki ilmu kebal adalah Kahar Muzakar dan Supriadi. Hingga kini, sejumlah penduduk desa di Sulawesi Selatan sulit percaya bahwa Kahar sudah lama tewas. Mereka mengganggap, Kahar masih hidup dan sedang berkelana di hutan.

Sedang Supriadi; tokoh pemberontakan Peta di Blitar; bukan hanya dianggap kebal, tapi juga bisa menghilang. Hingga kini keberadaannya masih tak diketahui. Ia dianggap menghilang, raib, tak diketahui rimbanya.

Ilmu Kebal pada Budaya dan Kepercayaan Lain


Di Indragiri Hulu Riau, Haji Bustami mengaku pernah memiliki ilmu kebal. Beliau konon bisa menundukkan harimau dan punya kekuatan yang mampu untuk mengangkat seekor kerbau. "Ilmu itu saya peroleh dari orang Sakai," ujarnya. Sakai adalah suku terasing di Sumatera.

Di Kalimantan, suku Dayak sering dibayangkan sebagai orang yang menakutkan. Bukan saja lantaran sumpit beracun dan mandaunya. Tetapi juga karena kekayaan ilmu-nya. Masyarakat Kajang yang bermukim di kaki Pulau Sulawesi juga dianggap mempunyai ilmu kekebalan.

Di Bali, ilmu kekebalan bisa dipelajari melalui ajaran Hindu dan latihan yoga. Ketika seseorang telah mencapai puncak pemusatan, pengekangan, dan pengaturan pikiran maka semua panca indranya akan mati.

Saat itu ia tak akan merasa sakit, panas, atau dingin sehingga orang luar akan melihat ahli yoga yang seperti itu kebal dari senjata tajam dan api. Demikian menurut Anak Agung Putu Suwela, dari "Perkumpulan Raja Yoga Kumala Bhuana" Denpasar.

Namun untuk mencapai tingkat itu tidaklah mudah. Suwela sendiri baru merasa mantap dengan yoga setelah belajar selama 24 tahun.

Ketika seseorang mencapai kesempurnaan dalam ilmu kebal versi yoga, bukan saja tak mempan senjata dan api, tapi ia juga mampu melihat sesuatu yang akan terjadi. Konon ia juga bisa mengobati orang sakit.

Tapi masalahnya, siapa yang tahan bertahun-tahun belajar yoga? Di Bali ada pertunjukan Barong vs Rangda yang diakhiri dengan menikam Rangda bertubi-tubi, dilanjutkan dengan orang mencoba menusukkan keris ke tubuhnya.

Namun dada tak tembus, perut tak sobek, darah tak mengalir. Lihat juga para penari, "Sangyang Jaran" yang kesurupan itu. Bara api pun diinjak-injak dengan kaki telanjang. Sampai sekarang pertunjukan itu masih bisa dinikmati.

Suwela mengatakan, Barong Keris itu bisa dimainkan oleh siapapun yang mengalami trance (kesurupan) atau dikendalikan orang lain yang berilmu. Cara ini serupa dengan pertunjukan Kuda Lumping di Jawa Tengah dan Jawa Timur atau debus dari daerah Banten. Inilah sisi lain ilmu kebal: seni.

Ilmu kekebalan juga kerap kali diminati oleh para pegiat seni bela diri. Hampir semua aliran pencak silat di Indonesia memiliki ilmu kebal sebagai puncak latihannya.

Kepercayaan pada ilmu kekebalan tubuh menyebar ke berbagai penjuru Indonesia dari berbagai latar belakang etnis maupun agama. Ada ilmu kebal yang menggunakan ritual dean mantra Jawa, ada juga yang sarat akan budaya Dayak. Ada yang berwajah Islam, Hindu, bahkan Katolik.

Di daerah Jawa, media kekebalan semacam Wesi Kuning atau Kol Buntet adalah nama-nama jimat yang paling banyak dicari untuk kekebalan pemiliknya.

Sedangkan bagi mereka yang mengambil jalan yang berseberangan, Aji Pancasona paling banyak dipelajari sebagaimana halnya Aji Welut Putih yang banyak dipakai untuk "menghilangkan diri". Konon jika seseorang memiliki Aji Pancasona, ia tidak akan mati. Saat dibunuh maka ia akan hidup lagi jika tubuhnya menyentuh tanah.

Selain itu, ilmu kebal dengan embel-embel agama banyak terdapat dalam berbagai kitab mujarobat yang dijual di pedagang kaki lima. Ada juga yang menyediakan sepenggal ayat Quran yang dituliskan pada kulit kijang, lalu dibungkus dengan kulit lembu, dan dipakai untuk ikat pinggang.

Para kyai juga sering memberikan berbagai bentuk isim kepada muridnya. Isim atau rajahan itu bisa berbahasa Arab atau campuran bahasa Jawa. Tak jelas, apakah memang ada riwayat Nabi soal menjadikan pegangan untuk kekebalan tubuh. Kalaupun ada, mungkin hanyalah hadis yang masih dipertanyakan ke-sahih-annya.