Misteri Candi Planggatan Karanganyar

Misteri Candi Planggatan Karanganyar

Misteri Candi Planggatan Karanganyar - Menjelang keruntuhan kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya V, atau raja Majapahit terakhir banyak membangun peradaban berupa candi. Wilayah terakhir yang dibangunnya adalah lereng barat Gunung Lawu di Jawa Tengah. Salah satunya adalah Candi Planggatan.

Meskipun kini, candi tersebut hanya berwujud reruntuhan situs kuno, namun banyak warga asal Bali yang mendatanginya. Konon mereka masih percaya bahwa sebenarnya kerajaan atau keraton Majapahit masih ada dan hidup hingga sekarang.

"Keraton Majapahit tidak pernah bubar, bahkan masih eksis hingga sekarang. Itulah yang sering saya dengar setiap ada masyarakat yang berkunjung ke situs ini," cerita Paryono, seorang yang dipercaya oleh Dinas Purbakala untuk merawat dan Menjaga Situs Candi Planggatan di desa Tambak, Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah.

Setiap Sabtu Pon dan Sabtu Kliwon selalu saja ada orang berkunjung ke situs ini. Mereka adalah orang-orang yang percaya bahwa kebesaran kerajaan Majapahit memang tidak pernah berakhir. Atau paling tidak Majapahit akan terlahir kembali di abad 21 ini.

Banyak dari pengunjung mengaku langsung datang dari wilayah pulau Bali, seperti Klungkung, Denpasar, Nagara, Tabanan, dan lain-lain.

Candi Planggatan sendiri hanyalah sebuah bangunan candi, yang sebagian besar badan dan bangunannya masih tertimbun dalam tanah perbukitan. Yang menyembul ke permukaan hanyalah sekumpulan batu dengan beberapa relief.

Sisa reruntuhan Candi Planggatan
Sisa reruntuhan Candi Planggatan

Berdiri di sebuah bukit kecil yang terpisah dengan bukit-bukit lainnya di lereng gunung Lawu. Candi itu dibangun di atas tanah perbukitan seluas kira-kira hanya 4500 m2. Jika dilihat dari kejauhan, bukit candi ini memang mirip-mirip bangunan piramida.

Tepat di tengah bukit inilah tersimpan batu yang dulu dipercaya sebagai singgasana sang Prabu Brawijaye terakhir. Batu tersebut dinaungi pohon raksasa tua yang di beberapa bagian batang pohonnya bisa berubah warna saat dilakukan ritual. Konon perubahan warna itu terjadi, karena gaib penguasa gunung Lawu sedang datang serta mengawasi mereka yang melakukan ritual.

"Jika hujan tiba, aliran air dari tengah bukit mengumpul dan akhirnya mengalir menyebar lewat jalan setapak dimana tepat di bawahnya dibangun bangunan situs candi," terangnya.

Di malam-malam tertentu, bukit lokasi situs candi juga terlihat seperti bercahaya terang, meskipun malam hari. Dipercaya saat itulah para anggota keluarga keraton Majapahit sedang mengadakan acara seperti rapat atau pesta.

Selain terang benderang jika dilinat dari kejauhan, juga sering terdengar suara riuh dari lokasi ini. Namun jika warga ada yang mendekati dari jarak dekat, suasana yang terlinat kembali sunyi senyap.

Meskipun sudah sejak lama masyarakat warga desa sekitar sudah mengetahui keberadaan situs candi itu, namun oleh pihak purbakala baru dipetakan dan dilindungi beberapa tahun lalu. Bahkan sampai saat ini, masih dimungkinkan penggalian untuk lebih menguak misteri tentang candi tersebut.

Terlepas dari penelitian pihak yang berwenang, warga sekitar dan luar desa sudah menggunakan untuk berbagai ritual.

Untuk masyarakat desa Berjo sendiri, biasa menggunakan lokasi situs untuk acara bersih desa, kenduren desa, serta ritual khas desa lain. Yang paling besar adalah ritual sesembahan sesaji saat dikirim ke sumber mata air Jali.

Sumber mata air atau Tuk itu terletak di ujung bukit desa. Dalam ritual ini sesaji akan didoakan dulu di lokasi situs. Dan seluruh perwakilan warga desa, baik wanita dan lelaki akan hadir di acara ini.

Di hari-hari biasa, banyak juga yang menggunakan untuk ritual secara pribadi. Seperti berdoa meminta penyembuhan dari sakit, atau meminta petunjuk agar bisa menyelesaikan masalah hidupnya masing-masing.

Baik warga lokal maupun luar desa banyak yang melakukan ritual ini. Bahkan tepat di tengah-tengah lokasi situs dibangun semacam bangunan darurat untuk bertapa atau semedi. Bangunan itu hanyalah berwujud atap terpal dan bukan permanen.

"Masyarakat di sini menyebut gaib penunggu situs ini hanya dengan nama Eyang Planggatan. Namun jika ada yang mendapat petunjuk gaib saat melakukan ritual atau setelahnya biasanya akan didatangi oleh gaib yang mengaku bernama Eyang Poijoyo," lanjutnya.

Lantas bagaimana asal muasal tentang kepercayaan keraton Majapahit tersebut? Ada sebuah versi cerita yang berkembang bahwa Prabu Brawijaya V dulunya moksa atau mati tanpa jasad di gunung Lawu. Akhimya ia dikenal dengan julukan Sunan Lawu. Versi lain menyebut dengan nama Ki Ageng Kaca Negara.

Namun sebelumnya, sang Prabu sempat singgah dan membangun beberapa peradaban di lereng gunung Lawu itu. Cerita versi ini sebagian juga disarikan dari beberapa literatur sejarah resmi seperti Babad Tanah Jawi, dan lain-lain.

Saat kerajaan Demak mulai berkembang dan makin besar, maka wibawa keraton Majapahit perlahan mulai pudar. Banyak masyarakat Jawa, terutama wilayah pesisir utara yang mulai terpengaruh oleh agama Islam dan memeluknya. Pelan namun pasti pengaruh Demak dengan syiar Islamnya mulai mendesak kekuasaan Majapahit.

Bahkan atas pengaruh politis para wali yang dekat dengan penguasa Demak saat itu, yaitu Raden Patah, kerajaan Demak secara terang-terangan hendak menyerang Majapahit dengan ideologi agama Islamnya. Akhirnya Prabu Brawijaya mengalah dengan mendatangi Raden Patah yang tak lain dan tak bukan adalah putranya sendiri.

"Prabu Brawijaya merasa tidak pantas jika harus berperang dengan putranya sendiri, jadi ia mengalah untuk mendatangi sendiri putranya tersebut untuk berembug."

Namun sampai di wilayah dekat Demak, ia malah mendapat paksakan agar dirinya segera masuk Islam. Bahkan didesak oleh Raden patah agar seluruh keraton Majapahit supaya secepatnya mereformasi menjadi kerajaan Islam. Karena tidak ingin konflik akhirnya Brawijaya memilin pergi dan berdiam di kerajaan Pengging bersama seorang mantunya.

Setelah menyiarkan peradaban dan falsafah pada masyarakat sekitar, ia kembali melakukan perjalan ke arah Gunung Lawu. Di sana ia singgah di Candi Menggung peninggalan raja sebelumnya.

Setelah itu ia semakin naik ke atas membuat banyak petilasan meskipun hanya berupa batu Gilang atau batu singgasana raja. Di antaranya petilasan Pringgondani.

Seteiah itu dilanjutkan ke wilayah desa dan di sanalah ia membangun candi Planggatan. Nah di tempat itulah ia banyak menorehkan tentang ilmu pengetahuan, terutama tentang ilmu kemasyarakatan dan filsafat pada relief candi. Saking lamanya di tempat ini, banyak warga dan pengikut setianya yang menganggap bahwa keraton Majapahit sudah pindah ke candi Planggatan.

"Di tempat ini pula, sang prabu memang ingin meninggalkan jejak atau mewariskan kebesaran Majapahit pada seluruh generasi anak cucunya," tutur seorang pelaku olah Spiritual dan ahli sejarah yang tak mau disebutkan namanya asal Solo.

Menurutnya, wilayah candi Planggatan inilah basis dari kekuasaan Majapahit yang tetap bertahan hingga sekarang. Wilayah inilah yang masih menyisakan kehidupan khas budaya Majapahit hingga sekarang.

Meskipun kehidupan beragama di wilayah ini hingga sekarang sudah berubah, namun keharmonisan dan ritual budaya ala Majapahit masih tetap lestari dan dijaga hingga anak cucu.

Bahkan tak hanya berhenti pada Candi Planggatan, berikutnya sang prabu juga mendirikan candi Sukuh, candi Cetha, serta Candi Kethek yang penuh dengan simbol tentang kehidupan, pengetahuan, serta filsafat.

Yang paling terkenal adalah simbol tentang keseimbangan alam, manusia, serta dengan Tuhan sang Pencipta. Simbol itu dikenal juga dengan lambang kesuburan dalam bentuk Lingga dan Yoni (kelamin lelaki dan perempuan).

Arca Lingga Yoni di Candi Planggatan
Sisa-sisa Arca Lingga Yoni di situs Planggatan

Meskipun sudah berpindah ke gunung Lawu, para petinggi kerajaan Demak tetap mengejar untuk memaksa sang Prabu dan pengikutnya memetuk agama Islam.

Sehingga sebelum benar-benar moksa, banyak pengikut sang Prabu melarikan diri ke wilayah pulau Bali, Gunung Kidul (pesisir selatan), dan sebagian kembali ke kerajaan Pengging Boyolali.

Sehingga sampai sekarang, para pengikut setianya masin mewariskan tradisi dan budaya Majapahit (awa-Hindu-Buddha) kepada setiap generasi turunannya. Tak heran meskipun di abad modern ini bumi Nusantara sudah dipenuhi dengan beragam budaya, agama, serta adat baru, namun tatanan kehidupan sederhana dan makmur khas masyarakat agraris dan nelayan Majapahit tetap lestari.

Bahkan generasi keturunan itu tetap ingat akan warisan budaya leluhurnya. Sehingga di situs candi-candi di lereng gunung Lawu itulah mereka mendatangi. Mereka melakukan ritual pemujaan serta penghormatan leluhur.

Tak peduli wilayahnya berjauhan bahkan sampai pulau Bali mereka tetap datang. Mereka menganggap bahwa kerajaan Majapahit masih ada hingga sekarang ini, dan berpusat di gunung Lawu, Jawa Tengah.

"Meskipun raja Majapahit yang bernama Sunan Lawu berwujud gaib, namun dipercaya masih memerintah kehidupan dari masyarakat keturunan Majapahit sendiri," ujarnya.

Sementara masyarakat Majapahit sekarang adalah masyarakat pedesaan atau perkotaan yang dianggap masih setia nguri-uri atau melestarikan budaya leluhur.

Mereka bergerak berdasarkan situs atau artefak dari candi-candi peninggalan tersebut. Beragam ritual diadakan di lokasi-lokasi yang masih menganggap bahwa budaya Jawa di masa Majapahit adalah abadi.

"Jadi dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana, terutama di candi Pelanggatan ini," lanjutnya.

Sementara Gunung Lawu yang menjadi keratonnya Majapahit juga masih dikunjungi pengikutnya hingga puncak Gunungnya yang bernama Hargo Dumilah. Dari candi Palanggatan, Sunan Lawu menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk arsitektur candi.

Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana tertinggi yang disebut sebagai 'Sang Balanggadawang' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri.

Puluhan tahun membangun berbagai candi di lereng iawu, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk tersirat di kawasan gunung Lawu. Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata dipersiapkan dalam pengetahuan-pengetahuan itu.

Perjalanan ke puncak Lawu yang berat merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar keturunan Majapahit bisa kembali menikmati masa masa keemasan Majapahit.

Relief Prasasti Planggatan
Relief di Candi Planggatan Karanganyar