Keris Sebagai Tuntunan Hidup

Keris Piandel Sebagai Tuntunan Hidup

Keris Sebagai Piandel - Sebuah Tuntunan Hidup. Piandel adalah sebuah manifestasi keyakinan dan kepercayaan dalam wujud berbagai benda pusaka yang mengemuka secara fenomenal, penuh daya pikat, serta sarat akan lambang yang harus didalami dan dimengerti dengan baik, benar, dan mendalam.

Kepercayaan bukan berisi tentang sesuatu yang pantas disembah dan dipuja, tetapi sebuah wahana yang berwujud (wadag) yang berisi doa, harapan, dan tuntunan hidup manusia Jawa yang termaktub dalam "sangkan parang dumadi - sangkan paraning pambudi - manunggaling kawula Gusti". Piwulang-piweling ini terformulasi dalam sebuah benda buatan yang disebut Tosan Aji.

Melihat keris sama halnya dengan melihat wayang. Keleluasaan pemahaman dan pengertian mengenainya tergantung luasnya cakrawala dan pengalaman hidup orang tersebut terhadap hidup dan kehidupan.

Jadi tergantung kepada "kadhewasaning Jiwa Jawi", kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin orang itu kaya pengalaman rohani, semakin kaya pula ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris.

Pada mulanya, saat manusia Jawa ada pada masa peradaban berburu, keris adalah senjata untuk berburu (baca: mencari hidup). Kemudian ketika manusia mulai menetap dan bersosialisasi dengan sesamanya, keris menjadi senjata untuk membunuh (baca: mempertahankan hidup).

Lebih lanjut lagi setelah tidak lagi diperlukan perang dan manusia mulai berbudaya, keris pun menjadi senjata untuk kehidupan (baca: tuntunan hidup). Yaitu senjata untuk mengasah diri menjadi orang yang lebih beradab dan berperiperadaban hingga mencapai penyatuan diri dengan Penciptanya.

Hal ini sangat nyata ditunjukkan dalam lambang-lambang yang mengemukan pada ricikan-ricikan keris.

Ilmu keris adalah ilmu lambang. Mengerti dan memahami bahasa lambang mengandalkan peradaban rasa, tidak hanya kemampuan intelektual. Jadi, keliru jika memahami keris secara dangkal sebagai sebuah benda yang berkekuatan gaib untuk mengangkat harkat dan martabat manusia.

Keris menjadi pusaka karena makna lambang-lambang dalam keris dianggap mampu menuntun pembuat dan pemiliknya untuk hidup secara benar, baik, dan seimbang.

Bagi orang Jawa, hidup ini penuh perlambang yang samar-samar serta perlu dicari dan diketemukan melalui berbagai laku, tirakat, maupun dalam berbagai aktivitas sehari-hari manusia Jawa. Misalkan dalam bentuk makanan (tumpeng, jenang, jajan pasar, dan lain sebagainya), baju beskap, surjan, bentuk bangunan (joglo, limasan, dan lain-lain), termasuk juga keris.

Di dalam benda-benda sehari-hari tersebut tersembunyi sebuah misteri berupa pesan dan piwulang serta wewaler yang diperlukan manusia untuk mengarungi hidup hingga kembali bersatu dengan Sang Pencipta.

Dalam tradisi budaya Jawa ada sebuah pemahaman "Bapa (wong tuwo) tapa, anak nampa, putu nemu, buyut katut, canggah kesrambah, mareng kegandeng, uthek-uthek gantung siwur misuwur". Jika orang tua berlaku tirakat maka hasilnya tidak hanya dirasakan olehnya sendiri dan anak-anaknya, melainkan hingga semua keturunannya. Demikian juga sebaliknya.

Oleh karena itu manusia Jawa diajak untuk selalu hidup prihatin, hidup "eling lan waspada", hidup penuh laku dan berharap. Siratan-siratan laku, tirakat, doa, harapan, cita-cita restu, sekaligus tuntunan itu diwujudkan oleh para leluhur Jawa dalam wujud sebuah senjata.

Senjata bukan dilihat hanya sebagai wadag senjata (Tosan Aji) melainkan dengan pemahaman supaya manusia sadar bahwa senjata hidup dan kehidupan adalah sebuah kearifan untuk selalu mengasah diri dalam olah hidup batin.

Oleh karena itu orang Jawa menamakan keris dengan sebutan Piandel atau Sipat Kandel karena memanifestasikan doa, harapan, cita-cita, dan tuntunan lewat dapur, ricikan, pamor, besi, dan baja yang dibuat oleh para empu dalam laku tapa, prihatin, puasa dan selalu memuji kebesaran Tuhan.

"Niat ingsun nyebar ganda arum. Tyas manis kang mantesi, ruming wicara kang mranani, sinembuh laku utama"
Tekadku menyebarkan keharuman nama berlandaskan hati yang pantas, berbicara dengan baik, enak didengar, dan pantas dipercaya sembari menjalankan laku keutamaan.

Meski demikian keris tetaplah benda mati. Manusia Jawa pun tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru tentang pusaka. Peringatan para leluhur tentang hal ini berbunyi :

"Janjine dudu jimat kemat, ananging agunging Gusti kang pinuji"
Janji bukan jimat melainkan keagungan Tuhan-lah yang mesti diluhurkan.

"Nora kepengin misuwur karana peparinge leluhur, ananging tumindak luhur karana piwulange leluhur"
Tidak ingin terkenal lantaran warisan nenek moyang, melainkan bertindak luhur karena melaksanakan nasihat nenek moyang.

Oleh karena itu keris bukan jimat, tetapi lebih sebagai piandel sebagai sarana berbuat kebajikan dan memuji keagungan Ilahi.


Sumber : Ki Juru Bangunjiwo (dikutip dengan perubahan seperlunya)