Cerita Misteri: Pesugihan Kuntilanak

Kisah Misteri Pesugihan Kuntilanak

Cerita Misteri: Pesugihan Kuntilanak - Ketika duniawi mengalahkan akal sehat seorang ibu, bu Hani pergi ke dukun untuk melakukan pesugihan yang tak wajar. Darah anaknya menjadi syarat pesugihan itu, dan itulah awal kehancuran keluarganya.

Ikhsan adalah seorang pekerja keras. Ia pemuda yang jujur dan sopan meski hanya seorang kuli yang pendapatannya tak seberapa. Sifatnya itu membuat ia dikagumi oleh banyak wanita. Salah satunya Hani, gadis manis yang membuat pria selalu penasaran dibuatnya.

Siang itu Ikhsan sedang memanggul muatan beras di salah satu lapak pasar Dukuh Rantang.
"Bu, ditaruh sini?" tanya Ikhsan ke pemilik warung.

Hani yang sedang di warung saat untuk membeli beras lalu memperhatikannya. Selesai dengan pekerjaannya, Ikhsan langsung bergegas pergi untuk mengambil lagi barang sang pemilik warung.

"Apa lagi, neng?" tanya pemilik warung keapda Hani.
"Sudah bu, ini saja. Bu, itu tadi siapa yang bawa beras?" tanya Hani penasaran.
"Ooh, itu anaknya mbah Marto yang rumahnya di pinggir sungai. Kenapa, naksir ya?" goda ibu pemilik warung sedikit meledek.

Hani pun membayar belanjaannya lalu mencari-cari tukang panggul. Tapi di siang hari yang terik itu tak terlihat para pemanggul yang biasanya cukup banyak. Lalu Hani melihat Ikhsan yang sedang berdiri setelah memanggul belanjaan pemilik lapak disana.

Mau tak mau karena ia sudah kelelahan, Hani akhirnya menghampiri Ikhsan.
"Mas, aku minta tolong" ucap Hani.
"Minta tolong apa neng?" jawab Ikhsan.
"Bawakan ini ke becaknya kang Maman" balas Hani.

Ikhsan segera memanggulnya sambil bergumam lirih,
"Siapa yang bisa menolak cewek secantik ini"
"Apa mas?" tanya Hani yang pipinya memerah dan malu-malu.
"Nggak. Sudah, mana saja yang mau dibawa?" sahut Ikhsan.

Mereka pun akhirnya keluar pasar menuju becaknya kang Maman. Berawal dari situ mereka saling berkenalan dan menyukai satu sama lain. Sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.

Mereka memutuskan untuk menikah. Prosesnya sendiri dilakukan secara sederhana. Keluarga Hani yang sebenarnya tergolong orang berada awalnya menolak pernikahan itu. Namun Hani sudah mantap untuk menikah dengam Ikhsan yang hanya anak buruh tani tanpa pekerjaan tetap.

Cinta Ikhsan dan Hani bagaikan kisah Romeo dan Juliet. Mereka benar-benar saling mencintai tanpa mengenal batasan kasta. Bulan demi bulan mereka jalani tanpa ada percekcokan yang serius. Hingga akhirnya kebahagiaan mereka semakin lengkap setelah dikaruniai seorang anak perempuan yang sangat manis seperti ibunya. Anak itu diberi nama Inggid Seli Wirawati.

Gadis manis itu pun tumbuh besar dan semakin cantik. Namun penghasilan pak Ikhsan sudah tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

Dan puncaknya ketika mereka sedang makan malam,
"Bu, Seli sudah ditanya wali kelas, kapan mau bayar?" ujarnya.
"Nggak ada, sana minta sama bapak. Ibu nggak tahu" ujar bu Hani.
"Nanti ya, nduk. Bulan depan insya Allah dibayar" jawab pak Ikhsan sambil mengelus rambut Seli.
"Tapi, pak..."
Sebelum Seli menyelesaikan kalimatnya,
"Sudah, biar besok bapak ketemu pak guru ya?" potong pak Ikhsan.
Karena kecewa, sang anak langsung pergi ke tempat tidur tanpa menyelesaikan makannya.

Di sela-sela tidurnya, bu Hani dan pak Ikhsan berbincang singkat.
"Apa bapak nggak coba mencari perkerjaan lain? Kebutuhan semakin banyak. Aku juga ingin dimanja seperti istri-istri lainnya. Pakai kalung, makan enak, serba ada." keluh bu Hani.
"Kerja apa, bu? Bapak cuma bisanya kerja seperti ini. Besok bapak coba tanya pak Harso semoga ada pekerjaan" jawab pak Ikhsan.

Siang-malam pak Ikhsan bekerja keras. Apa saja ia lakukan demi mendapatkan nafkah bagi keluarganya. Tak jarang ia berangkat petang hingga pulang saat petang lagi, tapi itu pun masih tak mampu mencukupi kebutuhannya.

Sementara bu Hani semakin berubah perangainya. Tetangganya selalu memanas-manasi dengan memakai perhiasan dan baju baru. Bahkan bu Hani sering dihina, kenapa mau dengan pak Ikhsan yang hanya seorang anak buruh tani dengan kerja serabutan yang penghasilannya hanya cukup untuk makan hari itu juga.

Hampir setiap hari bu Hani meributkan masalah keuangan. Ia lebih sering marah-marah bahkan sering menyalahkan anaknya. Hani yang dulu dikenal ramah dan baik, sekarang berubah total karena ekonominya tak kunjung membaik.

Entah harus bagaimana lagi pak Ikhsan membahagiakan istrinya, setiap ia pulang pasti kena marah. Anaknya juga selalu jadi sasaran bu Hani, kadang ia dipukul dan disiksa. Setiap hari ada saja yang membuat bu Hani marah, meski karena hal sepele.

Pagi itu saat bu Hani ke pasar, tak sengaja ia mendengar perbincangan seseorang yang menyebutkan ada tetangganya yang melakukan pesugihan. Hingga terlintas di pikirannya untuk melakukan itu.

Malam seperti biasa menjelang tidur,
"Kondisinya setiap hari seperti ini ibu bosan" keluh bu Hani kepada suaminya.
"Mau gimana lagi bu? Bapak sudah berusaha, bapak kira ibu sudah cukup. Bapak bingung bahas ini terus" balas pak Ikhsan sedikit kesal.

Akhirnya terjadilah pertengkaran hebat hingga bu Hani berucap,
"Kenapa nggak ikut pesugihan saja. Kaya dengan instan" ucapnya.
"Kamu sudah gila bu! Itu musyrik. Nggak baik" sahut pak Ikhsan.
"Ya sudah kalau bapak nggak mau. Ceraikan aku saja, ibu sudah bosan seperti ini terus!" kesalnya.

Karena rasa cintanya, mau tak mau pak Ikhsan menuruti keinginan istrinya untuk melakukan pesugihan. Setelah mencari tahu ke teman bu Hani, dia menyarankan pergi ke salah satu dukun yang ada di kampung sebelah bernama mbah Wayo.

Keesokan harinya mereka kesana. Setelah beberapa lama mencari-cari, akhirnya mereka bertemu dengan mbah Wayo. Lalu mereka menceritakan maksud dan tujuannya.

"Begini, mbah. Hidup saya sudah lama seperti ini. Saya ingin berubah, jadi kaya. Punya apa saja bisa" ucap bu Hani.
"Mudah, tapi syaratnya susah" jawab mbah Wayo.
"Syaratnya apa mbah?" tanya bu Hani.
"Yang bisa bikin kamu kaya bukan saya, tapi mbah Pahing. Rumahnya di dalam hutan" tegas mbah Wayo.
"Dalam hutan?" sahut pak Ikhsan.

Hutan yang dimaksud itu memang terkenal oleh orang-orang yang mencari pesugihan. Disana ada satu pesugihan yang tidak semua orang mau karena syaratnya sangat berat, namun hasilnya setimpal.

Syaratnya yang mengikat dan tak bisa putus itu yang orang-orang hindari. Tapi tidak dengan bu Hani, ia malah sangat ingin melakukannya karena hasratnya tak terbentung untuk segera hidup serba berkecukupan.

Untuk menuju ke tempat mbah Pahing pun sangat sulit. Mereka harus masuk ke dalam areal hutan yang lebat dan hampir tak terjamah. Medannya  terjal dengan sisi kanan dan kiri adalah jurang yang menganga. Salah satu syarat jika ingin bertemu mbah Pahing harus di malam hari tanpa membawa apapun selain obor yang sudah tersedia di gerbang pintu masuk kaki gunung.

Tepat hari Kamis malam Jum'at, bu Hani berangkat dengan pak Ikhsan. Ssementara Seli dititipkan ke orang tua bu Hani. Mereka masuk ke dalam hutan yang benar-benar gelap. Baru mereka di depan gerbang sudah terjadi hal-hal yang ganjil. Tepat di gerbang itu terlihat sosok pocong. Di tengah jalan juga ada yang iseng memegangi kaki pak Ikhsan sehingga membuatnya terjatuh.

Kejadian-kejadian terjadi selama perjalanan itu sungguh membuat mereka ketakutan. Namun itu tak menyurutkan niat bu Hani untuk melanjutkan bertemu mbah Pahing.

Mereka terus melangkah hingga melihat pohon randu alas yang di batangnya ada sosok wanita bermuka seram sedang duduk. Sosok itu mengamati bu Hani dan pak Ikhsan.
"Ikut denganku saja" ucap sosok itu.

Namun mereka tetap melangkah ke depan karena menurut mbah Wayo jangan menanggapi apa yang mengajak atau memanggilnya. Akhirnya setelah berapa lama, mereka menemukan gubuk yang sangat gelap. Hanya ada obor yang menyala di gubuk yang kecil dan kumuh itu.

Tiba-tiba mereka dikagetkan kemunculan sosok tinggi besar yang sedang menggeram dengan mata merah yang besar. Sosok itu berkata,
"Mau apa kalian kesini? Pergi!" bentak sosok yang menyerupai genderuwo itu.
"Maaf, saya kesini mau ketemu mbah Pahing" jawab bu Hani dengan gemetar.
"Ada perlu apa?" tanya makhluk itu lagi.
"Aku mau kaya. Aku mau minta tolong sama mbah" jawab bu Hani mantap.

Tiba-tiba sosok itu menghilang. Mereka lalu mengetuk pintu tapi ternyata pintu itu tak dikunci. Di dalam rumah itu banyak sekali makhluk-makhluk gaib. Anehnya, mereka berdua bisa melihatnyadengan jelas.

Bu Hani pun dikagetkan dengan sosok anak kecil yang tiba-tiba muncul di depannya,
"Sini.. Sini aku antar ke bapak" ucap anak kecil itu.

Mereka mengikuti anak kecil itu yang masuk ke dalam sebuah ruangan. Disana bau kemenyan tercium sangat menyengat.

"Pak, ada orang mau minta kaya" ucap anak kecil itu sambil tersenyum menyeringai. Bu Hani sempat terheran-heran karena ia bahkan belum mengatakan apapun tapi anak kecil itu sudah tahu.

"Duduk!" perintah mbah Pahing.
"Mau minta apa? Mengikat tidak putus atau putus mati satu?" lanjut mbah Pahing kepada bu Hani dan pak Ikhsan.
"Maksudnya mbah?" tanya pak Ikhsan.
"Tinggal pilih saja! Kalau tidak, pergi!" tegas mbah Pahing
"Mengikat tidak putus, mbah" sahut bu Hani cepat.

Kesalahan yang dilakukan demi ketamakan duniawi sudah menghilangkan akal sehat bu Hani. Ia tak tahu bahwa sekalinya memilih, tak bisa diganti atau dibatalkan.

"Ikut aku" ucap mbah Pahing.

Mereka bertiga lalu pergi melewati jalan setapak yang tadi di lewati bu Hani dan pak Ikhsan. Mereka ternyata menuju pohon randu alas. Randu alas adalah pohon Randu yang sangat besar. Jika seseorang merentangkan tangannya, butuh 15 orang hingga bisa mengelilingi seluruh batangnya.

Di bawah pohon itu mbah Pahing menyiapkan alat ritualnya. Memang di balik pohon ada rumah pondok yang di samping kanannya terdapat sumur dan kendi berisi air.

"Kamu mandi disitu. Kalau ada yang ganggu, diam saja nggak usah digubris" ucap mbah Pahing. Benar saja, gangguan di tempat itu begitu intens. Namun bu Hani dan pak Ikhsan mengacuhkannya.

Setelah selesai, mbah Pahing memanggil penunggu pohon randu alas itu yaitu sesosok kuntilanak. Bu Hani mulai ketakutan ketika kuntilanak itu datang. Pak Ikhsan yang sudah merasa tak nyaman dari awal malah berencana membatalkan pesugihan itu, namun pilihan itu sudah tak bisa diubah. Bu Hani pun semakin bertekad akan melakukan pesugihan itu.

Mbah Pahing mulai berinteraksi dengan sosok kuntilanak itu.
"Syaratnya darah anak perempuan langsung dari lehernya. Kalau tidak, semua keturunanmu akan mati"
"Setiap 15 tahun di bulan suro kamu harus memberikan darah baru" lanjutnya.

Syarat itu sifatnya mengikat. Jadi setiap 15 tahun harus mengorbankan satu anak perempuan lagi. Begitu seterusnya tak terputus hingga selamanya. Pak Ikhsan sebenarnya menolak dan siap menggantikan jadi tumbalnya. Namun yang dibutuhkan kuntilanak itu darah anaknya yang perempuan.

"Gila kamu, bu! Dia anak kita satu-satunya. Kamu kok tega sama anak sendiri" ujar pak Ikhsan.
"Sudah, diam kamu pak! Yang penting aku kaya" balas bu Hani geram.
"Aku sanggup anak perempuanku tak sembelih" lanjut bu Hani.

Tiba-tiba makhluk itu menghilang, semua jadi sunyi. Mbah Pahing pun hanya termenung tak mengatakan apapun. Cukup lama mbah Pahing terdiam. Bu Hani dan pak Ikhsan hanya saling memandang.

Dengan mata masih terpejam, mbah Pahing mulai berbicara,
"Kamis malam kamu harus mengambil darah anakmu, ayam cemani, dan air dari 7 sumur"

Mereka pun akhirnya menyelesaikan ritual pertamanya dan bergegas meninggalkan tempat itu.

Di perjalanan, pak Ikhsan tak menyangka bu Hani akan tega mengorbankan sang anak demi keinginannya itu. Lagi-lagi karena cinta, sekali dibentak istrinya pasti pak Ikhsan menurut.

Tepat pukul 12 malam Jum'at, ritual terakhir akan bu Hani lakukan. Pak Ikhsan masih tetap menolak. Dari sore anaknya sudah dimanja dan dibelai oleh bapaknya. Apapun ia minta pasti akan ia berikan.

Bu Hani sudah siap dengan semua perlengkapannya. Anaknya yang sedang tidur langsung dibangunkan dan dibawa ke dapur. Air mata pak Ikhsan tak terasa menetes. Rasanya sangat sedih akan kehilangan anak semata wayangnya. Namun tidak dengan bu Hani, ia malah semakin berambisi dan emosional.

"Bawa kesini, pak!" perintah bu Hani.
"Ampun, bu... Ampun... Aku salah apa?" tangis Seli mengiba.
"Kamu mau kujadikan tumbal!" teriak bu Hani. Seli berusaha memberontak, namun bu Hani menamparnya dengan kencang hingga ia pingsan.

Diseretnya tubuh Seli, sementara bapaknya hanya bisa melihat istrinya yang begitu tega. Tapi ia tak berbuat apa-apa, seolah terhipnotis karena cintanya yang begitu besar.

"Ikat tali, pak!" ucap bu Hani.

Pak Ikhsan mengikat tubuh anaknya di atas meja. Tepat di bawah lehernya terdapat mangkok. Seli pun terbangun.

"Salahku apa, pak? Ampun, pak... Ampun..." suaranya memelas. Akan tetapi pak Ikhsan terus mengikatnya dengan kencang.
"Sudah belum, pak? Lambat sekali" ucap bu Hani.

Kepala anaknya ditutupi dengan kain dan mulutnya juga disumpal dengan kain. Sekali lagi anaknya dipukul oleh bu Hani hingga pingsan.

Bu Hani mulai menggorok leher anaknya sampai badannya mengejang. Terputuslah nafas dari anaknya, terdengar suara mengorok seperti hewan yang disembelih. Sangat ngeri dan ngilu jika dibayangkan.

Lalu mayat dari anaknya itu dimakamkan di dalam rumah, tepatnya di dapur. Sedangkan kepalanya dipisah dan dikubur di depan pintu rumah. Entah bagaimana ceritanya hingga tetangga tak ada yang mendengar tragedi memilukan itu, atau jeritan-jeritan Seli yang meminta tolong dan ampun.

Ketika Pak Ikhsan menguburkan tubuh anaknya, tak terasa air matanya menetes. Ia benar-benar menyesali apa yang telah ia lakukan kepada anaknya. Namun berbeda dengan bu Hani, ia malah merasa lega dan sumringah.
"Aku akan jadi kaya!" ucap bu Hani sambil tersenyum.

Setelah tragedi itu, bu Hani dan pak Ikhsan hidupnya mulai berubah. Mereka mulai membangun rumah yang lebih besar. Mereka memiliki apapun yang diinginkan. Hari demi hari, harta mereka semakin bertambah.

Tetangga pun tak ada yang menaruh curiga karena mereka sering memberikan bingkisan dan bantuan. Apapun yang mereka beli pasti akan dibagikan sebagian ke tetangganya.

Bu Hani mulai asyik dengan dunianya sampai ia lupa akan syarat yang harus dipenuhi, sedangkan selama ini ia belum dikaruniani anak lagi. Entah kebetulan atau memang makhluk itu yang sengaja membuatnya seperti itu.

Malam itu tepat malam satu suro. Bu Hani sudah mulai gelisah. Angin kencang seperti berhembus ke dalam rumah. Tiba-tiba sosok kuntilanak muncul di hadapan mereka.

"Kamu tak menepati janji!" teriak kuntilanak itu dengan suara yang menggema.
"Maaf, aku sudah berusaha tapi belum dikasih" jawab bu Hani dengan ketakutan.
"Tidak bisa! Kalau tidak bisa memberikan, darahmu yang aku ambil" ucap makhluk itu marah.
Akhirnya makhluk itu pergi dan berjanji akan kesini lagi.

"Gimana ini pak? Ibu belum dikasih anak lagi" ucap bu Hani ketakutan.
"Nggak tahu, itu keputusanmu dulu. Aku sudah nggak bisa ikut campur" acuh pak Ikhsan.

Bu Hani mulai kelimpungan. Ia bingung dan gelisah bagaimana cara memutus kontrak yang sudah terlanjur mengikat. Ia sempat ke mbah Wayo, namun beliau pun tak bisa menolongnya. Ke tempat lain pun juga tak ada yang sanggup.

Malam itu adalah malam terakhir bu Hani. Kuntilanak itu datang lagi,
"Mana darahnya? Mana darahnya?!" teriak kuntilanak itu dengan suara yang menyeramkan. Sementara itu pak Ikhsan sedang keluar.

Melihat bu Hani yang hanya bisa pasrah, kuntilanak itu melemparnya ke tembok dengan penuh amarah. Berulang kali bu Hani mencoba berdiri dan berusaha lari. Namun gagal karena kuntilanak itu tiba-tiba sudah berada di depannya.

Kuntilanak itu lalu mencekik leher bu Hani. Ia mengamati wajah bu Hani yang sudah berlumuran darah. Darahnya yang keluar segera dijilati oleh kuntilanak itu. Kukunya yang panjang menggores pipi hingga ke leher. Lalu langsung menusuknya tepat di tenggorokan. Bu Hani tak sempat berteriak ataupun meminta tolong.

Bu Hani yang sekarat merasa sangat kesakitan sendirian. Sedangkan kuntilanak itu dengan rakusnya meminum darah bu Hani yang keluar dari tenggorokannya. Tubuh bu Hani mengejang seperti saat ia menyembelih anak kandungnya sendiri dahulu.

Bu Hani akhirnya tewas di tangan kuntilanak itu. Tapi kontraknya masih belum selesai dan akan masih terus berlanjut.

Pak Ikhsan yang baru pulang terkejut melihat istrinya dengan kondisi seperti itu. Ia segera meminta tolong ke warga setempat. Keesokan harinya jenazah bu Hani dikubur di pekarangan belakang rumahnya.

Lambat laun hartanya mulai berkurang, namun kuntilanak itu selalu hadir di rumahnya untuk meminta tumbal. Pak Ikhsan selalu diteror, siang dan malam ia selalu diganggu hingga akhirnya ia memutuskan menjual rumah itu.

Pak Ikhsan pun menikah lagi, namun teror kuntilanak itu masih tak berhenti. Hingga tak lama kemudian pak Ikhsan akhirnya mati di tangan kuntilanak itu dengan cara yang sama dengan mantan istrinya dahulu.

Sedangkan istri barunya yang sedang hamil tua kembali ke rumah orang tuanya. Istri kedua pak Ikhsan melahirkan anak laki-laki yang diberinya nama, WIGUNA AKSAN.