Urban Legend Bandung: Kuntilanak Abu-abu

Urban Legend Bandung Kuntilanak Abu-abu

Kali ini kami akan meberikan sebuah cerita horor yang berjudul "Urban Legend Bandung: Kuntilanak Abu-abu". Sebuah kisah misteri yang menjadi urban legend menakutkan di kota Bandung tentang sesosok kuntilanak berwarna abu-abu.

Kisah horor ini diceritakan oleh akun twitter @thismeim yang kami tulis ulang dengan mengubah beberapa susunan kata dan kalimat tanpa mengubah alur atau jalan cerita. Selamat membaca.



Nama gue sebut saja Vira. Sebenarnya gue nggak mau menceritakan hal ini, takutnya yang baca terpengaruh. Tapi gue ingin kalian merasakan apa yang gue rasakan sampai saat ini.

Gue sempat mengalami gangguan jiwa saat peristiwa ini menimpa gue. Tapi gue sadar bahwa gue harus bertanggungjawab atas apa yang gue lakukan. Sampai akhirnya gue menerima semua apa adanya.

Meski sekarang hidup gue nggak membaik, tapi juga nggak seburuk di awal. Gue mulai cerita, ya...

Tahun 1995

Semua bermula ketika gue SMA di Bandung. Saat itu keluarga gue pindah ke Bandung, tepatnya di belakang Pasar Cicadas.

Gue masuk ke kelas 11 sebuah SMA negeri di Bandung. Gedungnya peninggalan Belanda. Karena nilai gue sebagai pindahan anak Jakarta termasuk tinggi, kepala sekolahnya juga langsung nerima gue.

Singkat cerita, gue berhasil masuk ke sekolah ini dan punya temen cowok di SMA ini. Teman sebangku gue sebut saja si Dudung. Ada beberapa lainnya, tapi ada satu yang orangnya aneh.

Sebut saja namanya Raden. Raden ini anaknya rada-rada creepy. Bukan karena nakal, tapi karena dia bisa ngeliat makhluk gaib.

Suatu hari Kamis, nggak sengaja Raden belom pulang. Dia masih mencatat beberapa teori yang ditulis guru fisika di papan tulis. Sama, gue juga. Masalah di hidup gue cuma satu, teori. Benci banget. Gue lebih suka praktik.

Di kelas tinggal gue sama dia, tapi gue berhasil selesai duluan. Gue segera membereskan tas. Gak tau ada angin apa gue, gue samperin dia. Di situlah malapetaka dalam hidup gue dimulai.

"Masih lama?" tanya gue. Raden hanya ngeliatin gue acuh tak acuh.
"Gue Vira, anak baru", gue nyodorin tangan.
Raden membalas tangan gue.
"Raden", kata dia dengan suara yang agak serak.

"Gue liatin lu suka ngobrol sendiri. Gue diceritain sama anak-anak, katanya lu bisa ngeliat yang gaib gitu ya, Den? Gak takut lu?" tanyaku bloon banget sumpah. Ngapain juga gue to the point begini.

"Kenapa lu tanya itu? Lu mau tau?" tanyanya ke gue. Gue mengangguk.

"Iya gue bisa lihat mahluk halus dan sejenisnya. Jadi nggak usah kaget kalau tiba-tiba gue ngomong sendiri. Jelas, kan?" katanya sambil berdiri tanda mau pulang.

"Gimana caranya bisa lihat itu? Keturunan?" Lagi-lagi gue menanyakan hal yang terlalu pribadi. Dan ini pertanyaan yang paling membuat gue menyesal seumur hidup.

"Kalo lu mau tau, ikut gue", kata Raden.

"Ayo naik", Raden mengajak gue naik ke motornya. Wah, gue makin penasaran. Gak ada takut-takutnya sumpah. Akhirnya gue naik ke motornya Raden.

"Gue mau dibawa kemana, Den?" tanya gue.
"Ke rumah gue", jawabnya

Gue dan Raden sampai di rumah dia. "Assalammualaikum", kata Raden kala memasuki rumahnya.

Salamnya dijawab dari dalam oleh suara perempuan. Tak berapa lama pintu rumah terbuka. Terlihat wanita paruh baya dengan wajah pucat menyambut Raden.

"Darimana saja kamu? Ibu khawatir. 'Dia' dari tadi bikin keributan dalam kamarmu. Ibu nggak bisa apa-apa. Ibu hanya duduk di ruang tamu saja jadi kalau ada apa-apa, ibu bisa langsung keluar dari rumah", ujar wanita itu yang tak lain adalah ibunya Raden.

Raden hanya menghela nafas. Setelah cium tangan pada ibunya, dia mengenalkan gue. "Bu, ini Vira. Murid baru di sekolahku. Baru dua bulan. Vir, duduk dulu. Gue ambilin air. Lu pasti haus", kata Raden.

Gue menggeleng, "Gak usah repot-repot, Den."
"Ngobrolnya di teras aja ya, Vir." kata dia lagi. Aku mengiyakan.
"Pastikan jangan kemana-mana, apapun yang terjadi. Tetap di teras ini," kata Raden lagi. Bicara tanpa memandang gue.

Rumah Raden cukup asri dengan beberapa pohon yang ditanam di pekarangan kediamannya. Hari menjelang sore sekitar waktu Ashar gitu. Tapi, lama banget ngambil air doang.

Gue menebar pandangan ke arah luar pagar rumah Raden. Yang bikin gue janggal, DIA GAK PUNYA TETANGGA! Di jalan ini memang banyak rumah kosong. Tapi gue nggak nyangka, sisi kanan-kiri Raden cuma rumah tua yang sudah lama banget ditinggal penghuninya. Kusam meski bangunan masih berdiri.

Sayup-sayup gue mendengar suara mic sedang dipersiapkan. Azan Ashar pun berkumandang dari masjid yang tak terlihat oleh jarak pandang gue. Allahu Akbar... Allahu Akbar...

MENDADAK GUE MENDENGAR RAUNGAN DARI DALAM RUMAH RADEN. Suaranya serak namun menggelegar. Persis di konser-konser musik metal. Tapi yang pasti gue tahu ini bukan suara Raden. Lebih ke suara perempuan. Ibunya? Astaga, kenapa ibunya Raden?

Gue mematung, jantung gue berdebar kencang. Apa yang terjadi di dalam rumah? Gue semakin penasaran. Tapi gue harus bisa menahan rasa itu ketimbang sesuatu terjadi sama diri gue. Orang di dalam berteriak sepanjang azan. Saat azan selesai, selesai pula teriakannya. SUMPAH ANEH.

Rumah itu mendadak hening. Sekitarnya juga hening, bercampur udara Bandung yang semakin dingin. Meski matahari masih ada, gue merasakan kegelapan mulai menyergap. Mata gue awas berjaga-jaga. Sekiranya ada yang aneh, gue bakal lari bodoamat.

Sejam berlalu, sore makin keliatan. Raden belum muncul-muncul, gue makin nggak tenang. Kemana nih, anak? Waktu, perkiraan gue, menunjukkan pukul 16.30 WIB. Perkiraan aja karena zaman dulu belum ada hape dan gue nggak pake jam tangan. Sore di jalan itu lebih sepi lagi.

Sumpah, ini jalan nggak ada kehidupannya sama sekali. Hari itu untuk pertama kalinya gue merinding.
Namun, sekarang ini, gue ngerasain merinding itu kayak apa. Sumpah, gue sudah ada di tingkat ketakutan sekarang. Ah, gue ketuk-ketuk pintu aja coba.

"Den, Raden, Raden", pintu gue ketuk dan cuma memanggil nama dia. Gak ada sahutan. Gue ketuk lagi agak keras dan masih manggil namanya. Agak keras juga. Tetap nggak ada yang menyahut atau keluar. Akhirnya gue nggak tahan.

"Raden, gue mau pulang. Terserah, lu, mau marah apa enggak sama gue. Yang jelas ini udah sore, nyokap gue pasti nyariin gue, kata gue agak kenceng biar kedengeran". Masih nggak ada jawaban juga. Ah, bodo amat, lah. "Gue pulang dulu ya, Den" melangkah ke arah pagar rumah Raden.

Gue buka pagar itu perlahan. Bunyinya, duh. Kayak pagar yang nggak diminyakin berabad-abad. Kreeekkk, sumpah serem banget.

Gue tutup lagi pagar itu. Gue clingak-clinguk memandang kiri-kanan, nggak ada aktivitas manusia. Gue berusaha mengingat-ingat, jalur motor yang tadi diambil Raden. Cuma itu cara gue keluar dari lingkungan sini.

Gue beranjak ke arah kanan
dan di sudut mata kanan pula gue menangkap sebuah gerakan. Gue nengok ke arah rumah Raden. Dari kaca depan yang ditutupi gorden tebal, ADA TANGAN BERWARNA PUTIH PUCAT YANG MENEMPEL PADA KACA DAN MELAMBAI KE ARAH GUE! Seketika bulu kuduk gue merinding.

Udah jauh gue lari.  Akhirnya gue menemukan keramaian. Ada pangkalan ojek, angkot, dan kendaraan lalu lalang. Gue langsung mendekati tukang ojek. "Bang, ke Cicadas", kata gue dengan nafas engap.
"Atuh, jauh, neng. Eh, kenapa? Kok, kayak orang ketakutan, neng?" tanya abangnya.

Gue nggak ngejawab pertanyaan dia. Berapa ke Cicadas? Dia menyebutkan Rp 20 ribu. Zaman 90-an, uang segitu kayak Rp 200 ribu sekarang. Mahal banget!

Gak pake nawar, gue langsung bergegas naik di jok belakang. "Buruan, bang", kata gue. Abangnya langsung ngebut wkwk

Sampai di rumah, nyokap udah nggak enak banget mukanya. "Dari mana saja, kamu, Vir?" Gue nggak nyaut. Yang ingin gue lakukan hanya mandi dan langsung tidur. Gue malas mengingat peristiwa barusan yang gue alami. Tangan pucat yang melambai. Anjir lah.

Sampai di sekolahan, gue menghambur ke kelas. Namun kala ingin melewati lorong menuju kelas, dari ujung lorong, gue berasa aneh. Gue hentikan lari gue dan memandang dari kejauhan. ada sosok aneh di ujung lorong. Meski matahari bersinar cerah, tapi sosok itu samar.

Yang bisa gue rekam, dia mengenakan gaun khas Noni Belanda yang roknya mengembang. Bagian rambutnya tersanggul tinggi. Kepalanya jatuh ke arah kiri dan tangannya ke arah depan. Badannya agak membungkuk.

Wajahnya seperti siluet. Tangannya bergerak pelan ke arah atas, menekuk dan MELAMBAI KE GUE! Jujur walau merinding, gue dekati dia perlahan. Lagian lorong itu satu-satunya jalan masuk ke kelas gue. Dekat,semakin dekat, beberapa langkah lagi semoga gue bisa melihat wajahnya! DAN..

"Kamu ngapain? Udah telat jalan pelan-pelan? Takut dihukum? Sana masuk kelas", ujar guru BP, Pak Agus yang sumpah mengejutkan gue. Auto pandangan gue ke dia. Setelah itu, gue balik menghadap arah lorong, dan .... yes, wanita Noni Belanda itu nggak ada!

Gue pandangin lagi Pak Agus. Kayaknya ketakutan gue terbaca sama dia. "Muka kamu beda, kalau kamu melihat sesuatu, abaikan saja. Tetap doa minta perlindungan Tuhan", kata Pak Agus.

Gue ketuk perlahan pintu kelas. Fiuh, untung pas pelajaran Biologi Pak Hanif. Orangnya ramah.
Pak Hanif tersenyum ngeliat gue yang keringetan. Dia persilakan gue duduk. Anak-anak pada ngeliatin gue. Dua orang, Irene dan Hani, bisik-bisik sambil ngeliatin gue dengan tatapan aneh.

Gue melihat ke arah bangku Raden. Kosong. Kemana ya, tuh, anak? Hati gue bertanya-tanya. Gue bolak balik nengok ke bangku Raden.
Si Dudung, teman sebangku gue sampai merasa terganggu. "Kenapa lu, Vir? Dari tadi gue liat gelisah", kata Dudung.

"Si Raden kemana?"

"Gak paham, deh. Emang kenapa? Jie, naksir" Dudung menggoda gue.

"Segala naksir. Enggak, Dung, perasaan gue nggak enak aja" jawab gue.

"Emang kenapa, sih? Ada apaan?" Kali ini Dudung ikutan serius.

Tiba-tiba, "Itu ngapain Dudung sama Vira ngobrol? Kalau mau ngobrol keluar sana. Di sini teman-temannya pada mau belajar", kata Bu Subrika guru BP yang lagi keliling kelas, tenang tapi tegas.

Gue dan Dudung terdiam menunduk. Langkah kaki Bu Subrika mendekati kami. Gue sama Dudung makin dalam nunduknya. Bu Subrika meletakkan tangannya di atas meja. Gue auto memandangi tangan Bu Sub.

DAN, GUE SYOK! ITU TANGAN YANG SAMA! TANGAN YANG MELAMBAI KE ARAH GUE LEWAT JENDELA RUMAH RADEN! Gue langsung dongak kepala menatap wajah pemilik tangan itu. TUHAN! WAJAHNYA BU SUBRIKA TAPI MATANYA PUTIH, KULIT MUKANYA ABU-ABU! TOLONG GUE LAH! SIAPA INI YANG DI HADAPAN GUE!

Gue nunduk kenceng lagi. Gue pejamkan mata sambil baca doa dalam hati berharap siapa pun yang merasuki Bu Subrika segera pergi. Tak berapa lama, "Vira, hey, ibu lagi bicara sama kamu. Kenapa malah merem komat-kamit. Emang ibu setan?" Gemuruh tawa seisi kelas terdengar.

Gue dongak kepala lagi dan buka mata. Itu beneran Bu Subrika.

"Maaf, bu", kata gue.
Dudung udah sikut-sikutan sama gue.

"Kalian berdua nanti ke ruangan ibu" kata Bu Sub agak kesal.
"Anjir!" Dudung tepok jidat.

Sampai sini gue skip, langsung sekolah usai.

"Dung, lu tau nggak Raden kemana?"

"Elah, masih aja nanyain Raden. Mana gue tau, Vir."

"Emang nggak ad keterangan?"

"Engga."

"Dung, kita ke rumah Raden yuk"

"Hah? Lu tau rumah Raden?"

"Tau."

Dudung cuma ngasih muka bingung.

Untung Dudung bawa motor. Gue juga pesan sama Dudung agar nganterin gue sampe rumah kalo urusan ke Raden sudah selesai. Dudung sepakat. Selama perjalanan kami ngobrol di atas motor.
"Gue selama sekolah di sini, selama kenal Raden, belum pernah ke rumahnya. Lu malah duluan, buset"

"Jujur aja, Dung. Awalnya gue penasaran, kenapa dia suka teriak-teriak sendiri. Gue dengar dari Ismi, katanya Raden bisa liat setan. Ya gue tanya." jawab gue

"Lu ngapain nanya begituan, Saodahhhhhh. Pamali kalo kata urang Sunda, teh. Itu hal yang nggak bisa dibicarakan kecuali sama yang ngerti gituan juga."

"Elah, namanya penasaran." ketus gue

"Kata kokolot aing (orang tua gue)", Dudung mendadak serius.

Gue diam.

"Belok kanan, Dung," kata gue saat sudah hampir tiba.

"Lah, ini kan Jalan B! Anjir, kok nggak ngasih tau dari awal?"

"Emang kenapa, Dung?"

"Lah, lu belum tahu?"

Gue menggeleng." Kenapa emang, Dung."

"Ini jalan paling angker. Warga sini pada tahun 80-an pergi dari wilayah ini karena kuntilanak abu-abu."

"Serius??"

"Gue nggak mau nyeritainnya. Males. Lagian ada beberapa part yang gue lupa."

"Apaan sih? Makin bikin penasaran lu, elah."

"Lu beneran mau tau?"

Gue ngangguk.

Dudung muter balik, menjauh dari jalan B, mencari warung kopi terdekat. Lalu kami duduk berdua udah kek pacaran.

Dudung memesan kopi, gue pesan es jeruk. Dudung mengambil sebatang rokok. Dia ngobrol dengan bahasa Sunda pada pemilik warung, intinya nanya apa Jalan B masih angker.

Pemilik warung memandang gue lalu bicara pakai bahasa Sunda. Dudung menerjemahkan yang bikin gue merinding.

"Katanya, udah nggak ada lagi orang-orang di sana. Lu lihat setan kali. Setau dia (pemilik warung) perumahan di jalan B itu sudah lama kosong. Dijual pemiliknya belum pada laku-laku. Tapi nggak tahu juga kalau sekarang ada yang menempati.

Terakhir kali dia jalan-jalan ke area sana, udah kosong banget. Murah-murah, rumahnya. Tapi ya itu, banyak hantunya. Kuntilanak abu-abu", kata Dudung menerjemahkan.

Gue menatap pemilik warung dengan pandangan bingung.

"Kuntilanak abu-abu itu apa,?"

Seketika dia menggeleng, "ulah, ulah",katanya agak kenceng.

"Jangan, jangan, maksudnya jangan minta diceritain. Gue rasa dia tau tapi dia nggak mau cerita," kata Dudung lagi.

"Emang kenapa sih, elah, makin penasaran gue."

"Vir, yang namanya cerita kan kudu detil. Nah, detil daripada si kunti ini nggak bisa dikasih tau. Konon, kalau sampai lu dengar, dia seperti apa wujudnya, trus lu ngebayangin, dia akan mendiami rumah lu. Gitu."

"Hah! Serius, lu?!"

"Lah, emang begitu, Vir. Ini urban legend yang hampir semua orang Bandung paham. Emang lu nggak tau?"

Gue menggeleng." Kan gue pindahan, ya, elah."

"Wah, iya, lupa", Dudung tepok jidat.

"Emang seserem apa sih kuntilanak abu-abu itu?" tanya gue ke Dudung

"ELAH VIRA! KAN UDAH GUE BILANG! JANGAN DICERITAIN DETILNYA GIMANA! LU GAK MAU KAN DI RUMAH LU ADA MAHLUK ITU DAN GANGGU KEHIDUPAN LU?" Dudung ngegas.

Gue cuma diam. "Iya udah, lanjut gak, nih?" tanya gue.

"Gue saranin engga."

"Tapi, lu udah janji, kan mau nemenin gue."

"Iya, kan itu cuma saran. Kalau lu mau lanjut, ayo. Gue temenin sampe kelar."

Dudung segera menghabiskan kopinya, mumpung hari masih sekitar Asar. Kami pun segera ke Jalan B.

Kami sudah masuk ke area jalan B. Meski belum arah ke rumah Raden. Dudung menambahkan, sebenarnya dulu jalanan ini ramai. Jalan tembus menghindari kemacetan di beberapa titik di Kota Bandung.

Namun seiring dengan perluasan area jalan di Kota Kembang ini, jadilah Jalan B mulai ditinggalkan dan akhirnya muncul urban lejen soal kuntilanak abu-abu itu.

Meski urban lejen, namun ada kesaksian beberapa orang yang menjadi korban. Dia tinggal dirumah yang sama dengan kita. Dia meminta makan yang dia inginkan, jika tidak, satu keluarga akan tersiksa. Jika tidak dituruti keinginannya, maka nyawa keluarga tersebut terancam.

Namun kuntilanak tersebut tidak akan melenyapkan seluruh nyawa. Disisakan satu untuk menjadi kaki tangannya, agar dia bisa berpindah-pindah kepemilikan lewat cerita sosoknya.

Nah, orang yang disisakan nyawanya ini. Kalau dia mau, dia bisa cerita ke orang lain, detil wujudnya seperti apa. Lalu, wussss, pindahlah si kunti ke rumah orang yang mendengar dan membayangkan tadi. Tapi cuma bisa dilihat oleh orang yang mendengar detil wujudnya dia.

"Gimana, gimana? Gue nggak paham."

"Nih, misalnya gue ceritain sama lu wujudnya si kunti secara detil. Dia pindah ke rumah lu. Dia cuma bisa dilihat sama lu. Kalau lu cerita sama nyokap lu, ya nyokap lu bisa ngeliat. Gitu." jelas Dudung

"Serius, lu? Semudah itu?"

"Bener. Gue pernah diceritain, sih. Tapi saat itu keadaan gue agak-agak ngantuk. Untung aja gue nggak inget wujudnya kayak gimana."

Gue bengong. Ini bener-bener hal ganjil yang pernah gue temukan. Tapi serius, gue makin penasaran. Hingga akhirnya, mendadak Dudung putar balik dengan tergesa. Gue hampir jatuh.

"Anjir Dung, kenapa lu? Pelan-pelan. Kenapa si kayak orang ngeliat setan!" kata gue.

Dudung nggak menjawab. Dia larikan motornya secepat kilat meninggalkan area Jalan B. Hingga dirasa sudah aman, Dudung berhenti. Nafasnya tersegal-segal.

"Kenapa, woy? Cerita", kata gue.

"Vir, vir, liatin di tengkuk belakang gue, di balik kerah jaket! Sekarang!" gertak Dudung

Gue segera melongok. Gue tarik kerah jaket Dudung. Ada sebuah gelungan rambut kecil, hanya beberapa helai. Persis gumpalan untuk promosi cat rambut.

Namun, setelah diurai, gue dan Dudung langsung merinding! PANJANG BANGET! KAYAK BUKAN RAMBUT MANUSIA!

"Duh, Vir, gimana nih? Kata orang-orang kalau kejadiannya kayak gini, berarti kita udah diikutin. Udah diincer!"

"Gak usah nakutin, lu, Dung!"

"Serius, Vira. Elu sama gue. Kita udah diincer!"

"Ah, bodo amat, gue nggak ngapa-ngapain", kata gue membela diri.

"Iya, lu nggak ngapa-ngapain, tapi keingintahuan lu gede. 'Dia' nggak suka. Lu kenapa, sih, pengen banget cari tahu? "

Awalnya gue nggak mau cerita. Dudung maksa. Akhirnya gue ceritain pengalaman gue main ke rumah Raden.

"Goblok! Kan, dari pas berangkat feeling gue udah nggak enak!"

"Lagian elah, sensi banget tuh kunti."

"Lah, emang bangsa gituan sensi. Udah gini, Vir, gue anter lu sampe rumah. Keburu malem. Mending kita cari selamat, aja." saran Dudung

Kali ini gue nurut sama Dudung. Dudung pun anterin gue sampai rumah.

Sebelum pulang, Dudung sempat bilang hal yang bikin gue malah nggak bisa tidur.

"Kalau prediksi gue nggak salah, Vir, Raden pasti besok datang. Tapi, plis, lu jangan ngikutin rasa penasaran lu. Biasa aja. Lu harus janji sama gue.

Kalau dia cerita apa pun, tutup kuping lu. Gue ngerasa dia pelihara kuntilanak abu-abu. Pokoknya jangan sampai lu tau detil wujudnya lewat cerita! Udah gitu aja."

Gue nggak ngangguk dan nggak menggeleng. Gue cuma menatap Dudung penuh kebingungan. Sebelum Dudung pulang, dia sempat bilang sama gue agar baca doa sebelum tidur.

Lagi-lagi gue diam dan cuma masuk ke rumah.

Sepanjang malam, mulai dari mandi, makan, belajar, dan hendak tidur, gue inget terus kata-kata Dudung. Kecemasan mulai membayangi gue. Gimana kalau kata-kata Dudung benar? Gue mengulang-ulang perkataan Dudung sampai ketiduran.

Pagi hari. Buka mata, nyokap gue udah menyibak gorden di kamar gue yang persis banget menghadap timur. Nyokap melihat gue dengan tersenyum.

"Syukurlah anak mama sudah bangun. Kamu baik-baik saja, kan?"

Lah, kenapa nyokap gue nanya begitu, ya?

"Lah, emang kenapa, ma?"

Nyokap duduk di samping tempat tidur gue. Membelai rambut gue. Lalu mengajak gue berdoa sebelum memulai hari. Nyokap dan Bokap gue taat beragama. Gue dibesarkan dalam lingkungan yang taat pada aturan Tuhan.

Tapi, namanya anak muda, kadang gue lupa ibadah. Kadang gue lalai. Entah lah. Tapi tetep aja, kalau ada apa-apa, gue manggil Tuhan, bukan yang lain.

"Semalam kamu berteriak-teriak. Seperti ketakutan. Mama, Papa sama Adik sampai terbangun" ucap nyokap

"Kamu tidak bisa dibangunkan. Padahal mama sudah guncang-guncang tubuh kamu. Papa baca ayat kursi. Papa minumin kamu air putih bacaan ayat kursi, baru kamu tenang. Kamu mimpi apa? " tanya nyokap

Gue memandangi wajah nyokap. Wajah yang teduh. Gue mau cerita tapi pasti gue telat karena gue anaknya detil. Gue cuma tersenyum mandangin nyokap. "Gak apa-apa, ma. Gak inget juga mimpi apaan", kata gue sambil posisi duduk. Tapi emang gue nggak inget.

Bla, bla, bla, kelar ini-itu, dan waktunya gue berangkat. Gue cium tangan mama. Entah kenapa gue nggak mau ngelepas tangan nyokap gue. Mama memandang gue penuh keanehan. "Kenapa kamu, Vira?"

"Gak apa-apa, ma." jawab gue

"Tunggu sebentar."

Mama kembali ke dalam rumah. Dia mengambil air milik papa yang ada di dalam botol dan dibacain nggak tau apa dah tuh.
"Bismillah ya nak", kata mama.

"Ya, udah Vira berangkat ya, ma."

Gue melihat wajah nyokap. Ada kecemasan di sana yang nggak bisa gue gambarkan seperti apa.

Tiba di sekolah. Murid masih pada ramai menunggu bel masuk. Dudung nongkrong dengan cowok-cowok kelas gue di dekat pagar samping sekolah. Gue segera Nyamperin Dudung.

"Udah ngeliat si Raden?" tanya gue ke Dudung pelan.

"Belom, Vir." jawab Dudung

"Ya udah, gue ke kelas duluan."

Kelas gue sepi banget, tapi tas anak-anak sudah ada di bangkunya masing-masing. Semua sudah pada di luar kelas karena pelajaran pertama memang olahraga dan dilanjutkan dengan kesenian.

Gue naruh tas, lalu duduk sejenak mengeluarkan baju olahraga.

Mendadak gue mendengar nafas seseorang dari arah belakang. Jantung gue langsung nggak karuan detaknya. Bulu kuduk gue naik. Gue segera membalikkan badan. ADA RADEN! DIA MASUK LEWAT MANA! TADI SEPI SUMPAH!

Gue sontak langsung berdiri dan hendak lari, tapi setelah berada dekat bangku guru, gue menoleh lagi. Raden memandangi gue kayak ingin nangis.

"Lu datang dari mana tadi? Lu orang, kan? Lu siapa? Mana Raden?" Gaya gue udah kayak di film-film horor.

"Ini gue Raden, Vir. Tadi pala gue berat, makanya gue tiduran. Gue bangun karena ada orang datang. Gue pikir Pak Asep. Gak taunya elu."

Mendengar keterangan Raden, hati gue bisa menerima. Ada kejujuran di matanya. Gue mendekat tapi tetap ambil jarak.

"Kemana lu kemarin?" tanya gue penuh selidik.

"Gue sakit, Vir. Nyokap gue juga sakit. Gak ada yang bisa ke sekolahan untuk ngasih tau guru-guru. Gue sakit karena ....", Raden nggak melanjutkan ucapannya.

"Karena apa?" serius dalam hati gue mengutuk, kenapa gue harus bertanya ini. Bodoh sekali, Vira! Ini sumber petaka gue.

"Karena makhluk itu nggak terima apa pun yang gue sajikan", kata Raden lirih.

Raden membuka bajunya.

"Lah, mau ngapain lu, Den? Gue teriak, nih!" ancam gue.

"Gue cuma mau kasih tau lu sesuatu."

Gue kaget. Di dada Raden ada 5 garis panjang seolah habis dicakar! Ini gila!

"Lu kenapa?"

Raden terdiam. Gue makin penasaran.

"Mahluk itu melukai gue dan ibu gue, Vir", ucap Raden pelan.

"Mahluk apaan maksud lu? Macan? Serigala? Apa?"

Sambil menunduk, Raden berbicara sesuatu yang lebih pelan lagi dan gue nggak mendengar tapi sayup-sayup ada 'af'-nya.

Raden kembali menatap gue. Gue menunggu jawaban dia.

Dia minta pindah. "Mahluk wanita itu, Vira. Tingginya sekitar 180 cm, rambutnya panjang hitam pekat lebat menyentuh tanah, wajahnya abu-abu dengan tangan putih pucat dan kuku yang panjang. Dia bertelinga runcing di sebelah kiri dan daun telinga kanan tidak ada sebab dipenggal.

Hidungnya bangir dan selalu meneteskan darah, di ubun-ubunnya ada lubang paku sedalam 10 sentimeter, tangan kirinya ada jari yang terpotong, matanya putih dengan sudut ke atas memanjang dan INI YANG TERAKHIR, BIBIRNYA.... @%#^$&@(!)$^#!!!!!

TEEETTTT!!!! Bunyi lonceng sekolah gue yang lama dan memekakkan telinga membuat suara Raden tenggelam. Gue yang tadinya rada terhipnotis mendadak sadar. Gue langsung lari ke luar kelas sambil memandangi Raden yang langsung duduk dan menggebrak meja krena misinya belum terlaksana.

Alhamdulillah gue terselamatkan.

Di lapangan sudah ada Dudung dan anak-anak lainnya, membuat barisan acak. Gue langsung ambil posisi di sebelah Dudung dan memandanginya dengan wajah ketakutan.

Awalnya Dudung nggak ngeh, sampai ketika dia melihat Raden keluar kelas sedikit terhuyung, dia membelalakkan mata.

Setengah berbisik gue menceritakan kejadian yang gue alami.

"Bener kata lu, Dung. Dia ceritain ciri-ciri kunti itu."

"Pea. Serius lu?" Dudung jadi ikutan berbisik.

"Bener. Gue selamat karena bel bunyi. Gue nggak dengar ciri-ciri terakhir. Sumpah, jantung gue mau copot." jelas gue

Raden berbaris di tempat paling belakang. Gue dan Dudung sama-sama menoleh melihat dia. Tatapan Raden kosong melihat ke arah kami berdua.

Lalu mulutnya seperti hendak menyampaikan sesuatu tapi tanpa suara. Gue dan Dudung dipaksa membaca gerak bibirnya. Kami spontan buang muka!

"Lu liat gerak bibirnya dia? Untung gue nggak paham."

"Gue paham sih, Dung."

"Maksud lu, Vir?" tanya Dudung serius

Gue nggak menjawab sepatah kata pun. Gue cuma diam bahkan sampai sekolah bubar. Tawaran Dudung untuk pulang bareng gue tolak.

*Gue sampai di rumah. Gue mengucapkan salam sambil lemas.

Nyokap gue membukakan pintu dan melihat gue tersenyum.

Gue mencium tangan nyokap gue. Lalu segera beranjak ke kamar. Hari itu gue lelah banget.

Nyokap mengikuti langkah gue ke kamar sambil membawakan gue segelas air.

Gue duduk di pinggir tempat tidur. "Ma, Vira izin tidur siang, ya. Vira ngantuk banget", nyokap gue cuma mengangguk.

Beliau jalan ke arah pintu, lalu menutupnya perlahan.

Di balik pintu itu sudah ada seseorang menunggu gue.

iya. Dia si Kuntilanak abu-abu.

TAMAT

Note: Vira masih mencari pengganti dan penerus salah satu 'Urban Legend' kota Kembang tersebut. Jadi detail kuntinya kaya gimana jangan dipikirin. Terimakasih yang udah mau baca, dari atas sampe bawah.