Cerita Horor KKN di Desa Penari (Bag.2)

Cerita Horor KKN di Desa Penari Bagian 2

Melanjutkan cerita sebelumnya, Cerita Horor KKN di Desa Penari Bagian 1, yang dibuat bersambung karena masih panjang, kini kami akan membagikan kelanjutkan kisahnya untuk anda. Jangan sampai anda lewatkan bagian ini karena semua cerita masih saling berkesinambungan. Selamat membaca.



Cerita ini masih sangat panjang. Gue harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. Gue nggak mau kehilangan setiap detail pengalaman dari pencerita asli.

Observasi berakhir ketika pak Prabu mengantarkan rombongan kembali ke rumah beliau. Saat kembali, Wahyu dan Anton bertanya letak kamar mandi karena mereka tidak menemukannya di tempat mereka menginap.

Rupanya setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi. Alasannya cukup kliese, yakni karena sulitnya mendapatkan akses air bersih untuk MCK.

Pak Prabu menjelaskan kalau di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya. Bilik itu bisa digunakan untuk mandi dan keperluan lainnya. Pak Prabu juga mengatakan bahwa mulai hari ini kendi dalam bilik akan diusahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi perempuan.

Bagi laki-laki bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.
Meskipun Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

Kembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur. Hari itu diakhiri dengan rapat semua anggota, lalu kembali ke kamar masing-masing untuk mengerjakan laporan.

Sore menjelang malam, Nur terbangun. Saat itu juga Widya meminta untuk menemaninya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden. Awalnya Nur tampak enggan, tapi karena dipaksa akhirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik. Widya setuju. Ia tak berpikir macam-macam.

Selama di jalan ia melihat secara detail setiap rumah yang dilewati. Rata-rata memiliki bentuk yang sama, semua dinding rumah terbuat dari gedhek (bambu yang dianyam).

Langit sudah kemerahan pertanda hari mulai gelap saat mereka sampai di Sinden.
Bangunan Sinden menyerupai candi kecil. Kolamnya berbentuk persegi dengan air yang jernih. Dindingnya hijau penuh lumut. Setelah mencari-cari di sekeliling, mereka menemukan bilik yang dimaksud tepat di samping pohon asem yang sangat besar dan rindang.

Rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu. Airnya juga telah terisi penuh. Nur pun masuk sementara Widya menunggu di depan bilik. Tatapan matanya tak lepas dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya.

Dari dalam bilik terdengar suara air bilasan dari Nur. Setelah mencoba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya tersadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri. Ia berjalan menelusuri, dan benar saja, di samping pohon asem itu ada sesajennya. Tampak bara dari kemenyan yang artinya baru saja dibakar oleh seseorang.

Antara takut dan kaget, Widya kembali ke depan pintu bilik. Tapi dari dalam sudah tidak terdengar suara air bilasan.

"Nur! Nur!" teriak Widya sembari menggedor pintu kayu penutupnya. Aneh, terasa hening, tidak ada jawaban dari dalam. Widya masih berusaha memanggil tapi tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara lirih. Lirih sekali, sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik.

Suara itu adalah suara orang sedang berkidung. Kidungnya seperti kidung Jawa, suaranya sangat lembut sekali seperti seorang biduan.

"Nur! Buka, Nur! Buka!" spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik.

"Kenapa sih, Wid?"

Ekspresi ganjil Widya membuat Nur bingung, terlebih mimik wajahnya yang mencuri pandang ke dalam bilik.

"Ayo cepat mandi, biar aku yang gantian jaga di luar" ucap Nur.

Widya tampak ragu, ia melihat ke samping Bilik ada sesajen. ia tidak tau apa harus cerita ke Nur soal sesajen itu atau tidak, tapi pada akhirnya ia bergegas masuk ke dalam bilik dan menutup pintunya.

Bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut kehitaman. Di depannya ada kendi besar yang setengah airnya sudah terpakai. Widya mulai membuka bajunya perlahan dan kemudian meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati. Di pikirannya masih terbayang nyanyian kidung tadi. Matanya menyisir setiap sudut dalam bilik itu, ia tidak sendiri.

Batinnya mengatakan ada sesuatu yang memperhatikannya mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia berdiri di depan kendi, saat air pertama mengguyur badannya, Widya merasakan rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh.

Suasananya terasa sunyi. Tidak ada suara Nur dari luar bilik. Rasa sepi dan sendiri itu membuat bulu kuduknya merinding. Setiap ia memejamkan matanya, terbayang sosok berwajah cantik nan jelita sedang tersenyum memandanginya. Siapa sosok itu?

Tiba-tiba alunan kidung itu terdengar lagi. Widya berbalik dan mengamati asal
suaranya. Dari luar bilik, tempat Nur berdiri seorang diri. Apa Nur yang sedang berkidung?

Pertanyaan itu terngiang di kepala Widya. Begitu ia selesai mandi, ia hanya menemukan Nur dengan ekspresi diam seperti biasa. Di perjalanan pulang, Widya bertanya padanya, "Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa?"

Nur mengamati Widya, kemudian terdiam. Ia tak menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. Ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.

Pasokan listrik di desa ini memakai Genset. Ketika jam menunjukkan pukul 9 malam, arus listrik diputuskan dan penerangan diganti dengan petromak. Nur sudah tidur, tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk program kerja esok hari.

Widya masih teringat kejadian tadi. Sebenarnya ia mau bercerita pada Ayu, tapi bila melihat responnya kemarin, sepertinya Ayu bakal marah lagi padanya. Di tengah keheningan saat menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.

"Tadi aku dengan Bima mengecek progres untuk pembuangan. Ketika memutari desa; ingat tidak sama Tapak Tilas? Ternyata, nggak jauh dari sana ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar"

Widya terdiam beberapa saat, lalu berkata

"Loh, bukannya kamu sudah mengerti kalau dilarang kesana?"

"Bukan aku, Bima yang mengajak. Katanya ada perempuan cantik berjalan ke arah sana. Setelah diikuti ternyata nggak ada" bela Ayu.

"Lah terus kamu tetap aja ke sana"
"Ya aku kan ngejar Bima. Kalau dibiarkan bisa hilang nanti dia!"

Perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun Widya merasa perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau.

karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar. Disana ia melihat Nur sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Ssaat Widya melihat siapa orang itu, bayangan Nur melangkah keluar. Widya ragu mau membangunkan Ayu, ia pun beranjak dari tempatnya tidur dan berjalan menyusul Nur.

Kondisi rumah sudah gelap gulita tanda sang pemilik rumah sudah terlelap di dalam kamarnya. Di depan Widya, pintu rumah ternyata sudah terbuka lebar. Dengan perlahan, Widya melangkah kesana.

Malam itu sangat gelap, rasanya lebih gelap dari biasanya. Bayangan pohon juga tampak lebih besar dari saat ia melihatnya tadi siang. Sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi dan sepi. Widya menengok kesana-kemari mencari keberadaan Nur. Ia menemukannya tapi kemudian Widya terpaku melihat Nur.

Nur berdiri di tanah lapang depan rumah. Dia sedang menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, dan berlenggak-lenggok layaknya penari profesional.

Widya berdiri mematung melihat temannya bertingkah seperti itu. Ia mendekati Nur dengan ragu. Dalam pikirannya berkecamuk banyak pertanyaan.

"Nur!" panggil Widya. Tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya. Ia masih menari, sorot matanya beberapa kali melirik Widya dengan tatapan menyeramkan. Widya merasa bulu kuduknya tiba-tiba berdiri saat memandang Nur yang sedang menari.

Entah darimana, sayup sayup suara kendang terdengar lagi. Widya semakin takut,
tabuhan gamelan itu saling sahut-menyahut, seolah mengiringi tarian Nur malam itu.

Kedua kakinya seperti ingin segera pergi dari tempat itu, lari masuk ke dalam rumah. Tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.

Widya tak punya pilihan, ia mendekati Nur dan memaksanya menghentikan tariannya. Seolah panggilannya dianggap angin lalu, Widya berteriak meminta Nur berhenti bersikap aneh. Dan saat itulah wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan.

Sorot matanya menjadi tajam, dengan mata nyaris berwarna hitam semua. Widya menjerit sejadinya. Tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang memegang lengannya, kuat sekali. Menggoyangkan badannya sembari memanggil namanya.

Itu Wahyu. Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.

"Malam-malam gini ngapain kamu menari-nari nggak jelas di sini?" bentaknya.

Jeritan Widya rupanya sudah membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah. Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.

"Ada apa nak?" kalimat itu terucap dari pemilik rumah yang khawatir. Tapi pandangan Widya tertuju pada Nur yang juga memandang dirinya, mereka saling memandang satu sama lain.

Wahyu kemudian bercerita, awalnya ia hanya ingin menghisap rokok sembari duduk di teras posyandu. Tapi kemudian ia tak sengaja melihat seseorang yang tengah sendirian, menari-nari di tanah lapang. Karena penasaran, Wahyu mendekat. Sampai ia sadar bahwa yang menari itu adalah Widya.

Semua yang mendengarkan cerita Wahyu hanya bisa menatap nanar, tidak ada yang berkomentar Si pemilik rumah akhirnya menyuruh mereka semua bubar dan masuk ke dalam rumah karena hari semakin larut.

Si pemilik rumah berencana akan menceritakan masalah ini kepada pak Prabu.
Tapin ada satu hal yang sengaja tidak Wahyu ceritakan karena nanti ia akan menjelaskan semuanya. Malam itu benar-benar malam yang gila, seolah-olah menjadi pembuka rangkaian kejadian yang akan mereka hadapi dalam tugas KKN kali ini.

Paginya semua orang sudah berkumpul, memenuhi panggilan pak Prabu. Dengan bijak beliau bertanya tentang bagaimana kronologi kejadian tadi malam. Ayu mengaku tidak tahu, Widya mengatakan ia sedang mengejar Nur yang pergi keluar rumah, namun Nur mengatakan ia hanya pergi ke dapur untuk mengambil air minum dan tidak bertemu Widya.

Semua penjelasan itu tidak membantu sama sekali. Tapi tampak dari raut muka pak Prabu, ia lebih tertarik bagaimana Widya bisa menari padahal ia mengaku tidak pernah belajar menari sebelumnya.

Hari itu pak Prabu meminta Widya, Ayu, dan Wahyu untuk menemaninya. Nur pergi karena masih harus mengerjakan program kerja individualnya. Dengan berbekal motor butut yang tempo hari digunakan untuk mengantar mereka masuk ke desa ini, kali ini digunakan untuk mengantar mereka ke rumah seseorang.

Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu. Jalur yang mereka tempuh hampir sama dengan jalur yang tempo hari. Anehnya, kali ini Widya merasakan sendiri kalau untuk sampai ke jalan raya tidak sampai 30 menit. Lalu bagaimana bisa ia merasakan waktu selambat itu pada hari ketika mereka tiba pertama kali?

Mereka melintasi jalan besar, lalu masuk lagi ke sebuah jalan setapak buatan. Rumah yang pak Prabu datangi rupanya adalah rumah seseorang. Rumahnya bagus, malah bisa di bilang paling bagus dibandingkan rumah orang-orang desa. Berpagar batu bata merah dengan banyak bambu kuning, rumah itu terlihat tua, namun sedap dipandang.

Di depan rumah ada seseorang, kakek-kakek yang tampak sepuh berdiri seperti sudah tahu bahwa hari ini akan ada tamu yang datang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek itu, tapi pak Prabu memanggilnya mbah Buyut.

Pak Prabu menceritakan semua kejadian tadi malam. Wajah mbah Buyut tampak datar, seolah tidak tertarik sama sekali dengan cerita pak Prabu yang bahkan membuat semua mahasiswa itu tidak habis pikir.

Sesekali mbah Buyut terlihat menatap Widya seolah sedang mencuri pandang, tapi hanya sebatas itu. Dengan suara serak, mbah Buyut masuk ke dalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di hidangkan di depan mereka.

"Silahkan" kata beliau, matanya memandang Widya.

Widya ingin menolak karena ia tidak pernah minum kopi, namun senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan. Akhirnya ia meneguk kopi itu meski hanya satu tegukan saja.

Kopinya manis, ada aroma melati di dalamnya. Widya yang awalnya Widya hanya berniat minum satu tegukan malah secara tak sadar menghabiskannya. Mbah Buyut menegur agar mencicipi kopi buatan beliau, katanya "tidak baik menolak pemberian tuan rumah".

Semua akhirnya mencobanya. Wahyu dan Ayu kaget sampai harus menyemburkan kopi yang mereka teguk. Rasa kopinya sangat pahit sampai tidak bisa ditolerir masuk ke dalam tenggorokan.

Anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja. Mbah Buyut akhirnya bnuka suara. Beliau menggunakan bahasa Jawa halus yang tidak semuanya bisa dipahami para mahasiswa itu. Ada kalimat penari dan penunggu, namun kalimat lainnya tidak mereka pahami.

Mbah Buyut menunjuk Widya tepat di depan wajahnya, mimik wajahnya sangat serius. Pak Prabu mendengarkan dengan seksama lalu berpamitan pulang.

Sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberi kunir tepat di dahi Widya, katanya untuk menjaganya saja. Kunjungan itu sama sekali tidak diketahui tujuannya. Selama perjalanan, pak Prabu hanya bercerita tentang kopi yang disajikan.

Kopi yang dihidangkan mbah Buyut tadi adalah kopi ireng yang diracik khusus untuk memanggil jin, mkahluk halus, dan sejenisnya. Itu bukan kopi untuk manusia. Mereka yang belum pernah mencobanya pasti akan memuntahkanya. Namun bagi lelembut dan sebangsanya, kopi itu manis sekali. Semua langsung memandang Widya.

Pak Prabu mengatakan hal lain, "Maaf ya nak, kamu ada yang mengikuti".
Tapi pak Prabu juga mengatakan tidak perlu takut, karena Widya tidak akan dibuat kenapa-kenapa. Ia hanya diikuti saja Yang lebih penting, mulai sekarang Widya tidak boleh dibiarkan sendirian. Harus ada yang selalu menemaninya.

Untuk hal itu, pak Prabu punya gagasan. Mulai malam ini, mereka semua akan tinggal dalam satu rumah hanya dipisahkan oleh sekat dari bambu anyaman saja. Tapi beliau mensyaratkan satu hal, jangan melanggar etika dan norma. Pertemuan itu juga diminta untuk tidak diceritakan kepada siapapun, termasuk pada Nur, Anton, dan Bima.

Tempat tinggal mereka yang baru tepat ada di ujung desa. Cukup besar. Rumah itu bekas keluarga yang merantau ke kota. Hal ini menjawab pertanyaan kenapa jarang ditemui anak seumuran mereka di desa ini. Rupanya kebanyakan dari mereka pasti pergi merantau.

Di belakang rumah ada batu kali yang cukup besar dengan beberapa pohon pisang. Anton awalnya tidak setuju mereka pindah karena atmosfer rumahnya terasa tidak enak. Tapi mau bagaimana lagi, itu perintah dari pak Prabu.