Cerita Horor Terseram: Santet Sewu Dino (Bag.2)

Kisah Misteri Horor - Santet Sewu Dino Bag.2

Sosok mbah Tamin itu ternyata bukanlah sosok sebenarnya. Mbah Tamin yang asli baru tiba keesokan harinya. Lalu siapa sosok itu? Dan apa yang terjadi pada nasib Erna saat melihat boneka yang ditemukan Sri? Baca kelanjutkan kisahnya disini.



Mbah Tamin duduk di teras rumah. Kegelapan hutan benar-benar mencekam kala itu. Sri dan Erna berdiri menunggu sebelum mbah Tamin menunjuk sesuatu di antara pepohonan, "Kalian bisa melihatnya?"

"Melihat apa mbah? kata Sri bingung.

"Kesini"

Mbah Tamin menempelkan jemarinya dan menekan mata Sri. Sengatan ketika mbah Tamin menekan mata Sri membuat penglihatannya memudar perlahan. Setelah mencoba memfokuskan matanya, Sri melihat lagi apa yang ditunjuk mbah Tamin.

Bagai petir di siang bolong, Sri melihat banyak sekali makhluk yang tidak bisa dia gambarkan kengeriannya. Mungkin ada ratusan atau ribuan makhluk yang seakan mengepung rumah.

Butuh waktu lama sampai Sri akhirnya tidak sanggup lagi melihatnya,. Mbah Tamin lalu menutup kembali penglihatan itu, ia seperti mencabut sesuatu dari ubun-ubun Sri. Dengan mata menerawang, ia mengatakan kepada Sri,

"Sedo bengi mangkuk nang rogo (raga yang dibuat mati) itu adalah undangan buat makhluk halus seperti mereka" kata mbah Tamin.

"Kamu lupa dengan perintahku, Sri. Itu bahaya, bisa membunuh Dela. Jangan sampai lupa lagi ya"

Erna yang sedari diam saja ikut bicara, "Mbah, apa yang terjadi sama Dela? Kok bisa-bisanya dia mau bunuh saya sama Sri?"

Mbah Tamin duduk lagi lalu mengatakan "Berarti kamu sudah lihat"

"Itu adalah Cayajati yang ingin membunuh Dela, tapi tidak bisa. Karena ia butuh Singgarahane, seperti sepasang suami-isteri. Santet Sewu Dino hanya dimiliki oleh orang yang siap menanggung dosa dan siap mati"

Sri dan Erna masih terlihat bingung, mereka tidak mengerti. Mbah Tamin menerawang jauh, menatap sisi hutan tergelap yang tadi Sri saksikan dengan mata kepala sendiri. Ya, mereka tidak sendirian di hutan ini.

Dengan suara berat, mbah Tamin mengatakannya, "Terlalu awal untuk mengerti ini"

"Intinya, ilmu santet Sewu Dino itu pembuka ritual untuk menghabisi seluruh keluarga sampai semua keturunannya habis"

Setelah percakapan itu mbah Tamin melangkah masuk ke dalam kamar. Ia mengunci pintunya dan membiarkan semua kejadian itu meluap begitu saja dengan pertanyaan yang masih menggantung di pikiran Sri dan Erna.

-----

Pagi itu di sekitar pondok, kabut tebal menutupi seluk beluk hutan membuat pandangan mata terbatas. Sejak fajar menyingsing Sri dan Dini sudah ada di sumur, mencuci pakaian untuk keseharian mereka. Sedangkan Erna tengah membasuh Dela di dalam kamar.

Sampai terdengar suara langkah kaki. Sri yang pertama mendengarnya, ia berdiri untuk melihat. Dari jauh sesosok hitam muncul dari balik kabut. Perawakannya familiar.

Denah pondok rumah itu memang sederhana., dari teras maupun kamar mandi bisa melihat ke seluruh area sekitar. Sehingga sosok yang mendekat itu terlihat jelas.

Semakin dekat sosok itu, Sri semakin yakin. Dan benar saja, ia mematung sesaat sebelum Dini ikut berdiri dan melihat apa yang membuat Sri tercekat dalam ekspresi wajahnya. Manakala ia melihat mbah Tamin mendekat ke arah mereka dengan wajah yang letih.

Ketika mbah Tamin berdiri di depan Sri, ia bertanya apakah petuah beliau sudah dijalankan. Sri hanya diam, bibirnya bergetar. Dini-lah yang berinisiatif mengambil situasi, ia berucap lirih.

"Mbah, tadi malam gak pulang ya?"

Mbah Tamin yang mendengar itu tiba-tiba menegang, otot wajahnya mengeras. Ia memandang Sri dengan ekspresi tidak percaya, ada kemarahan dalam tatapannya.

"Kamu kan sudah tak kasih tau, JANGAN BUKA PINTUNYA!!"

Terjadi ketegangan dalam situasi itu. Tiba-tiba mbah Tamin mencengkram leher Sri. Dini yang melihat itu panik.

"SIAPA YANG KAMU IJINKAN MASUK? DIMANA DIA SEKARANG?!"

Dini mencoba menahan tangan mbah Tamin. Sri hanya membuang muka, ia sudah gemetar ketakutan.

"Di kamar anda, mbah. Orangnya masuk kesitu" ucap Dini. Mbah Tamin sempat melirik Dini dengan wajah marah sebelum bergegas masuk ke rumah. Ia setengah berlari seakan ingin segera melihatnya.

Sri dan Dini ikut mengejar, bahkan mereka sempat melihat Erna yang terdiam mematung seakan kaget melihat mbah Tamin muncul dari luar rumah. Padahal ia tahu betul, si mbah belum keluar dari kamarnya sejak semalam masuk kesana.

Tepat ketika mereka sampai di kamar mbah, mereka melihat kamar mbah Tamin sudah diobrak-abrik seseorang. Semua barangnya berantakan. Namun yang membuat semua orang tercengang, di atas ranjang tempat tidur ada patek (nisan dari kayu) yang tertulis nama "Atmojo". Itu nama keluarga tempat mereka mengabdikan diri. Krasa Atmojo.

Cukup lama bagi mbah Tamin memeriksa benda itu. Tanpa melihat Sri dan Dini, si mbah berucap, "Apa yang dia lakukan saat ada disini semalam?"

Sri kali ini yang bicara, ia mengatakan semuanya termasuk soal Dela. Mimik wajahnya berubah, ia diam sebelum akhirnya berjalan menuju Dela.

Mbah Tamin melihat anak gadis itu masih terlelap dalam tidurnya. Ia membelai layaknya anak gadisnya sendiri, sama seperti sosok yang ia lihat semalam. Lalu siapa sosok itu sebenarnya? Sri terlihat berpikir, seakan mencari tahu jawaban itu.

Setelah hari itu, mbah Tamin mengatakan ia akan lebih sering keluar rumah. Pesannya sama seperti dulu, jangan bukakan pintu manakala hari sudah petang.

Sri, Erna, dan Dini mengangguk pertanda mengerti. Namun perlahan, semua mulai memikirkan itu. Kemana si mbah pergi?

Mereka masih melakukan tugas mereka bergantian seperti biasanya. Sampai suatu pagi, si mbah belum juga pulang. Ini aneh. Dini dan Erna ada di sumur mencuci pakaian mereka. Saat itu Sri baru saja melaksanakan tugasnya membasuh Dela.

Tidak ada yang berubah dari gadis itu. Sebenarnya bila saja Dela tidak dijahati seperti ini, dia melihat sosok gadis muda yang cantik jelita. Tak hanya itu, perawakannya memang layak menjadi dambaan bagi pria manapun. Namun nasib seperti mempermainkannya, Sri merasa bersimpati.

Saat ia selesai melaksanakan tugasnya, tiba-tiba terpercik rasa penasaran. Selama ini ia belum pernah masuk ke kamar mbah Tamin, ia hanya melihatnya dari luar. Kira-kira apa yang orang tua itu simpan di dalam kamarnya?

Setelah melihat dan memastikan tidak ada orang disana, ia membuka pintu yang memang tidak dikunci. Sri melangkah masuk melihat isi kamar mbah Tamin. Tidak ada yang istimewa, selain benda yang sama seperti yang ia temui di dalam kamarnya.

Mata Sri tertuju pada sebuah lemari tua. Isisnya pakaian mbah Tamin. Tidak ada apapun disana, bahkan diantara selipan lemari dari atas hingga bawah. Lalu ia melihat ke sebuah meja yang sudah usang, disitu ada sebuah laci kecil. Dengan jantung berdegap kencang, Sri membukanya.

Di dalamnya ia menemukan pasak jagor (boneka isi rumput teki). Bentuknya sudah sangat berantakan akibat dicabik dan ditusuk. Sri tahu benda itu, itu adalah benda yang sering digunakan untuk media santet. Kenapa benda itu ada di kamar mbah Tamin?

Tak hanya benda itu saja, ada beberapa benda lain. Sebuah cincin akik dengan batu merah dan sebuah foto yang usang. Di belakang foto tertulis "keluarga Atmojo". Ketika Sri memperhatikan foto itu, ia memekik ngeri. Ada potret mbah Krasa dan seluruh keluarganya yang pernah ia lihat.

Kaget, takut, dan merinding. Itu yang Sri rasakan. Cepat-cepat ia kembalikan semua seperti semula. Ia menutup laci itu lagi kemudian melangkah keluar. Saat Sri membuka pintu, ia tersentak melihat Erna dan Dini menatapnya kaget.

"Ngapain kamu?"

Sri terdiam, ia berusaha tetap tenang, "Gak apa-apa, aku disuruh si mbah membersihkan kamarnya tadi malam"

Meski curiga, Erna dan Dini menerima alasannya. Sri melewatinya begitu saja, namun perasaannya pagi itu sudah porak-poranda dengan pikiran-pikiran gilanya.

Sejak hari itu setiap kali berpapasan dengan mbah Tamin, Sri seperti terguncang. Ia tidak bisa menutupi ketakutannya. Namun dari cara melihat si mbah, tampaknya beliau tahu sesuatu dan itu yang membuat Sri tidak tenang.

Ia sering merasa mbah Tamin memperhatikan gerak-geriknya. Tapi malam itu, Sugik, sopir yang mengantar mereka telah datang. Ia berbicara empat mata dengan mbah Tamin, seakan ada sesuatu yang mendesak. Wajah mbah Tamin tampak mengeras. Sri begitu penasaran, namun kali ini ia menahan diri.

Sampai akhirnya pembicaraan itu selesai. Si mbah mendekat dan berkata, "Aku mau pergi sama Sugik ke kediaman Krasa. Tolong jaga rumah ini. Ingat ucapanku, mbah percaya sama kalian. Tetap lakukan tugasnya, mungkin lusa mbah sudah pulang"

Sri mengangguk lalu memanggil yang lainnya. Mereka semua menatap satu sama lain. Ada keraguan di mata mereka bila mengingat kejadian sebelumnya. Namun tidak ada yang memprotes ucapan si mbah karena takut beliau akan marah lagi.

Malam itu ketika mbah Tamin sudah pergi, Sri merasa ia harus memeriksa kamar beliau lagi. Ia tahu masih ada yang harus ia cari, termasuk teka-teki apa yang sebenarnya terjadi. Mungkinkah keluarga Krasa tidak tahu-menahu perbuatan orang tua ini?

Sri menunggu Erna dan Dini terlelap. Saat ia sudah yakin 2 temannya sudah tertidur, Sri melangkah keluar dari ranjangnya. Ia menuju kamar mbah Tamin yang hanya terpisah sekat antara kamar Dela yang memang tanpa pintu itu.

Sejenak, Sri menguatkan diri. Lalu ia masuk membuka pintu dan membiarkannya tetap terbuka. Ia mulai mencari dimana terakhir kali memeriksa benda itu. Anehnya, ia tidak juga menemukannya.

Dicari dimanapun, Sri tidak menemukannya. Apakah si mbah membawanya? Sri terdiam berpikir. Sampai sesuatu seperti baru saja melintas di belakangnya, melewati kamar mbah Tamin.

Sri menoleh memastikannya, ia tidak tahu apa itu. Tiba-tiba mata Sri tertuju pada isi dari ranjang mbah Tamin. Ia menduga benda itu ada disana, maka Sri perlahan membukanya.

Sri membuka semuanya, namun ia tidak menemukan benda itu juga disana. Saat Sri masih berusaha mencari, terdengar suara pintu ditutup dari belakang. Badannya terhenyak sejenak sebelum berbalik melihatnya.

Sri terdiam, ia melihat Dela menatapnya dengan senyuman menyeringai,

"Anak kecil berani sekali cari masalah" kata Dela seraya tetap berdiri menahan pintu. Kepalanya menggedek ke kiri dan kanan, seakan menertawakan Sri.

"Kok bisa" kata Sri, ia tak kuasa gemetaran. Badannya meringkuk ketakutan.

"Coba pikirkan, nak" kata Dela, "Kenapa orang tua itu membuka kerandaku lalu tidak mengikatku? Rupanya untuk kamu ya? Manusia itu kadang lucu"

Sri terdiam. Ia tiba-tiba berpikir, apa mbah Tamin sengaja membuka keranda itu? Sial, harusnya Sri berpikir bahwa kepergian beliau bukan sesuatu yang aneh. Namun untuk apa ia melepaskan makhluk ini?

Dela merangkak, ia mendekati Sri. Dela hanya melihat wajah Sri sembari tetap tersenyum. "Kamu tidak akan mati, nak. Caranya itu membuatku malas mengambil nyawamu"

"Tak kasih tahu kalau kamu ingin tahu ada apa disini"

Sri masih diam. Ia tidak berbicara banyak, ketakutan sudah memenuhi seluruh badannya.

"Ada sebuah pohon beringin di timur tempat ini. Cari batu yang ditata di sebelah selatan lalu buka isinya"

Dela berdiri membuka pintu lalu menutupnya lagi. Sri yang masih terjebak dalam ketakutannya perlahan berdiri. Ia melihat Dela yang kembali tidur. Tidak lupa ia menutup kerandanya lalu kembali ke kamar.

-----

Pagi itu seperti biasanya, Dini dan Erna sudah sibuk dengan kegiatannya sendiri sementara Sri pamit untuk menghabiskan waktu di kamar. Sri mengaku tidak enak badan, tapi yang sebenarnya Sri pergi menuju tempat yang ia dengar dari sosok semalam.

Menelusuri jalan dengan kabut masih tebal, kiri-kanan pohon tumbuh tinggi dengan semak belukar di setiap sisinya. Setiap langkah kaki Sri terdengar gemerasak dedaunan yang berserakan dengan aroma tanah yang tercium sengak. Sri terus berjalan ke timur sampai ia melihat pohon itu.

Dari jauh, pohon itu tumbuh sendiri diantara semak belukar di sekitarnya. Ada tanah lapang yang terbuka, seakan pohon itu dibiarkan menyendiri. Begitu kelam, begitu menenggelamkan. Anehnya, Sri justru mendekatinya. Seakan hatinya menuntun dan memanggil namanya. Ia harus melakukannya.

Meski cahaya matahari sudah terang-benderang, namun di bawah pohon ini seakan cahaya itu tidak bisa menyentuhnya. Kegelapan dari rimbunnya dedaunan pohon beringin ini menciutkan nyali siapapun yang ada di sekelilingnya.

Sri menelusuri pohon besar itu, sampai ia menemukan sebuah kuburan dengan batu nisan bertuliskan sebuah nama yang familiar, "Dela Atmojo".

Butuh waktu untuk memproses informasi itu. Namun Sri mencoba menolak pikiran itu, "Dela sudah mati?" batin Sri terguncang. Ia kini tersesat dalam pikirannya sendiri.

Entah apa yang ada di kepalanya, ia menggali tanah keras itu dengan jemarinya. Saat tanah itu mulai menyakitinya, Sri mencari bebatuan untuk terus membongkar kuburan itu. Ia merasa ada yang salah dengan kuburan ini, termasuk ukuranya yang tidak terlalu besar.

Benar saja, apa yang Sri lakukan tidak sia-sia. Ia sampai di sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Sri mengeluarkannya dari sana dan membuka penutupnya. Ia menemukan sebuah boneka pasak Jagor seperti yang pernah Sri lihat. Hanya saja, boneka yang ini dililit rambut hitam.

Sri memeriksanya. Rambut hitam itu panjang melilit boneka. Tepat ketika akan membuka lilitan rambutnya, tiba-tiba terdengar suara tertawa cekikikan yang membuat Sri terhenyak. Ia terdiam sejenak dan memperhatikan sekitar. Tidak ada siapapun disana. Saat itu juga Sri langsung meninggalkan tempat itu dan membawa benda itu.

Di kamar, ia menyembunyikan benda itu di lemari lalu melanjutkan tugasnya. Erna dan Dini tidak ada yang curiga karena mereka melihat Sri keluar dari kamar. Mereka membersihkan sekitar rumah, menyelesaikan tugas mereka sebelum malam datang. Mbah Tamin sepertinya belum akan pulang hari ini.

Malam sudah datang. Sri ada di dapur, ia baru saja melihat Dini mengambil air. Malam ini adalah gilirannya membasuh Dela, sedangkan Sri memasak untuk esok hari. Erna ada di kamar sendirian.

Ketika tugas Sri selesai, ia berniat pergi ke kamar. Firasatnya tiba-tiba buruk. Saat menuju ke kamar, Sri berhenti sejenak melihat Dini yang membilas Dela. Ia melihatnya membilas tubuh anak malang itu dengan telaten dan perhatian.

Kemudian ia lanjut ke kamarnya, disana Sri tercekat melihat Erna memegang boneka itu. Tangannya tengah melepas rambut hitam itu. Saat Erna sudah melepaskan rambut yang melilit boneka, tiba-tiba terdengar suara Dini berteriak yang spontan mengejutkan Sri dan Erna. Mereka segera melihat apa yang terjadi.

Belum sampai ke kamar Dela, tiba-tiba sesosok makhluk merangkak keluar, menatap Sri dengan senyuman menyeringai. "Dela!" pekik Sri dan Erna bersamaan.

Sosok Dela melihat mereka sejenak sebelum memuntahkan sesuatu di depan Sri dan Erna.

"Telinga yang terpotong" kata Sri tidak percaya. Ia melihat Dini menangis di kamar, memegangi salah satu telinganya.

Sosok Dela lalu pergi keluar. Sebelum Dela pergi keluar rumah, Sri sepintas melihat di kakinya masih ada satu ikatan tali hitam. Kenapa Dela bisa lepas dari ikatan itu?

Dini masih menangis sementara Erna cuma bisa diam tidak mengerti. Kini mereka menatap hutan gelap itu dari sana. Mereka harus bertanggung jawab mencari Dela di tengah hutan ini, atau orang tua itu akan membunuh mereka saat ia kembali esok hari.

Sri melangkah masuk ke dalam kamar dimana ia melihat Dini masih menangis dan menutupi salah satu telinganya. Ia hanya terduduk.

"Din?" tanya Sri, yang hanya dijawab tangisan penuh ketakutan. Sri mendekat, melihat lebih jelas apa yang terjadi. Ia melihat telinganya benar-benar tampak robek dengan darah segar masih mengalir. Dini kehilangan satu daun telinganya.

Ketegangan semakin membuncah manakala Dini tiba-tiba berujar sebuah kalimat yang Sri yakini sebuah pesan, "Seribu hari anak ini tinggal menghitung areng (waktu)"

Sri bangkit dari tempatnya lantas melihat Erna yang masih tampak shock, "Ayo kita cari anak itu, mumpung belum jauh"

Erna yang mendengar itu langsung sadar dengan lamunannya, "Heh! Mencari anak itu di malam gelap begini? Gila kamu!"

Sri yang mendengar itu mendekati Erna, "Kamu gak paham posisi kita? Gimana kalau orang tua itu tahu?"

Sebelum Erna menjawab pertanyaan itu, ia membanting boneka itu kemudian bertanya dengan nada keras,
"LALU INI PUNYA SIAPA? SIAPA YANG PUNYA BARANG INI? KAMU, KAN?"

Sri terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Erna. Ia tidak tahu-menahu dan bilang memang karena benda itu semua ini terjadi. Artinya, memang dia-lah penyebab semua ini.

Dengan setengah pasrah Sri berucap, "Tolong jaga Dini, biar aku yang cari anak itu"

Sri mengambil satu lampu petromak yang tergantung di dapur lalu berjalan keluar, menembus kegelapan hutan yang sudah memanggil sedari tadi.

Baru saja keluar, Sri bisa merasakan hembusan angin dingin yang langsung menusuk tulang. Berbekal lampu petromak di tangan, Sri berlari entah kemana. Mengikuti jalan setapak, berharap ia masih bisa mengejar Dela yang bisa dimana saja. Ia tidak hafal seluk beluk hutan ini.

Sejauh mata memandang hanya bayangan pohon dan kabut tebal yang seringkali ditemui. Sisanya hanya suara gemeresak kakinya menembus semak belukar yang terkadang menggores kulitnya.

Selain itu, hembusan nafas Sri lebih berat karena ketakutan sudah menemaninya sejak keluar rumah. Sudah tidak terhitung berapa kali ia melintasi pohon besar. Mata Sri awas melihat sekeliling, sementara tangan dan kakinya meraba apapun yang bisa ia pegang hanya agar ia tidak terjerembab pada tanah yang tidak rata.

Namun Sri masih belum menemukan tanda keberadaan Dela. Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami, mencari Dela di tengah kegelapan hutan seperti ini dan berjalan dari satu tempat ke tempat lain rasanya mustahil. Tidak mungkin baginya bisa menyisir keseluruhan hutan.

Sampai Sri merasa ia tahu dimana keberadaan gadis itu, semoga itu benar. Sri bisa melihat tempat itu bahkan dari jauh. Bayangan hitam besar dan rimbun itu seakan tidak kehilangan kengeriannya sedikitpun. Meski kaki Sri letih menempuh jarak sejauh itu, ia mendekati pohon beringin tempat dimana ia menemukan boneka itu.

Terdengar suara langkah kaki Sri yang menembus semak. Kini ia berdiri tepat di bawah pohon itu, melihat Dela yang seperti sudah menunggunya. Ia hanya duduk menggoyangkan kakinya, seakan tahu Sri akan menemukannya.

Gerak tubuh Dela membuat Sri tidak nyaman, terkadang ia menggedek kepalanya seakan tulang lehernya lepas dan tidak dapat menyangga kepalanya.

"Orang tua itu ternyata tidak bodoh" kata Dela, "Percuma, aku tidak bisa keluar dari hutan ini"

Sri hanya diam, ia juga bingung harus mengatakan apa,

"Sudah dekat waktunya, sebentar lagi" kalimat terakhir Dela seperti memberi isyarat tentang sesuatu.

"Masih belum paham? Rambut yang dilepas temanmu itu kamu pikir apa?"

"Rambut Dela" kata Sri menebak. Sosok itu mengangguk, "Lalu?"

Mata Sri terbelalak mendengarnya.

"Kamu pikir aku sengaja menipumu, kan? Masih belum mengerti juga?"

"Erna" kata Sri. Seketika itu Dela tertawa, ia tidak pernah melihat suara tawa yang mengerikan seperti itu.

Sri akhirnya kembali ke rumah tanpa Dela. Langkah kakinya berat, memikirkan kemungkinan yang Sri pikirkan dari tadi. Saat ia masuk ke rumah, ia melihat genangan darah. Sri mengikuti jejak darah yang ternyata berakhir di kamar mereka. Ia melihat Dini menutupi wajah Erna dengan kain.

"Erna mati, Sri. Muntah darah" kata Dini pelan.

Sri bisa melihat wajah Erna. Hidung dan bibirnya bersimbah darah, sama seperti boneka yang Erna banting dimana bagian kepala boneka itu hancur. Sekarang ia tahu penyebab sebenarnya santet ini.

Sri akhirnya menjelaskan semua kepada Dini. Apa yang terjadi kepada Erna, apa yang terjadi kepada Dela, apa yang disembunyikan orang tua itu, dan apa yang tidak dikatakan tentang pekerjaan ini.

Semuanya berujung pada pemindahan santet saja karena mereka yang memiliki garis weton sama. Sri mengambil boneka itu dan menunjukkannya pada Dini.

"Boneka ini media untuk mencelakai Dela, diikat rambutnya dari awal. Siapa yang berani membukanya akan menerima konsekuensi santetnya si Dela. Masalahnya, kalau orang biasa yang melakukannya hanya mendatangkan kematian."

"Lain lagi kalau yang membuka boneka ini sama wetonnya dengan Dela, yaitu kita. Bisa membunuh, bisa meringankan beban untuk Dela. Aku yakin bonekanya tidak hanya satu, bisa tiga sampai sepuluh. Aku gak tahu, Din. Tapi Erna sudah menjadi korban salah satunya, tinggal kamu sama aku"

"Bodohnya aku, aku tidak tahu kalau Erna malah membanting bonekanya. Boneka yang sudah jadi pengganti sukmanya dia. Kalau boneka itu rusak, yang buka ikatannya juga akan menerima akibat perbuatannya"

Dini yang mendengar itu hanya diam, wajahnya kebingungan. Malam itu mereka lalui dengan akhir yang tragis.

Keesokan harinya mobil Sugik datang, Sri dan Dini sudah menunggu mereka. Mbah Tamin yang pertama keluar diikuti Sugik. Ia menggendong Dela di punggungnya. Tampaknya mbah Tamin dan Sugik sudah tahu semuanya.

Yang tidak diketahui mereka adalah, Erna meninggal. Melihat hal itu wajah mbah Tamin merah padam. Ia tidak berbicara banyak, hanya mengatakan kalau mereka harus membawa Erna pulang. Kematian Erna di luar perkiraan mbah Tamin.

Ketika Sri ingin bertanya lebih jauh tentang ini, mbah Tamin menatapnya dingin. "Tutup saja mulutmu! Dasar bayi, tidak tahu apa-apa tapi suka seenaknya sendiri"

Itu adalah kali terakhir Sri keluar dari hutan itu. Tidak ada percakapan apapun selama di mobil. Mereka menuju kediaman mbah Krasa.

-----

Sri dan Dini duduk di luar rumah. Di dalam, ia bisa melihat mbah Krasa tampak berbicara serius dengan mbah Tamin. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun Sri tidak tahu lagi harus apa, ia hanya ingin pamit saja. Tapi siapkah dia dengan konsekuensi bila ia memilih pamit?

Seperti halnya dia, Dini pun sama. Jika pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki resiko di luar nalar seperti ini, tidak akan ada orang normal yang mau menerimanya.

Setelah menunggu lama, Sri dan Dini dipanggil untuk menghadap mbah Krasa. Sri dan Dini melangkah masuk. Ia di persilahkan duduk, memandang wanita yang selalu saja membuat Sri merasa segan setiap melihat matanya.

"Aku ikut sedih dengan nasib temanmu, tapi aku sudah menjamin keluarganya akan dapat semua hak yang pantas dia terima"

"Sekarang katakan, apa yang ingin kamu bicarakan sama saya?"

"Saya mau mundur, mbah." ucap Sri bimbang.

Mbah Krasa memandang Sri cukup lama. Ada jeda keheningan diantara mereka. Suasana itu sama sekali tidak mengenakkan bagi Sri dan Dini, sebelum mbah Krasa tersenyum.

"Boleh. Tapi aku tidak menjamin nyawamu ya nak"

Sri dan Dini melihat satu sama lain, mereka tidak mengatakan apapun lagi.

"Sekarang apa ya mau mundur?" tanya mbah Krasa, matanya mengintimidasi.

"Tidak, mbah" kata Dini dan Sri bersamaan. Mbah Krasa mengangguk puas.

"Sebenarnya tidak perlu ada korban kalau kalian mengikuti apa yang si mbah katakan. Cuma butuh nurut saja, apa susahnya mendengarkan orang tua?" Mbah Tamin menatap Sri.

Sri menyimpan sesuatu yang selama ini ia tahu, bahwa dalang di balik semua ini adalah si mbah Tamin sendiri. Namun Sri masih merasa ia tidak memiliki bukti apapun. Mata mbah Tamin seperti mengawasinya, tidak memberinya ruang untuk bicara dengan mbah Krasa secara pribadi.

Entah bagaimana sekelebat pikiran itu muncul, Sri lantas mengatakan apa yang ia temukan di kamar mbah Tamin. Bahkan Sri menunjukkan boneka yang ia temukan di bawah pohon beringin. Sebuah pesan dari cucunya, Dela Atmojo.

Mendengar itu, mbah Krasa mengerutkan kening. Ia terdiam. Mbah Krasa memandang mbah Tamin yang sedari diam sambil berdiri. Lalu ia tertawa, cukup membuat Dini dan Sri tersentak. Seakan ucapan Sri hanya omong kosong.

Lalu mbah Krasa bertanya ke mbah Tamin, "Kamu belum cerita ke anak-anak ini apa yang sebenarnya terjadi?"

"Sok tau" kata mbah Tamin. Beliau mengambil sesuatu di sakunya. Boneka yang sama, termasuk foto keluarga Atmojo. Sri bingung. Kok bisa?

"Aku ceritakan semuanya, dengarkan. Tapi kalau aku sudah cerita, apa yang akan terjadi sama kalian tidak bisa dicabut. Kalian harus nurut ya?"

"Nurut sampai Dela bisa selamat, atau nyawa kalian tidak akan selamat, sama seperti Dela"

Sri dan Dini masih diam mendengarkan. Kemudian mbah Tamin membuka suara,

"Itu namanya santet Sewu Dino, santet yang bisa menghabisi seluruh keluarga sampai ke anak terakhir. Keluarga Atmojo punya musuh dimana-mana. Jadi asal mula semua ini dari kelengahanku mengawasi keluarga ini. Aku tidak menyangka Dela akan jadi target santet ini."

Suara mbah Tamin terdengar keras, menahan dendam kesumat atas insiden ini.

"Media santet ini macam-macam. Salah satunya lewat boneka yang diisi rambut orang yang ingin dihabisi keluarganya. Nasib Dela sekarang ditentukan dari dimana boneka ini sekarang"

"Masalahnya, aku tidak tahu dimana saja boneka itu ditanam. Ada berapa juga aku gak tahu."

"Boneka yang kamu temukan itu salah satu yang ketemukan di rumah ini. Aku sengaja menanam boneka itu disana biar nanti saat waktunya tepat, bisa dipakai untuk meringankan beban sakit Dela"

"Ingat waktu aku mengingatkan kalian jangan membuka pintu tapi tidak didengarkan?"

"Sebenarnya keluarga yang mengirim santet ini masih mencari Dela. Itu alasan kenapa aku menyembunyikannya disana, karena tempat itu terlalu ramai untuk mencari keberadaan Dela. Dela tidak akan bisa mati sebelum Banarogo bertemu dengan Sengarturih"

"Siapa Sengarturih itu?"

"Yang sekarang bisa bangun sewaktu-waktu kalau Dela tidak diikat tali hitam itu"

"Jadi?" tanya Sri.

"Tinggal menunggu waktu datangnya Banarogo buat mencari istrinya, Sengarturih, yang ada di tubuh Dela. Kalau dia sudah menemukannya, keluarga Atmojo sudah tamat!"

Bagi Sri, apa yang baru saja diucapkan oleh mbah Tamin seperti dongeng untuk anak kecil yang ingin tahu sebuah kenyataan dari dunia yang tak terlihat. Pikiran tidak masuk akal seperti ini sulit membuatnya percaya.

Tapi persepsi itu harus ia pertimbangkan lagi. Terutama saat Sri melihat wajah Dini. Ia menampilkan ekspresi ketakutan yang tidak pernah ia saksikan sebelumnya dari sosok ibu 2 anak itu.

Dini adalah satu-satunya yang Sri tuakan meski usia mereka hanya terpaut 2 tahun. Dini memilih menikah muda, hal itu yang membawanya ke tempat ini. Ke tempat dimana ia harus meninggalkan anak-anaknya untuk membantu suami memenuhi kebutuhan buah cinta mereka.

Dini lebih memilih diam sembari menutup luka di daun telinganya yang harus ia relakan di perut Dela, atau mungkin, Sengarturih.

Sri merasa ada beberapa bagian yang sengaja tidak diceritakan, seolah orang tua itu memiliki tujuan tersendiri. Tidak dapat ditebak, tidak dapat diterka. Namun sorot matanya seakan memberitahu ada rahasia yang ia tutupi.

"Sudah selesai kan, penjelasannya? Kalau sudah, ibu mau pamit. Nanti biar Sugik yang mengantar kalian ke tempat Dela" mbah Krasa pergi.

Mbah Tamin pun ikut undur diri. Ia mengatakan bahwa setelah ini, apa yang mereka alami di rumah gubuk hutan itu masih belum ada apa-apanya dengan apa yang akan mereka saksikan dengan mata kepala sendiri. Ada kilatan mata dengan sudut bibir melengkung. Mbah Tamin punya rencana lain.

Sugik belum kembali, kabarnya ia akan menjemput sore hari. Sri masih belum tahu dimana Dela sekarang berada. Yang jelas, hutan itu bukan tempat dimana Dela disembunyikan lagi. Entah tempat seperti apa, Sri merasa ia sedang dipersiapkan untuk sesuatu yang lebih besar.

Ketika Sri sedang mempersiapkan perbekalan yang akan dibawa, ia melihat Dini berdiri di luar pintu kamar, tempat ia beristirahat sebelum perjalanan berikutnya. Sri mendekatinya, mempertanyakan apakah ada yang ingin ia sampaikan.

Wajah Dini pun tidak tertebak sama sekali. Namun setelah dirasa ia cukup menahan diri, Dini berujar dengan suara gemetar,

"Satu dari kita akan tetap hidup sampai ini selesai. Sri, aku minta maaf kalau aku akan melakukan apapun biar tetap hidup"

Ucapan Dini membuat Sri kebingungan. Apa yang ia ucapkan? Darimana ia dengar hal itu? Setelah Sri mempertanyakan itu, Dini menunjuk telinganya yang kini cacat.

Ia berujar dengan nada yang lebih percaya diri, "Sebelum telingaku putus, Dela membisikkan sesuatu. Satu dari kita akan selamat untuk 'Kembang klitih' (berbagi sari bunga dari sisa Santet)"

Sebuah mobil hitam yang Sri kenal baru saja masuk ke kediaman Atomojo. Sugik melangkah keluar, Sri dan Dini pun melangkah masuk. Setelah berpamitan dengan mbah Krasa, Sugik pun mengantar mereka ke tempat dimana Dela sekarang berada.

"Aku ikut berduka soal temanmu ya Sri, mbak Din" kata Sugik. Ia tak henti-hentinya memandang Sri dan Dini yang sejak pertama mereka masuk tidak ada interaksi. Seakan mereka memilih untuk diam bersama, hal itu membuat canggung.

Benar dugaan Sri sebelumnya, jalan yang mereka tempuh bukan jalan menuju hutan itu, melainkan jalan menuju ke luar kota, menuju sebuah desa. Ketika mobil masuk ke sebuah gapura, suasana sepi dari kehidupan desa ketika malam langsung menyambut mereka.

Banyak rumah yang masih menggunakan gedhek (anyaman bambu) di samping kiri kanan, setiap rumah saling berjauhan. Dari dalam mobil, Sri hanya bisa mengamati bahwa tempat ini tidak berbeda jauh dari nuansa ketika mereka tinggal di hutan. Masalahnya, Sri belum melihat satu manusia pun disini. Seakan ini adalah sebuah desa mati.

Mobil masuk ke sebuah gang dengan pemandangan yang sama. Batu kerikil keras di sepanjang jalan menambah kesan bahwa desa ini pasti berada di pinggiran, jauh dari manapun. Dan ketika mobil berhenti, saat itulah Sri melihatnya.