Kisah Misteri: Perjanjian dengan Nyai Ratu (Bag.1)

Cerita Misteri Perjanjian dengan Nyai Ratu

Kali ini kami akan membagikan sebuah cerita misteri yang cukup menarik, yakni "Perjanjian dengan Nyai Ratu". Kisah misteri ini menceritakan tentang perjuangan pak Teguh untuk melindungi keluarganya dari jeratan iblis yang bernama Nyai Ratu.

Pak Teguh yang telah kehilangan Rani, adiknya, kini harus berjuang agar anaknya tidak mengalami nasib yang sama. Kisah horor ini benar-benar nyata terjadi yang kami tulisan ulang dari cerita oleh akun twitter @AyyuIkka dengan beberapa perubahan kata dan kalimat tanpa mengubah alur atau jalan cerita. Selamat membaca.



Malam itu terasa gelap, dingin, diiringi suara rintik hujan. Nina membuka mata dan melihat ke luar jendela. Dia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Entah apa yang membuatnya seperti ini, ia tak tau. Hal terakhir yang diingat, tadi ia berbincang dengan ibunya di teras rumah.

"Aduuh...!" keluh Nina dengan memegang bahu kanannya,
"Sabar nduk, sebentar lagi sudah sampai kok" sahut suara lelaki yang sangat ia kenal. Itu suara pak Teguh, ayah Nina.
"Pak, mau kemana ini? Aku kenapa? Kok badanku sakit semua?" berondong Nina dengan pertanyaan yang tak jugas dijawab.

Mobil itu melaju kencang. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka berdua. Hanya suara derasnya hujan yang menemani mereka di jalanan sepi ini.

Setelah lama perjalanan, mereka tiba di sebuah rumah. Sebenarnya tak layak disebut rumah karena disana hanya terlihat seperti gubuk tua. Ada satu pintu tanpa jendela dengan atap jerami, dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan satu lampu kuning 5 watt yang menambah kesan ngeri di gubuk ini.

Nina melihat suasana sekitar. Tanpa penerangan sama sekali, hanya tanah lapang yang diitari semak serta pohon menjulang tinggi. Di kejauhan terdengar suara binatang malam dan lolongan anjing.

"Ayo masuk" ajak pak Teguh sembari menarik tangan Nina yang masih merasa lemas dan sakit di seluruh badannya. Nina mengangguk.

Pak Teguh menyuruh Nina duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu. Amben, kata orang Jawa. Mata Nina menyapu seluruh isi ruangan. Ia terlihat sangat cemas, rasanya seperti sedang diawasi.

"Tunggu disini sebentar" pinta pak Teguh kepada Nina.

Ini adalah gubuk yang tak ada penghuninya, terlihat dari barang-barang usang yang sangat berdebu dan tampak tak terurus. Sekejap Nina merasa ada yang mengelus lembut rambutnya. Nina menoleh ke arah tersebut, disana terlihat seorang wanita muda yang cantik.

Ia menggunakan riasan dan aksesoris khas keraton kerajaan, dengan mahkota bersematkan berlian hijau yang menghias kepalanya. Wanita itu tersenyum padanya dengan lembut, membuat Nina membalas senyuman wanita itu.

"Pergi kamu, iblis laknat !!!" suara keras mbah Ragil yang menggelegar membuat Nina tersentak kaget.

Seorang lelaki tua dengan pakaian hitam dan ikat kepala bermotif batik mendekat. Ia berambut putih dan berjenggot, tangannya memegang tongkat berkepala ular. Di belakangnya ada pak Teguh.

"Orang tua, kamu jangan ikut campur! Anak ini sekarang sudah jadi milikku! Hahahaha...!" sahut wanita tersebut, tapi kali ini suaranya menjadi parau dan berat.

Nina mengarahkan pandangannya ke arah suara wanita tadi. Betapa kagetnya ia melihat wanita yang tadinya cantik bak ratu, sekarang menjadi sesosok bayangan tipis menyerupai nenek tua.

Mata Nina seolah tak mau lepas dari pandangan tersebut. Wajah wanita tua itu sangat-sangat menyeramkan. Keriput di wajahnya berwarna merah menyala seolah terbakar, mulutnya menganga lebar penuh dengan belatung.

Sosok itu mendekat dengan cepat seolah hendak memasuki tubuh Nina. "Aaaaaakkkh" teriak sosok tersebut merasa kesakitan, mbah Ragil menggapai rambut putih sosok tersebut dan menariknya.

"Jangan berani-berani kamu masuk ke anak ini lagi, atau kamu akan kubakar!" ancam mbah Ragil.
"Aku tak takut denganmu, gil! Ayo coba kalau kamu berani bakar aku!" sosok itu berkata dengan lantang.

Mbah Ragil tersenyum tipis, lalu bibirnya komat-kamit mengucap mantra-mantra untuk membakar sosok itu. Anehnya, sosok justru menertawakan mbah Ragil. Seolah itu adalah hiburan yang menggelitik untuknya.

"Panas...! Panas, pak! Panas...! Gak kuat aku pak!" Nina menjerit, berteriak, dan menangis. Tubuhnya menggeliat dan berguling-guling, membuat pak Teguh tak tega melihat anak semata wayangnya kesakitan.

"Sudah, mbah. Jangan diteruskan, kasihan Nina anakku mbah" pinta pak Teguh kepada mbah Ragil.
"Iblis kurang ajar" ujar mbah Ragil geram.

Sosok tersebut masuk dengan mudah ke tubuh Nina yang tergeletak lemas di lantai.

"Rupanya iblis ini sudah dapat izin dari anakmu" jelas mbah Ragil sambil mengambilkan air dan membacakan mantra.
"Lalu bagaimana mbah? Saya sudah bawa Nina kemana-mana, tidak ada hasilnya. Saya tidak mau anak saya diambil iblis"

"Ini salah bapakmu dahulu. Bapakmu yang buat perjanjian dengan iblis itu, akibatnya kamu lihat sekarang. Anakmu sudah diikat dengan iblis itu" tutur mbah Ragil, pak Teguh hanya tertunduk lesu karena tidak tau harus berkata apa.

Pak Teguh ingat betul kejadian saat itu. Saat dimana adiknya juga menjadi korban keserakahan bapaknya. Pak Teguh merasa ini semua harus diselesaikan agar tidak ada korban lagi.

------
Kembali ke waktu 30 tahun yang lalu
------

Catatan: cerita yang dialami Nina terjadi 15 tahun yang lalu, sedangkan bagian flashback ini dialami pak Teguh.

"Rani..! Kesini nduk, duduk sini" panggil pak Romli. Ia adalah bapak dari Rani dan Teguh. Rani yang sedang asyik bermain lalu  mendekati ayahnya dengan berlari kecil.

"Nanti ikut bapak, ya?" ajak pak Romli kepada putri bungsunya itu.
"Waah, ada pertunjukan lagi pak? Pasti Rani ikut" jawab Rani antusias.

Pak Romli adalah pimpinan sanggar tari yang terkenal di daerah itu. Sebagai anak, Rani juga sangat menggemari dunia tari-menari sejak kecil karena selalu diajak pak Romli untuk menghadiri undangan.

Hal itu berbeda dengan Teguh yang kesehariannya hanya bekerja mencari rumput untuk pakan sapi. Terkadang ia juga menangkap ikan untuk makan sehari-hari. Jika mendapatkan ikan lebih banyak, ia akan menjualnya ke pasar dan memberikan uangnya kepada ibunya.

Kala itu Teguh masih berumur 18 tahun, sedangkan adiknya Rani 16 tahun. Rani tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih, rambutnya panjang hitam agak bergelombang, pipi dan bibirnya terlihat merah merona.

Sifatnya juga baik. Dia adalah sosok gadis yang ceria, cerdas, dan suka menolong siapa saja. Sifat itu mirip dengan bu Tanti, ibu Rani dan Teguh.

Begitu pula dengan Teguh, dia tumbuh menjadi pria yang gagah dan tampan. Teguh rajin beribadah, namun agak pendiam. Sifatnya tak jauh beda dengan adiknya karena bu Tanti selalu mendidik dan mengajarkan kebaikan kepada mereka berdua.

Malam pun tiba, sesuai janji pak Romli akan mengajak Rani ke acara yang pak Romli pimpin.
"Rani nanti nggak boleh nakal ya, nduk. Nggak boleh merepotkan bapakmu" tutur ibunya.

Rani menganggukan kepala lalu mencium tangan ibunya.
"Assalamualaikum, bu Rani berangkat" sembari melambaikan tangan kepada ibu dan kakaknya.

Di acara tersebut Rani duduk di samping bapaknya. Dia mengamati gerak-gerik penari dan sesekali mengikuti gerakannya. Lantunan musik gamelan terasa sangat cocok dengan tarian yang dia lihat.

Bruukk...!! Tiba-tiba salah satu penari terjatuh tak sadarkan diri. Pak Romli yang kaget langsung berlari menghampiri penari tersebut diikuti Rani. Si penari dibopong ke sebuah bangunan dekat panggung.

Rani yang ingin menghampiri bapaknya tertahan karena banyak warga yang juga penasaran pada apa yang terjadi. Saat itulah dia melihat selendang penari yang pingsan tadi.

Ia mengambil selendang berwarna hijau tersebut dan berniat mengembalikan ke pemiliknya. Rani mencoba mencari celah agar ia bisa melewati kerumunan warga.

"Permisi pak, bu..." usaha Rani sia-sia saja, tubuhnya yang kecil tak bisa melewati warga untuk masuk ke pintu dimana bapaknya berada.
Jadi dia memutuskan untuk menyingkir dulu.

Dipandanginya selendang tadi, sangat indah dan menawan. Di ujung kanan dan kirinya terdapat payet-payet kecil berwana kuning keemasan. Tercium bau semerbak wangi dari selendang yang ia pegang.

"Pakailah, anak cantik" terdengar bisikan lembut di telinga Rani. Dia menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara tadi, tapi hanya terlihat warga yang berlalu lalang dengan kesibukannya masing-masing.

Tanpa disadari, Rani mengenakan selendang itu. Ditaruhnya di leher sembari tangannya memegang ujung kanan dan kiri selendang. Rani menari dengan lentik seolah sudah terlatih bertahun-tahun.

"Wah, ternyata aku bisa juga menari seperti penari ahli" ia merasa kagum pada dirinya sendiri.

Dia mencoba melangkah ke panggung dan menari dengan gemulai. Pengiring gamelan yang melihatnya ikut memainkan musiknya. Gamelan, gong, kendang, dan rindik bersahut-sahutan menciptakan irama yang syahdu.

Warga yang tadinya bergerombol untuk melihat penari yang pingsan menoleh ke arah panggung, mereka seolah terhipnotis oleh penampilan Rani. Para petinggi desa yang tadinya geram karena acara tidak berjalan lancar pun tersenyum sumringah melihat tarian Rani.

Sedangkan di ruangan, pak Romli sangat cemas pada apa yang terjadi dengan si penari. Bagaimana tidak, penari yang pingsan ini adalah orang yang sangat penting untuk pertunjukan tarinya.

"Kang, anakmu menari di panggung itu loh" ucap salah satu penari memberitahu pak Romli mengenai Rani.

Pak Romli bergegas menuju ke arah panggung. Wajahnya menegang, khawatir jika apa yang diperbuat anaknya itu akan mengakibatkan hal yang tak diinginkan. Begitu sampai di depan panggung, pak Romli mengangguk puas.

"Ternyata Nyai Ratu suka pada Rani anakku"

Pak Romli melihat tamu dan para warga sangat menikmati tarian Rani. Dari sinilah dimulainya kehidupan Rani yang baru. Ia menjadi seorang penari yang dikagumi banyak orang, meskipun di sisi lain ia tidak tahu jika nyawanya justru sedang terancam.

Hari berganti hari, minggu berganti bulan. Nama sanggar tari pak Romli makin diakui, Rani semakin terkenal. Rani merasa cita-citanya telah tercapai.

"Huuh... Capek sekali, ya.." keluhnya sembari menyandarkan tubuh ke kursi.
"Nduk, sudah pulang ya? Sana makan dulu, sudah ibu siapkan di meja" kata bu Tanti.
"Grrrrrr..." tiba-tiba Rani menggeram dengan keras.

Tangannya mencengkeram erat kursi yang terbuat dari kayu hingga kukunya mengelupas. Matanya melotot dan tatapannya kosong, dia masih menggeram dengan keras. Bu Tanti yang kaget melihat putrinya seperti itu, refleks berteriak,
"Leee, Teguh... Kesini lee, adikmu lee..."

Teguh berlari dengan masih membawa rumput di tangannya.
"Adik kenapa ini bu?" tanya Teguh yang jga bingung.
"Nggak tahu, le. Dia baru datang dari acara, jemput bapakmu cepat"
"Nduk, istighfar nduk, sadarlah"

Rani justru mendorong ibunya hingga terpental ke dinding rumah, "Jangan dekati anak ini, anak ini sudah jadi milikku" teriak Rani dengan suara serak dan parau.
"Nyai Ratu..." gumam pak Romli yang baru datang dengan suara lirih.

Rani masih melotot dan membuka mulutnya. Dia menaiki meja dengan lalu dengan kakinya menghentak-hentak, menimbulkan suara 'dug dug dug' yang keras. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, tangannya mulai menari-nari.

Teguh menatap bapaknya dengan curiga, "Ada apa ini sebenarnya pak?"

Pertanyaan Teguh hanya dibalas lirikan tajam dari bapaknya. Pak Romli mengambil segelas air yang sudah dibacakan mantra lalu menciprat-cipratkan ke tubuh Rani.

"Mohon maaf Nyai Ratu, saya lupa" kata pak Romli dengan meletakkan tangannya di atas kepala Rani. Rani jatuh dan terkulai lemas, lalu pak Romli membawanya ke dalam ruang khusus miliknya.

"Bu, aku takut Rani kenapa-kenapa. Sebenarnya iblis apa yang bapak bawa? Setiap pulang dari undangan, Rani kesurupan". Bu Tanti hanya menangis tak menjawab pertanyaan putranya.

Krieeett... Pintu ruangan itu terbuka setelah dua jam lebih pak Romli di dalam bersama Rani. Wajahnya menengang, rahangnya dikuatkan.

"Lupakan apa yang sudah kalian lihat, kalau tidak mau hidupmu susah" ujar pak Romli.
"Sudah, pak. Lebih baik berhenti saja. Jangan diteruskan, kalau nggak mau Rani jadi korban" ucap Teguh.

Plaaakkk!! Tangan pak Romli melayang ke kepala Teguh,
"Anak kecil tahu apa kamu? Jangan sok!" teriak pak Romli dengan keras.
"Le, sudah malam. Sudah tidur saja" tutur bu Tanti menenangkan Teguh sembari mengelus kepalanya. Teguh masuk kamar dengan terpaksa, ia tak bisa berbuat apa-apa untuk melindungi Rani.

Keesokan harinya Rani sudah terlihat segar dan ceria kembali. Dia membantu ibunya memasak di dapur.

"Ran, gimana? Kamu udah enakan?" seloroh Teguh yang tiba-tiba muncul.
Rani menoleh ke kakaknya lalu berkata, "Ya sudah biasa mas, setiap selesai menari badanku capek semua" jawab Rani.

Rupanya Rani sama sekali tak mengingat kejadian saat dia kesurupan. Bu Tanti nmemberi kode ke Teguh agar berhenti membahas kejadian semalam dengan menggelengkan kepala.

"Ran, aku perhatikan kamu sekarang nggak pernah sholat ya?" tanya Teguh kepada adiknya.
"Entahlah, aku malas mas. Setiap aku ambil wudhu, kulitku jadi panas. Kalau kupaksa sholat semakin jadi panasnya" jelas Rani.
"Sholat nggak sholat bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri" sela pak Romli yang entah sejak kapan datang.

Teguh malas berdebat dengan bapaknya, akhirnya ia pamit dan pergi untuk mencari ikan. Dalam perjalanan, Teguh masih memikirkan adiknya itu, ia punya firasat buruk soal adiknya.

Beberapa bulan kemudian...

"Tempat apa ini, pak?" tanya Rani. Disana ada sebuah pendopo. Meskipun hari masih siang, disana terasa gelap. Entah karena pepohonan yang lebat dan menghalangi sinar matahari, atau memang tempat ini memiliki aura gelap.

Pak Romli meminta Rani untuk duduk bersila menghadap ke sebuah arca yang dibalut kain merah. Meskipun ia berada di luar ruangan, tapi Rani merasa hawa pengap. Seolah angin pun tak berhembus disana.

"Kamu ingin disukai banyak orang, kan? Tarianmu lebih bagus dan Sering diundang?" tanya pak Romli kepada Rani. Rani tersenyum sumringah dan mengangguk dengan semangat.
"Bertapalah disini, jangan menghiraukan suara atau apapun yang mengganggumu" lanjut pak Romli.
"Sampai kapan, pak?"
"Sampai aku datang"
Rani memulai ritual bertapa sambil membaca mantra yang diberikan bapaknya.

Sesaat kemudian mulai terdengar suara yang memanggil-manggil namanya. Kadang ada suara orang berlari-lari di sekitar pendopo dan suara tertawa meneyramkan yang sama sekali tak ia pedulikan.

Tiba-tiba ada hantaman keras di sisi kanan tubuhnya. Dia hampir saja membuka mata karena kaget, tapi ia urungkan karena ingat pesan bapaknya.

Saat bertapa, Rani melihat sebuah cuplikan dalam pikirannya. Ia melihat seorang wanita muda yang sangat cantik, menggunakan riasan dan aksesoris khas keraton kerajaan. Tak lupa mahkota emas bersematkan berlian hijau yang menghias kepalanya.

"Kamu mau aku menjagamu? Aku bisa menjaga kamu dari orang yang jahat" tutur si wanita cantik itu dengan senyum lembut di bibirnya. Tak butuh waktu lama, Rani langsung menganggukkan kepala tanda setuju.

"Baiklah! Mulai sekarang aku adalah milikmu, begitu juga sebaliknya. Aku akan selalu membantumu dan mempermudah jalanmu, anakku" lanjut si wanita itu.

"Kamu siapa?" tanya Rani,
"Aku? Aku adalah dirimu" jawabnya.

Rani merasa tubuhnya berat, dingin, dan kaku tak bisa digerakkan. Ia mencoba menggerakkan jari-jemarinya tapi juga tak bisa.

"Nduk..." Rani mengenal suara tersebut, iya itu bapaknya. Rani hendak mengakhiri pertapaannya. Ia membuka mata dan mencari dimana bapaknya. Kosong, sepi tanpa ada seorang pun disana. Hanya gelapnya hutan tempat ia di pendopo seorang diri.

Tidak. Dia tak sendirian. Ada makhluk "lain" disana, terlihat seperti kuda tapi bukan kuda biasa. Kepalanya manusia, tapi badannya seperti kuda. Tiba-tiba siluman itu menghantam wajah Rani dengan keras. Siluman itu tak sendiri, di belakangnya juga banyak makhluk mengerikan.

Rani berlari dengan cepat, berusaha menghindari siluman-siluman tersebut. Kakinya berkali-kali menginjak ranting-ranting kering pepohonan. Keringatnya yang mengucur deras dan nafasnya terengah-engah tak ia hiraukan. Dalam pikirannya hanya bagaimana cara lari dari pasukan siluman itu.

Brukkkk...! Rani jatuh tersungkur ke tanah dengan darah segar mengalir di hidungnya. Para siluman itu mendekat.

"Mau apa kalian?" Siluman itu tak menjawab. Hanya suara ringkikan dari pasukan ini, lalu tiba-tiba...
Duaarr...!! Terdengar suara ledakan keras dan para siluman itu berhamburan.

"Berani sekali kamu makhluk rendahan?!" ancam seorang wanita yang tiba-tiba muncul di dekat Rani. Ia mengibaskan selendangnya ke arah pasukan siluman itu lalu mereka tersungkur ke tanah. Ada yang kemudian menghilang, ada juga yang lari terbirit-birit.

"Kamu lihat? Aku bisa mengalahkan mereka dengan mudah, bukan?" Rani terkagum melihat kehebatan wanita cantik itu.
"Tapamu belum sempurna tapi kamu sudah membuka mata, itu resikonya kalau kamu bodoh" lanjutnya sebelum sosok itu menghilang.
"Aku tidak bodoh! Tadi aku mendengar suara bapakku, dia bilang tapaku selesai kalau bapak datang" protes Rani geram, ia tak terima dihina.

"Nduk, ngapain kamu disitu?" teriak pak Romli dari kejauhan.
"Bapak kan sudah bilang jangan..."
"Iya, iya pak.. Aku tahu aku salah, tapi jangan menghina aku. Aku tidak bodoh" jawab Rani kesal.

Pak Romli hanya menggaruk kepala bingung. Kenapa malah Rani yang marah? seharusnya dia-lah yang marah.
"Sudah, ayo pulang. Ceritanya di rumah saja"

-----

Setahun berlalu sejak Rani bertapa. Kini sanggar tari pak Romli semakin sering mendapat undangan. Jika biasanya dalam sebulan hanya 2-3 kali, kali ini bisa sampai 8-10 kali.

Tarifnya pun mulai dipatok tinggi. Tak hanya di daerahnya saja, warga luar kota pun sudah banyak yang mendengar kehebatan pertunjukan tari dari sanggar pak Romli.

Pak Romli pun sering kedatangan tamu penting dari luar kota. Dari yang sekedar ingin bertemu sang penari, ingin menjalin kerjasama, hingga ada yang mencoba melamar.

"Nduk, alhamdulillah kamu sekarang sudah jadi penari hebat" kata bu Tanti sembari membelai pipi putrinya itu,
"Tapi nduk, kalau capek bilang bapakmu ya? Kesehatanmu lebih penting" lanjut bu tanti.
"Aku nggak capek, aku malah senang bu. Ini kan cita-citaku, ekonomi kita juga membaik" jawab Rani ketus.
"Ya sudah, sekarang sholat dulu ya sebelum tidur" pinta bu tanti. "Grrrr...! Keluar! Jangan dekati anak ini! Kalau mau sholat ya sholat saja sendiri!" bentak Rani dengan suara menggeram.

Rani menarik tangan ibunya agar keluar kamar. Bu Tanti menangis karena putrinya kini telah berubah. Ia yakin itu bukan lagi putrinya, itu orang lain.

Tangisan bu Tanti terdengar oleh Teguh, "Bu, kenapa menangis? Apa Rani kurang ajar lagi?" tanya Teguh,
Sebenarnya Teguh juga merasa kalau adiknya telah berubah, "Nggak bisa dibiarkan ini"

Teguh geram lalu menuju kamar Rani tapi ditahan oleh ibunya. Ibunya menggelengkan kepala, tapi Teguh tetap menggedor pintu kamar Rani.

"Keluar kamu! Anak durhaka kamu itu, Ran!" teriak Teguh.

Rani tak menghiraukan, namun Teguh tetap menggebrak pintu. Ia tak terima ibunya diperlakukan buruk oleh adiknya, bukan... oleh iblis itu.

Bruuuaaakk...! Teguh berhasil mendobrak pintu kamar Rani. Kosong, tak ada siapapun disana.
Tiba-tiba ia mendengar suara tawa cekikan, "Hihihii.. Anak masih bau kencur mau melawan aku? Kesini le!" ejek Rani dengan suara parau dan serak.

Bu Tanti dan Teguh tercengang kaget melihat Rani yang menempel di tembok seperti cicak. Rani disana dengan posisi merangkak lalu merayap ke atap dengan sangat cepat.

"Jangan ikut campur kalau tidak mau adikmu mati!" ujar iblis itu.
"Iblis jahanam kamu! Keluar! Kamu tak pantas di dunia, tempatmu seharusnya di neraka" bentak Teguh.

Rani yang kesurupan tertawa semakin kencang dan mulai turun hendak mencekik leher Teguh dan bu tanti, tiba-tiba...

"Sudah, berhenti. Maafkan anak dan istriku yang tidak tahu apa-apa" ucap pak Romli sembari menjambak rambut Teguh dan bu Tanti. Dia menyeret mereka berdua keluar dari kamar Rani.

Pak Romli menutup pintu kamar Rani dan menatap bu Tanti lalu Teguh secara bergantian, "Tugasmu memasak dan mengurus rumah! Lalu tugasmu cari rumput untuk pakan ternak dan menangkap ikan! Selebihnya apalagi urusan Rani jangan ikut campur! Aku nggak mau rencanaku hancur gara-gara kalian" bentak pak Romli.

"Tapi aku khawatir dengan Rani, pak" jawab bu Tanti dengan terbata-bata karena isak tangisnya yang tak bisa ditahan,
"Rani aman kalau kamu dan anakmu ini tidak mendekati Rani" sahut pak Romli.

Malam itu Teguh tak bisa tidur, ia masih memikirkan adiknya. Ia harus segera mengeluarkan Rani dari jeratan iblis itu, sampai Teguh teringat kakeknya.

Tok.. tok.. tok..
"Assalamualaikum, mbaah" pagi ini Teguh ke rumah kakeknya untuk meminta tolong.
"Wa'alaikumsalam" sahut mbah Ragil,
"Loh Teguh, Ada apa le jauh-jauh kesini? Dengan siapa? Ibumu mana?" berondong mbah Ragil dengan banyak pertanyaan.
"Mbah, tolong adikku Rani"

Mbah Ragil mengernyitkan dahi. Ia menarik nafas panjang lalu menghembuskan pelan.
"Coba kulihat dari sini" ucap mbah Ragil sembari menutup matanya.

Mbah Ragil duduk bersila dengan tangannya di atas paha. Ia hanya menggelengkan kepala lalu membuka mata.
"Sudah dalam, le. Sukma adikmu sudah dibawa. Adikmu sendiri yang memberi izin" tutur mbah Ragil,
"Iblis laknat" teriak Teguh geram.
"Aku bisa saja mengeluarkan iblis itu. Tapi aku tidak bisa mengembalikan sukma adikmu. Sudah lebih sembilan bulan adikmu dibawa. Pilihannya dua: jika tidak gila, ya kosong seperti mayat hidup" jelas mbah Ragil.

"Jangan bosan membaca Al Qur'an, agar iblis itu tidak betah dan tidak membuat perjanjian lain dengan bapakmu" lanjut mbah Ragil.
"Perjanjian?" Teguh mengulang, mbah Ragil mengangguk dan memintanya pulang untuk selalu mengawasi adiknya,
"Jaga ibumu, besarkan hatinya agar kuat" pesan mbah Ragil sembari menepuk bahu Teguh.

Teguh mengangguk lalu pamit menyalami mbah Ragil,
"Terima kasih, mbah. Saya pamit. Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam hati-hati" jawab mbah Ragil dengan anggukan.

Sepulang dari rumah mbah Ragil, Teguh melakukan apa yang mbah Ragil sarankan. Setiap subuh dan sebelum tidur ia mengaji, melantukan ayat-ayat suci Al Qur'an dan selalu berdoa kepada sang pencipta.

Tapi iblis itu tak ada takutnya sama sekali, dia malah meledek "Mengajilah terus, aku tak takut! Malah ibumu sekarang yang aku incar" ledek Rani.

Memang bu Tanti sudah seminggu ini sakit. Beliau hanya bisa berbaring di ranjangnya karena lemas. Badannya demam dan mengginggil. Teguh setiap hari merawat dan melayani bu Tanti dengan sabar.

"Romli...!!" terdengar suara teriakan dari luar rumah. Teguh tak menghiraukan. Biar bapaknya yang menangani, toh dia sudah tidak boleh ikut campur.

Teguh hanya melihat dari jendela di kamar ibunya. Terlihat lelaki berusia sekitar 50 tahun dengan wajah yang merah padam seperti sedang marah. Lelaki berkumis tipis, memakai beskap dan celana hitam. Ada blangkon di kepalanya. Dilihat dari caranya berpakaian, sepertinya dia adalah orang berada atau seorang petinggi di kota.

"Keluar kau Romli!" teriak lelaki itu sembari mengeluarkan golok yang terselip di pinggangnya.

Tak lama pak Romli keluar dengan tenang,
"Ada apa pak? Silahkan masuk ke gubug saya".
"Bukan itu maksud kedatanganku! Aku ingin kau dan anakmu bertanggung jawab!" tegas lelaki tersebut.
"Bertanggung jawab seperti apa? Apa aku harus ikut menguburkan anakmu itu?" jawab pak Romli dengan nada tenang.
"Cuihh...! Kurang ajar!! Aku tak sudi tanganmu menyentuh anakku! Nyawa harus dibayar nyawa!" umpatnya.

Teguh mulai penasaran. Apa maksudnya nyawa dibayar nyawa? Apa adik dan bapaknya sudah membunuh seseorang?

Teguh keluar dari kamar ibunya yang masih terkulai lemas di ranjang. Di luar kamar ada Rani yang sedang tersenyum sinis.

"Kalau suka sama aku ya harus berani mati! Hahaha" gumamnya.
"Sudah berapa nyawa yang kamu habisi lewat adikku?" bentak Teguh.

Rani menoleh pelan dan menatap Teguh dengan tajam. Jarinya mulai menghitung,
"baru delapan, mungkin sebentar lagi sembilan atau sepuluh" jawab Rani sambil melirik kamar dimana ibunya tidur.
"Dasar iblis laknat!" Teguh marah, tangannya hendak mencekik Rani.
"Mas... Ini Rani... Huhuhu.." Rani terlihat menangis.

Teguh merasakan adiknya yang dulu telah kembali. Ia langsung melepaskan tangannya dari leher Rani,
"Rani... Adikku...", tiba-tiba...

Bruuggg!! Tubuh Teguh terpental jauh. Rani tertawa puas lalu keluar rumah mendekati bapaknya.
"Habisi saja" bisik Rani.

"Baik! Mari kita lihat, apa yang bisa saya pertanggung jawabkan disini" tantang pak Romli dengan sinis. Pata tetangga berdatangan mengerumuni mereka berdua.

"Silahkan anda mulai duluan" lanjut pak Romli.

Lelaki itu menghampiri pak Romli dan mengarahkan goloknya ke leher, ke kepala, bahkan ke perut. Tapi tak ada satupun yang berhasil melukai pak Romli. Terakhir, goloknya mengarah ke kaki pak Romli. Tiba-tiba golok itu patah, seolah telah menghantam baja.

"Sudah? Sekarang giliran saya" ucap pak Romli.

Sriiinggg... Celurit pak Romli berhasil mengenai tangan kanan lelaki itu. Membuat tangannya putus dan mengeluarkan darah segar.

Terdengar teriakan lelaki itu. Sekali lagi celurit diarahkan ke kaki kirinya, lagi-lagi kaki itu putus. Darahnya mengucur deras diiringi suara teriakan yang lebih keras.

"Aaaaahhhhh..!! Bunuh saja aku! Untuk apa aku hidup jika anakku satu-satunya telah mati!" ucap lelaki itu memelas.

Rani berjalan mendekati bapaknya yang bersiap melayangkan celuritnya ke kepala lelaki itu.
"Cukup, aku lebih senang melihatnya menderita daripada mati dengan mudah. Dia sudah berbuat kurang ajar padaku malam itu" bisik Rani kepada bapaknya.
"Kalian! Singkirkan dia dari hadapanku" perintah pak Romli kepada beberapa orang disana.

Lelaki itu masih mengumpat dengan penuh amarah dan mengadu kesakitan saat dibawa beberapa orang pergi. Sejak kejadian itu, para warga lebih takut dan menjaga jarak dengan keluarga pak Romli.

Keadaan bu Tanti pun semakin memburuk. Pak Romli sama sekali tak peduli padanya. Yang ia pikirkan hanya harta dan harta saja. Hingga puncaknya bu Tanti menghembuskan nafas terakhirnya, pak Romli tidak ikut menguburkan sang istri.

Teguh yang muak dengan sikap ayah dan adiknya lalu memilih pergi dari rumah itu untuk ke tempat kakeknya, mbah Ragil. Disana ia banyak belajar ilmu kebatinan dan semakin mendekatkan diri kepada Tuhan.

Sampai terdengar kabar di telinga Teguh kalau pertunjukan tari bapaknya akan diadakan di desa tempat ia tinggal. Malam itu ia iseng ingin pergi melihat bagaimana penampilan adiknya.

Teguh memang tak pernah melihat adiknya saat tampil di pertunjukan. Ditambah lagi ia sangat rindu pada adiknya meskipun dia bukan benar-benar adiknya. Ia tahu Rani telah pergi, adiknya saat ini digantikan oleh iblis yang jahat.

Namun melihatnya saja sudah cukup untuk mengobati rasa rindu kepada Rani. Mbah Ragil dan Teguh duduk di tengah-tengah penonton. Acara itu sangat ramai. Mulai dari anak-anak hingga orang tua berbondong-bondong melihat pertunjukan tersebut.

Panggungnya megah dengan dominan warna merah,. Para pemain alat musik berjajar rapi di sebelah kanan. Lalu tujuh penari berbaris membentuk pola, termasuk Rani yang berada di tengah bak ratu dengan dayangnya.

"Cantik banget ya Rani. Coba Rani mau jadi istriku" celetuk salah satu pemuda di depan Teguh.
"Wooo.. Mimpii..!" ejek temannya yang diikuti gelak tawa.
Mereka tak tahu jika sosok Rani yang mereka lihat adalah iblis yang sangat jahat.

Pertunjukan tari dimulai. Disana juga terlihat pak Romli di deretan para petinggi dan orang penting. Mereka terlihat bahagia menikmati tarian yang Rani suguhkan.

Gerakannya gemulai, rambutnya melambai kesana-kemari, tangannya yang lentik memegang selendang dengan lunglai. Tak ada yang salah saat Rani berada di atas panggung.

Seusai pertunjukan tari, banyak laki-laki yang mengerumuni Rani. Mereka ingin sekedar berkenalan dan berjabat tangan, namun tak ada yang Rani hiraukan. Sampai seorang lelaki gagah dan tampan menyapa Rani.

"Dek Rani"
Rani melihat ke arah pemuda yang memanggilnya, mereka berdua saling bertatapan. Pemuda itu mengenalkan dirinya,
"Mahesa"