Kisah Misteri: Perjanjian dengan Nyai Ratu (Bag.2)
Mahesa benar-benar terbutakan oleh cintanya pada Rani. Ia takkan menyangka bahwa apa yang diperbuatnya akan membuat perubahan besar pada dirinya dan keluarganya kelak. Di sisi lain, segala tindakan Nyai Ratu sudah di luar batas. Mbah Ragil pun menyiapkan rencana untuk mengatasinya.
Rani tersenyum lalu pergi meninggalkan Mahesa. Mahesa mulai tertarik dan sering mengunjungi Rani di rumahnya. Ia juga sering datang di pertunjukan tari Rani.
"Dik Rani, bisa bicara?" ucap Mahesa dalam suatu kesempatan. Rani mengangguk dan duduk di sebelah Mahesa.
"Dik Rani, kamu tahu kan siapa aku? Aku ingin menikahimu, kamu tak perlu repot-repot menari dari satu panggung ke panggung lainnya. Aku akan memberi apapun yang kamu minta" rayu Mahesa.
Mahesa adalah anak dari keluarga kaya raya. Ayahnya adalah satu-satunya orang yang mempunyai perkebunan kopi terbesar di daerah tersebut. Jadi tak mustahil baginya untuk mengabulkan apapun yang Rani minta.
"Baiklah, aku mau menikah denganmu. Tapi tentunya dengan syarat" ucap Rani.
"Apapun syaratnya aku pasti bisa mengabulkannya" jawab Mahesa yakin.
"Aku menginginkan pusaka yang ada di ruang pribadi ayahmu" pinta Rani.
"Pusaka?" ulang Mahesa.
Rani mengangguk dan melanjutkan, "Pusaka itu dibungkus dengan kain hitam, di sebuah kotak kayu yang berukir".
"Aku beri kamu waktu sampai besok. Jika besok kamu tidak bisa membawa pusaka itu maka..."
Belum selesai Rani berbicara, Mahesa memotong "Beres, aku akan memberikan pusaka itu kepadamu"
Mahesa tak tahu pusaka apa yang diminta Rani meskipun ia heran kenapa Rani bisa tahu dan menginginkan pusaka itu. Yang ia pikirkan hanya bagaimana caranya agar ia dapat mengambil pusaka itu agar Rani mau menikah dengannya.
"Dasar lelaki bodoh" gumam pak Romli yang mendengar percakapan Rani dengan Mahesa.
Rani lalu menyuruh Mahesa segera pulang. Di rumahnya, Mahesa mulai mencari cara agar ia bisa masuk ke ruang khusus ayahnya. Selain karena disana pintunya selalu terkunci, tidak ada yang pernah masuk tanpa seizin ayahnya.
"Siapkan semua yang mau dibawa, jangan sampai ada yang tertinggal" ucap seorang wanita kepada lelaki yang sedang memanggul tas di pundaknya.
"Ada apa ini bu?" Tanya Mahesa kepada wanita itu yang ternyata adalah bu Sapta, ibunya.
"Oh... Ini le, ayah dan ibu besok mau keluar kota untuk beberapa hari. Mau cek tanah yang akan jadi perkebunan kopi kita" jelas ibunya.
Mahesa hanya menganggukan kepala. Ia tak peduli kedua orangtuanya pergi kemana. Yang terpenting adalah bagaimana caranya menyelinap dan mengambil pusaka yang Rani minta.
"Le, kamu bantu pak Toyo mengawasi perkebunan kopi kita yang disini" pinta pak Sapta ayah Mahesa.
"Baik, yah" jawab Mahesa.
Keesokan harinya, Mahesa sudah bersiap untuk melancarkan aksinya. Dia sudah memastikan tak ada orang yang melihatnya. Saat ia membuka pintu itu, benar saja pintunya terkunci. Jika ia nekat mendobrak pintu itu, ayahnya pasti tahu.
Ia juga tak tahu apa ruangan itu ada kunci cadangan, karena kunci ruangan ini selalu ayahnya bawa kemanapun dia pergi.
"Bagaimana, Mahesa?" bisik seorang wanita yang saat Mahesa toleh adalah Rani. Ia kaget bagaimana bisa Rani ada disini.
"Rani..! Kamu kesini? Kamu tahu rumahku?" tanya Mahesa penasaran.
"Tentu, siapa yang tidak tahu rumah juragan kopi?" jawabnya dengan senyuman.
"Apa kamu sudah mengambil pusaka yang kuminta?" lanjutnya.
"Emmmm... Anu, Ran.. Sebentar lagi, kamu tunggu ya? Aku pasti akan mendapatkannya" ucap Mahesa dengan terbata-bata.
"Cepatlah ambil atau aku berubah pikiran" ancamnya dengan nada manja.
"Masalahnya pintunya..." belum selesai Mahesa berbicara, Rani menyela,
"Ssstttt... Bukalah!" potong Rani.
Mahesa menuruti Rani meskipun ia tahu pintu ini tidak bisa dibuka tanpa kunci yang ayahnya bawa.
Ckleekk.. Pintu itu tiba-tiba terbuka dengan mudah. Mahesa menatap Rani dengan wajah heran namun senang. Rani menganggukkan kepala pertanda Mahesa harus melalanjutkan rencananya.
"Ayo masuk, Rani" ajak Mahesa yang hanya dijawab dengan gelengan kepala.
"Baiklah, kamu tunggu disini ya?" pinta Mahesa.
"Semoga berhasil" jawab Rani sembari mengelus pipi Mahesa.
Di ruangan itu terdapat beberapa lemari kuno. Ada dua lemari berukuran besar, sedangkan tiga lainnya berukuran sedang. Semua lemari terbuat dari kayu berukir. Sedangkan di dinding banyak lukisan.
Mahesa memulai mencari kotak yang diminta Rani mulai dari lemari paling depan. Ada banyak keris dan pusaka lainnya, begitu pula lemari kedua hingga lemari ke empat. Saat di lemari terakhir, ia membukanya tapi ternyata terkunci.
Mahesa keluar untuk meminta tolong kepada Rani, mungkin saja keajaiban seperti tadi bisa terulang kembali. Ia menemukan Rani masih di tempatnya berdiri sebelumnya.
"Kenapa? Dikunci?" Mahesa mengangguk dan tersipu malu.
"Sudah. Bukalah! Aku akan menunggumu dirumah" imbuh Rani.
"Sebentar. Setelah aku mengambil pusaka itu, aku akan mengantarmu pulang" jawab Mahesa.
Ia mencoba membuka pintu lemari yang tadi dikunci, dan benar saja pintunya bisa dibuka dengan mudah. Tangannya lalu sibuk mencari dan membuka beberapa kain, mencari kotak yang dimaksud Rani.
Sampai mata Mahesa tertuju pada kain berwarna hitam di pojok atas. Mahesa membukanya. Benar saja, kotak itu berwarna gelap dan ada ukiran di sekelilingnya.
Saat ia membuka kotak tersebut, hawa di ruang itu berubah menjadi dingin. Angin berhembus kencang entah dari mana. Seketika kepala Mahesa menjadi berat dan pandangannya terasa gelap. Kotak itu terasa bergetar di tangan Mahesa.
Ia ketakutan lalu segera menutup kotaknya. Ia segera keluar untuk menghampiri Rani yang menunggunya di depan pintu ruang ini. Di luar, mata Mahesa mencari-cari dimana Rani berada, tapi Rani sudah pergi.
Cekleek... Pintu ruangan itu tiba-tiba tertutup sendiri. Mahesa kaget dan mencoba membuka pintu itu lagi. Terkunci. Iya, pintunya terkunci dengan sendirinya. Namun ia tak terlalu memikirkan hal itu, dengan semangat ia pergi ke rumah Rani.
Tok.. Tok.. Tok..
"Permisi..." Tak berapa lama, pak Romli membuka pintu.
"Ayo masuk, Rani sudah menunggu" ajak pak Romli seakan tahu maksud kedatangan Mahesa.
"Nduuk, Raniii...." panggil pak Romli sembari duduk di samping Mahesa.
Rani keluar mengenakan pakaian berwana merah, membuat Mahesa tercengang melihatnya.
"Terima kasih, mas" ucap Rani sambil duduk di depan Mahesa.
"Jadi mas Mahesa sudah mendapatkan pusaka itu, kan? Dimana?" tanya Rani.
"Sudah, Ran. Ini.." jawab Mahesa sembari mengeluarkan kotak dari karung yang ia bawa.
Ia menyerahkan kotak itu kepada Rani, "Ini milikmu mulai sekarang" lanjutnya. Rani memberi kode kepada pak Romli agar dia yang menerima kotak itu.
"Serahkan pada bapakku, Mahesa" pinta Rani. Mahesa pun menyerahkan kotak pusaka tersebut kepada pak Romli.
Pak Romli membuka kotak itu, di dalamnya ada pusaka seperti kujang berukuran sedang. Seketika itu juga muncul makhluk tinggi besar seperti kera dan berbulu coklat keemasan yang berlutut di depan pak Romli. Tentu saja Mahesa tak bisa melihat makhluk itu.
"Silahkan diminum" ucap pak Romli.
Mahesa melihat sebuah gelas berisi air yang entah sejak kapan ada di hadapannya. Mahesa meminumnya, tapi ia merasa minuman itu rasanya aneh. Baunya anyir seperti darah.
Saat Mahesa melihat lagi, benar saja air yang tadinya jernih telah berubah menjadi darah.
"Hooeeeekkk!! Dd..darr..daraaah!!"
Rani tertawa keras, suaranya yang lembut menjadi serak.
"Mahesa... Mahesa.. Bodoh! Hahahaha" ejek iblis itu kepada Mahesa.
"Kalian membohongiku? Siapa kau sebenarnya Rani?" teriak Mahesa.
"Aku akan memberitahu siapa aku sebenarnya" jawab iblis yang ada di tubuh Rani.
Mata Rani menatap tajam, lalu ia mencengkeram lehernya dan membawa Mahesa ke suatu tempat. Saat Mahesa membuka mata, ia melihat sekelilingnya gelap dan pengap
Saat cahaya obor menyinarinya, tepat di bawah Mahesa ada Rani dan pak Romli yang menatap Mahesa dengan senang. Ternyata Mahesa menempel di langit-langit sebuah gua.
"Iblis bangsat! Cepat turunkan aku dari sini!" teriak Mahesa.
"Kenapa kamu melakukan ini? Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" lanjutnya.
"Hahaha... Kami hanya memanfatkanmu untuk mengambil pusaka itu" jelas Rani.
"Kenapa harus aku? Kenapa tak kamu ambil saja sendiri, dasar makhluk terkutuk!!" geram Mahesa.
"Aku tidak bodoh sepertimu. Pusaka itu tak bisa dipegang sembarang orang. Hanya pemilik dan keturunannya saja-lah yang bisa mengambilnya"
"Kamu pikir aku mau membakar diriku hanya untuk mengambil pusaka itu?" lanjut Rani.
"Untuk apa? Untuk apa kalian menginginkan pusaka itu?" tanya Mahesa penasaran.
"Untuk kekayaan dan kejayaan tentunya" sahut pak Romli.
"Menurutmu ayahmu kaya raya karena apa? Sebentar lagi kehidupanmu dan keluargamu akan hancur" lanjut pak Romli.
"Kalian memang bukan manusia! Kalian iblis terkutuk! Kalian lebih baik mati!" teriak Mahesa tak terima dengan perlakuan mereka.
"Sebelum memikirkan kami, pikirkan dulu nyawamu. Apa kamu bisa bertahan di atas sana? Hahaha" ejek Rani sembari pergi meninggalkan Mahesa.
Benar saja, tak butuh waktu lama usaha Pak Sapta bangkrut. Keluarganya terlilit hutang hingga seluruh harta kekayaannya dijual. Mahesa pun tak diketahui kabarnya karena tak ada orang yang berani masuk ke gua tersebut.
Sementara di rumah mbah Ragil, Teguh sudah mulai melupakan bapak dan adiknya. Kini ia membangun panti asuhan untuk anak yatim dan anak terlantar. Hal ini dia lakukan karena rasa rindunya kepada adiknya, Rani. Dengan cara itu ia merasa mempunyai banyak adik dan saudara.
Pak Romli sendiri sudah punya banyak cabang sanggar tari. Kini ia hanya terima beres tanpa susah-payah turun tangan seperti dahulu. Tanah dan sawah milik pak Romli adadimana-mana, rumahnya pun sudah dibangun sedemikian rupa mewah dan megah.
-----
Dug dug dug... Pyar! Pyarr..! Rani melompat-lompat dan membanting semua perabotan di rumahnya. Pak Romli yang mendengar suara tersebut langsung lari menghampiri Rani.
"Nyai Ratu.. Kenapa? Ada apa ini?" tanya pak Romli kebingungan.
"Kamu... sudah mengingkari janjimu, Romli! Kamu harus mati!" ucap Rani dengan nada tinggi.
Memang akhir-akhir ini pak Romli mulai sadar, ia merasa kesepian tanpa kehadiran anak dan istrinya. Ia terkadang sering melamun, mengenang masa-masa dimana istri dan anaknya tersenyum bahagia meskipun hidup sederhana.
Pak Romli juga mulai beribadah lagi meskipun jarang. Namun semua persyaratan dan sesajen untuk Nyai Ratu mulai terlupakan. Darah segar dari sapi untuk Nyai Ratu sudah jarang ia berikan. Ia tak peduli lagi dengan harta atau kemarahan Nyai Ratu. Bahkan ia ingin segera pergi menyusul istrinya.
"Nyai Ratu, aku sudah tidak menginginkan kekayaan lagi. Bagiku sudah tidak ada artinya semua itu. Untuk apa aku melakukan semua ini jika istri dan anakku pergi? Semua orang sudah kubuat hancur dan mati. Lalu untuk apa?" jelas pak Romli dengan tegas.
"Aku sadar ini semua karenamu. Karena bujuk rayuanmu, dan karena bersekutu denganmu-lah aku menjadi seperti saat ini" lanjut pak Romli.
"Dasar manusia tidak tahu terima kasih! Tidak tahu diri kau, Romli!" tandas Nyai Ratu. Iblis yang selama ini ada dalam tubuh Rani memang Nyai Ratu, pak Romli mendapatkannya dari sebuah gunung saat ia bertapa dahulu.
Gubraakkk... Nyai Ratu melempar tubuh pak Romli sehingga hidungnya mengeluarkan darah. Nyai Ratu terus menyerang pak Romli tanpa ampun. Ia mencekik leher pak Romli dan mengangkatnya setinggi lima meter. Nyai Ratu melayang sembari tertawa dengan keras.
Seolah belum puas, ia menghantamkan badan pak Romli ke pohon. Tiba-tiba...
"Berhenti kamu, iblis!!" teriak Teguh dari kejauhan.
Nyai Ratu melempar pak Romli ke arahnya. Teguh berlari menghampiri bapaknya,
"Pak..." kata Teguh lirih.
"Aku banyak salahnya. Maafkan bapakmu le sudah membuat hidupmu susah" iba pak Romli kepada Teguh.
Teguh hanya bisa menangis, "Sudah aku maafkan, pak. Aku tadi punya firasat buruk, makanya aku kesini. Ternyata malah jadi seperti ini" sesalnya.
"Akhiri ini semua, le. Ambil selendang hijau di kamar Rani. Bakarlah dengan menyebut nama Allah tujuh kali" pintanya.
Teguh lalu bergegas masuk ke dalam rumah dan ke kamar Rani, sebelum ia dihadang Nyai Ratu dan mencekik leher Teguh.
"Iblis keparat, lepaskan! Aaahhhh..." Teguh tak bisa melepaskan cengkraman Nyai Ratu. Ia berusaha berdoa dan membacakan ayat-ayat suci. Sampai...
Buugghh...! Tubuh Nyai Ratu terpental terkena serangan dari mbah Ragil, ternyata ia pergi mengikuti Teguh.
"Pergilah! Biar dia aku yang urus" perintah mbah Ragil.
Teguh segera mencari selendang yang dimaksud bapaknya. Hingga ia menemukan selendang itu tergantung di sebelah lemari. Setelah itu Teguh berlari ke dapur mencari korek.
Ia berdoa dengan menyebut Asma Allah sebanyak-banyaknya sampai tak sempat menghitung. Dan... 'buusshh' selendang itu terbakar diiringi suara teriakan Nyai Ratu.
Teguh berjalan keluar menghampiri mbah Ragil dan bapaknya. Ia masih memegang selendang yang masih terbakar di tangannya.
"Kurang ajar kamu, anak bangsat! Ingatlah, aku pasti akan kembali untuk menghancurkan hidupmu lewat anakmu! Haahhh.. Panaasss...!!" teriak Nyai Ratu.
Teriakan itu disusul dengan tubuh Rani yang terkulai lemas, begitu pula dengan tubuh pak Romli. Malam itu begitu sunyi, tak ada suara binatang malam. Angin pun seolah enggan untuk menyapa.
Keesokan harinya diadakan pemakaman untuk pak Romli dan Rani. Teguh mewakili bapak dan adiknya memohon maaf agar mereka berdua bisa pergi dengan tenang dan dipermudah jalannya.
Teguh pun sudah ikhlas. Bersama mbah Ragil, ia kembali ke rumahnya. Tapi mereka salah, perjanjian itu belum berakhir. Perjalanan Nyai Ratu untuk mengobrak-abrik kehidupan keluarga Teguh belum selesai.
-------
Akhir dari flashback
-------
Mbah Ragil mengusap wajah, tangan, dan kaki Nina dengan air yang sudah dibacakan doa. "Sudah aku coba netralisir agar iblis itu tidak kurang ajar, tidak bisa macam-macam"
Pak Teguh memandangi wajah putrinya itu dengan iba, "Seandainya aku tidak bawa Nina kesana, pasti ini tidak akan terjadi" sesal pak Teguh.
"Empat bulan lalu aku bawa istriku dan Nina ke rumah bapak. Tujuannya hanya ingin memperkenalkan Nina dengan kampung halamanku, mbah" jelas pak Teguh.
"Lah kok iblis itu ikut, padahal dulu sudah dibakar. Aku anggap iblis itu sudah tidak ada, mbah" lanjutnya.
"Perjanjiannya belum selesai" kata mbah Ragil.
"Perjanjian?" ulang pak Teguh.
Mbah Ragil mengangguk pelan, "Tapi hanya bapakmu, iblis itu, dan Tuhan yang tahu isi perjanjiannya" lanjut mbah Ragil.
"Eemmmm..." tiba-tiba Nina tersadar.
"Pak, ayo pulang. Aku takut disini" rengek Nina.
"Menginap di rumah kakung saja ya nduk?" pinta mbah Ragil.
"Eh, nduk. Bapak lupa. Ini mbah Ragil, kakungmu" jelas pak Teguh.
Nina menyalami dan mencium tangan kakungnya lalu tersenyum.
"Sudah, ayo ke rumahku" perintah mbah Ragil.
Setelah sampai di rumah mbah Ragil, mereka beristirahat.
Keesokan harinya, Nina duduk di teras rumah kakungnya. Ia merasa desa ini sangat asri, tenang, dan nyaman. Terlihat di depan rumah penuh dengan tumbuhan berwarna-warni. Ada bunga mawar, kamboja, dan kaktus berjajar rapi.
Orang yang berlalu lalang pun menyapa dengan ramah. Angin semilir dari pepohonan menambah rasa betah di benak Nina. Itu berbeda jauh dengan rumahnya sekarang yang berada di tengah kota. Bangunannya saling berhimpitan, penuh kendaraan, dan banyak polusi.
"Betah nduk disini?" sahut mbah Ragil membuyarkan lamunan Nina sore itu. Nina mengangguk dan terseyum. Ia masih canggung dengan kakungnya, karena memang baru di umur 20 tahun ini ia bertemu dengannya.
Memang setelah kematian adik dan bapaknya dahulu, Teguh memutuskan pergi merantau ke kota agar masa lalunya bisa ia lupakan. Tapi kembalinya dia ke desa malah membuatnya kembali merasakan pahit masa lalu terulang kembali.
"Nduk, tahu siapa kemarin?" tanya mbah Ragil, Nina menoleh ke kakungnya dan mengingat kejadian semalam.
"Orang cantik itu? Apa yang jelek, kung?" tanya Nina polos.
"Hahaha.. Nduk.. nduk.. Itu Nyai Ratu, orang yang sama. Jika marah jadi jelek wujudnya" jelas mbah Ragil.
"Nyai Ratu?" ulang Nina.
Mbah Ragil menggeleng kemudian berdiri,
"Bukan manusia, tapi iblis. Dia dipanggil Nyai Ratu"
"Apa dia yang datang ke mimpiku waktu itu?" ucap Nina lirih namun masih terdengar oleh mbah Ragil.
"Apa nduk? Sebelumnya kamu sudah ketemu? Bagaimana ceritanya?" tanya mbah Ragil kaget.
Nina mengangguk, matanya menatap pelataran rumah dan mengingat kejadian waktu itu.
"Waktu itu Nina mimpi, disana aku datang ke sebuah rumah yang di sampingnya ada sungai. Aku main di sungai yang airnya jernih itu. Tiba-tiba tanganku menyentuh sesuatu, dan aku lihat itu adalah sebuah selendang..." jelas Nina.
"Selendang? Warna apa nduk?" tanya pak Teguh yang tiba-tiba datang.
"Warna hijau dengan payet emas di ujung kanan dan kiri. Aku ambil, lalu ada wanita cantik yang kemarin mengelus rambutku. Dia tersenyum lalu ngomong..."
"Ngomong apa nduk? Kamu jawab apa?" potong mbah Ragil.
Mbah Ragil menatap pak Teguh dengan cemas,
"Ia bertanya apa aku mau dijaga olehnya? Lalu aku menganggukkan kepala. Aku merasa dia seperti ibu, pak" jawab Nina.
Pak Teguh dan mbah Ragil memeluk Nina bersamaan sambil menangis terisak. Mereka takut hal yang menimpa Rani juga akan terjadi pada Nina.
"Ayo berangkat! Iblis ini harus dimusnahkan. Jangan sampai sukmanya Nina dibawa seperti Rani dulu" tegas mbah Ragil.
"Kemana mbah?" tanya pak Teguh.
"Ke Gus Wildan" jawab mbah Ragil.
"Nduk, perbanyak dzikir ya? Pasrahkan semua kepada yang Maha Kuasa" pinta pak Teguh kepada Nina.
Perjalanan ini akan sangat panjang. Nina sama sekali tak menyangka semua akan jadi seperti ini.
Di perjalanan, Nina banyak diam. Jalanan naik-turun, pepohonan yang berdempetan menambah kesan asri khas suasana pegunungan. Mereka sengaja berangkat pagi agar sampai disana saat menjelang sore.
Gledugg..! Suaranya seperti ban mobil melindas sesuatu. Pak Teguh tak menghiraukan, mungkin hanya bebatuan di jalan, pikirnya.
GLEDUGG..!! Suara yang kedua lebih kencang, mobil terasa seperti melindas batu. Aneh, padahal ia tak melihat ada lubang atau batu di jalanan mulus ini.
Nina sudah mulai tertidur karena memang perjalanan panjang, tiba-tiba... GLEDUGG...!!! Suara itu lagi. Pak Teguh memperlambat laju mobilnya.
Ia merasa hawa di dalam mobil tidak enak. Awalnya ia ingin membangunkan mbah Ragil yang sedang memejamkan mata, namun tidak jadi.
Pak Teguh menghentikan mobil dan hendak membuka pintunya,
"Jangan dibuka" ucap mbah Ragil. Ternyata mbah Ragil sudah bangun.
"Kamu kira aku dari tadi tidur, le?" lanjut mbah Ragil.
"Mbah, hawanya tidak enak. Aku tadi merasa..."
"Sssstt..!" potong mbah Ragil.
"Ayo jalan" lanjutnya.
Dua jam kemudian mereka telah sampai tujuan. Itu adalah pesantren Gus Wildan. Mereka melakukan sholat berjamah lalu dipersilahkan masuk ke bangunan utama.
"Mbah Ragil ya? Sudah ditunggu Gus Wildan di dalam" ucap salah seorang santri.
Ya, Nina dibawa ke pesantren Gus Wildan. Hawa disana sangat sejuk dan nyaman, jauh dari aura negatif. Bangunan besar itu dikelilingi oleh dua danau. Satu berukuran kecil dan yang satu lebih besar.
Suasana disini jauh berbeda dengan suasana hutan tempat gubuk tua yang kemarin ia datangi. Meskipun sama-sama hutan dan jauh dari keramaian kota, di dalamnya terdapat satu masjid besar, kamar santri, ruang kelas, kantor, kantin, dan perpustakaan yang mengelilingi lapangan di tengahnya.
Sedangkan di belakang terdapat bangunan utama, sebelah kanan ruang Gus Wildan, dan sebelah kiri aula besar tempat santri berkumpul.
"Assalamualaikum" ucap mereka bertiga bersamaan,
"Wa'alaikumsalam" jawab suara laki-laki.
Terlihat seorang laki-laki yang berbaju dan bersorban putih sedang duduk bersila dengan dua orang santri di depannya. Lelaki itu mengangguk lalu dua santri itu pergi dengan mencium tangan lelaki di depannya.
"Masuklah, kawanku" sambut ramah lelaki tersebut. Mbah Ragil mempersilahkan pak Teguh dan Nina masuk terlebih dahulu lalu duduk di tempat dimana dua santri tadi duduk.
"Bagaimana kabarnya, Gus?" tanya mbah Ragil.
"Alhamdulillah, baik. Mas Ragil bagaimana?"
Tenyata lelaki itu Gus Wildan. Gus Wildan adalah pengurus sekaligus pemilik pesantren ini. Usianya tak lagi muda, namun terlihat masih sehat dan bugar. Wajahnya teduh, rambut dan jenggotnya yang putih memberi kesan bahwa beliau bukan orang sembarangan.
"Ayo pulang! Aku nggak suka disini!" bentak Nina yang tiba-tiba berteriak. Itu membuat para santri yang ada di luar penasaran dan melihat ke arah jendela.
Gus Wildan mengangguk-angguk lalu melihat mbah Ragil dan pak Teguh bergantian seolah ingin meminta izin untuk menangani iblis ini. Keduanya pun mengangguk pertanda setuju.
Gus Wildan mengurut tasbihnya sembari membaca doa. Beliau kemudian mengalungkan tasbih itu ke Nina dan menekan keningnya. Saat itu juga Nina jatuh tak sadarkan diri. Ia segera dibopong dua orang wanita pengurus pesantren ke kamar tamu.
"Tenang saja, Insya Allah Nina sudah aman sementara ini. Tadi bagaimana perjalanan kesini? Ada halangan?" ucap gus Wildan menenangkan.
"Ada sedikit halangan, gus. Alhamdulillah selamat lancar sampai tujuan" jawab mbah Ragil dengan senyum.
"Mbah, tadi di perjalanan ada apa sebenarnya?" tanya pak Teguh.
"Waktu di jalanan hutan tadi kita dihadang oleh siluman peliharaan Nyai Ratu" jelas mbah Ragil.
"Siluman, mbah?" ulang pak Teguh.
Mbah Ragil mengangguk,
"Mobilmu tadi jeglak-jegluk seperti melindas sesuatu, kan? Itu adalah siluman yang kamu tabrak. Siluman itu ingin menganggu kita"
jelas mbah Ragil.
"Lalu kenapa tadi tidak boleh buka pintu mobil, mbah?" tanya pak Teguh penasaran.
"Kamu kira aku tadi memejamkan mata itu tidur? Aku menghalangi dan memberi pagar mobil itu lalu mau kamu buka biar siluman itu masuk? Terus anakmu dibawa gimana?" tanya mbah Ragil kepada pak Teguh.
"Hehe... Iya, maaf mbah. Saya tidak tahu) jawab pak Teguh tersipu malu.
"Alhamdulillah. Berarti Allah masih melindungi kita semua. Lalu kedatangan mas Ragil kesini ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya gus Wildan.
Mbah Ragil menceritakan awal mula semua ini terjadi. Gus Wildan mengangguk pertanda sudah mengerti.
"Baiklah kalau begitu. Sebentar lagi mau maghrib. Kita sholat berjamaah bersama lalu istirahat. Mari!" ajak gus Wildan kepada mereka berdua.
"Mas Ragil jangan khawatir,insya Allah nanti malam saya akan mencari petunjuk untuk menangani iblis itu. Semoga Allah segera memberi kita petunjuk" imbuh gus Wildan.
"Terima kasih, gus. Jika ada yang perlu saya bantu tolong libatkan saya" pinta mbah Ragil.
Gus Wildan mengangguk tersenyum sembari mengelus bahu pak Teguh dan mbah Ragil. Mereka berdua diantar ke kamar tamu oleh petugas pesantren.
Keesokan harinya mbah Ragil, pak Teguh, Gus Wildan, dan beberapa santri menemui Nina. Nina sudah mulai tenang, namun hanya diam saat ditanya. Ia bahkan belum makan dari kemarin.
"Saya akan coba melindungi sukma Nina agar tidak dibawa oleh iblis itu. Disini ada dua gerbang. Pertama gerbang untuk masuk ke dunia kita, lalu yang kedua gerbang untuk masuk ke dunia mereka"
"Nina ada di tengah antara gerbang dunia kita dengan gerbang dunia mereka. Disini-lah saya bisa menahan agar sukma Nina tidak masuk ke gerbang mereka. Tapi saya belum bisa membawanya kembali ke gerbang dunia kita karena dijaga siluman tersebut"
"Siluman itu tidak hanya satu, tapi ada tujuh. Bukan karena saya tidak bisa mengalahkan mereka, tapi gerbang dari dunia kita yang tidak bisa dibuka. Akibatnya, Nina disana tidak bisa melihat gerbang ini karena dihalangi dan dikunci."
"Kunci inilah yang belum saya tau cara membukanya, semalam saya sudah mencari petunjuk pun belum dapat jawaban, hanya samar-samar saja" terang gus Wildan panjang lebar.
Pak Teguh terlihat sedih. Ia sangat takut nasib Nina akan sama seperti Rani. Ia mengelus-elus kepala Nina, tak terasa air matanya menetes.
"Hilangkan pikiran jelekmu itu" pinta mbah Ragil.
"Insya Allah nanti malam kita akan mengadakan pengajian bersama. Kita bershalawat serta bermunajad kepada Allah. Tolong siapkan untuk nanti malam ya" perintah gus Wildan kepada santrinya.
"Baik, gus" jawab salah satu santri.
Tujuh hari berlalu dengan tiap malam d adakan pengajian rutin. Namun kondisi Nina masih sama seperti sebelumnya, hanya diam saja. Untuk makan pun tak bisa, terpaksa Nina di-infus agar kondisinya tetap stabil dan tidak jatuh sakit.
"Alhamdulillah, kita dapat jawabannya, mas Ragil, dik Teguh" tutur gus Wildan dengan semangat.
Mbah Ragil dan pak Teguh pun terlihat sumringah dan penasaran bagaimana caranya untuk memusnahkan iblis tersebut.
"Semalam setelah kita mengadakan pengajian, saya seperti biasa sholat tobat, sholat hajat, dan sholat tahajud. Lalu saya pasrahkan kepada Allah, di mimpi itu saya melihat 7 sumber mata air yang berbeda dan 7 masjid yang berbeda pula" imbuhnya.
"Jadi maksud gus Wildan, kita harus mencari 7 masjid dan mengumpulkan 7 air dari masjid tersebut?" tanya mbah Ragil.
Gus Wildan mengangguk mantap.
"Lalu untuk apa air dari 7 masjid itu, gus?" sela pak Teguh.
Gus Wildan hanya tersenyum, "Dik Teguh nanti juga tahu".
Pak Teguh, mbah Ragil, dan tiga orang santri yang bernama Khaliq, Musa, dan Mirza yang akan pergi. Gus Wildan sendiri tidak mungkin ikut karena harus mengurus pesantren dan terutama menjaga Nina.
Pencarian ini tidak mudah karena bukan sembarang masjid yang dituju. Masjid tersebut harus dibangun di atas tanah waqaf.
Tujuan pertama adalah masjid terdekat. Rombongan mbah Ragil yang hendak sholat dhuhur menjumpai pengurus masjid (marbot) pertama.
"Assalamualaikum" ucap Khaliq kepada seorang bapak yang sedang membersihkan karpet.
"Wa'alaikumsalam" jawab bapak tersebut sembari menatap rombongan satu-persatu.
"Aada yang bisa saya bantu?" imbuhnya.
Setelah mbah Ragil menjelaskan tujuannya, marbot pun menjelaskan bahwa masjid ini bukan dibangun di tanah waqaf, melainkan dari tanah yang warga beli. Setelah mendapat jawaban tersebut, rombongan mbah Ragil pamit untuk melanjutkan perjalanannya.
Perjalanan ke masjid kedua agak jauh karena mereka harus keluar dari gunung. Mereka memutuskan untuk pergi ke kota karena disana pasti banyak masjid.
Perjalanan memakan waktu 4 jam untuk ke kota. Saat adzan maghrib berkumandang, banyak orang yang bertamu kerumah Allah ini. Setelah melaksanakan sholat magrib dan dirasa cukup sepi, Khaliq bertanya kepada pengurus masjid.
"Assalamualaikum, pak saya ingin bertemu dengan marbot masjid disini" sapa Khaliq dengan sopan.
"Oh.. Wa'alaikumsalam. Boleh, dik. Tapi tunggu sebentar karena tadi pak marbot sedang keluar membeli lampu" jawab seorang pria sembari menunjuk lampu samping masjid yang mati dan memang harus diganti.
"Baik pak, terima kasih" ucap Khaliq. Mereka menunggu marbot masjid kembali.
Tak berapa lama marbot pun datang. "Assalamualaikum. Apa benar bapak-bapak sekalian mencari saya?" sapa marbot tersebut.
Mereka serempak menjawab salam dan mbah Ragil menjelaskan tujuan mereka datang.
"Benar, pak. Ini adalah masjid yang dibangun di atas tanah waqaf. Kalau memang tujuan saudara baik, silahkan dengan senang hati kami mengizinkan" jelas pak marbot.
"Alhamdulillah. Terima kasih banyak pak, semoga Allah membalas kebaikan saudara sekalian" ucap mbah Ragil yang di susul anggukan pak Teguh dan para santri.
Para santri lalu membantu pak Teguh mengambil air. Mereka menaruh air dari masjid ke wadah yang sudah gus Wildan persiapkan. Wadah itu berupa bambu besar sepanjang satu meter dan terdapat tutup di ujungnya.
Setelah sholat isya berjamaah, rombongan pamit hendak melanjutkan perjalanan.
"Daripada bermalam di jalan dan tidur di mobil, apa tidak sebaiknya saudara-saudara istirahat disini? Kebetulan di belakang masjid ada beberapa bilik yang memang ditujukan untuk para musafir seperti kalian" tawar marbot.
"Alhamdulillah. Jika memang bapak berkenan, dengan senang hati kami terima tawaran bapak" jawab mbah Ragil dengan sopan.
"Jelas, pak. Saya sama sekali tidak keberatan untuk menolong saudara seiman, saya juga tidak merasa sedang direpoti" terangnya.
Malam itu semua rombongan istirahat dalam bilik yang ada di belakang masjid ini. Mereka bersyukur tidak bermalam di mobil dan bergantian menyetir.