Kisah Misteri: Perjanjian dengan Nyai Ratu (Bag.3)
Perjalanan rombongan mbah Ragil untuk mencari 7 air dari 7 masjid yang berbeda tidak semuanya berjalan lancar. Untuk mendapatkan air dari masjid terakhir, mereka mengalami gangguan dari para pengikut Nyai Ratu. Namun apa yang telah mereka lalui akan segera terbayar.
Malam itu mereka gunakan untuk istirahat karena masih ada 6 masjid bahkan lebih yang menunggu mereka datangi.
Setelah sholat subuh, rombongan pamit untuk melanjutkan perjalanan. Pak marbot berpesan untuk berjalan ke arah selatan, disana ada masjid yang katanya dibangun di atas tanah waqaf.
"Kami sangat berterima kasih kepada bapak karena sudah banyak membantu kami" ucap pak Teguh.
"Sama-sama pak" jawab marbot dengan senyum sembari menyalami mereka satu-persatu
Singkat cerita, mereka sudah mendapatkan 6 sumber air masjid yang berbeda setelah hampir seminggu mencari. Masjid yang didatangi ada belasan masjid, namun masjid yang dibangun di atas tanah waqaf hanya ada 6 kala itu.
Perjalanan ke 6 masjid itu pun lancar, selain masjid ke tujuh (terakhir). Mesjid itu ada di sebuah desa terpencil.
Jam menunjukkan pukul 19.20 saat rombongan mbah Ragil melewati sebuah jembatan sebelum masuk ke desa tersebut.
"Aaaaah...!" teriak santri Mirza.
"Lihat itu!" teriak Khaliq dan menunjuk ke arah depan mobil.
Disana mereka melihat siluman, tak hanya satu tapi ada empat. Sosok itu setinggi lima meter, kurus tak ada daging. Rambutnya putih kusut panjang namun jarang. Badannya sedikit bungkuk dan punya ekor panjang melingkar. Wujudnya seperti tengkorak hidup yang berbalut kulit keriput dan melepuh.
"Aaaaaahhh" teriak mirza lagi. Ternyata siluman itu tidak hanya empat, namun lima. Yang satu lagi telah mencengkeram mirza.
"Za, cepat baca doa yang diajarkan gus Wildan" ucap Khaliq.
Mbah Ragil melawan empat siluman tersebut, sedangkan pak Teguh berdoa sebisanya.
Pak Teguh dulu memang pernah belajar ilmu kebatinan ke mbah Ragil. Tapi setelah pindah ke kota, ia enggan mengamalkan ilmu-ilmu itu sehingga banya sudah banyak yang lupa amalan dan doa-doa yang pernah ia pelajari.
Klaappp! Seberkas cahaya bersinar di sebelah mbah Ragil. Itu sukma gus Wildan. Gus Wildan membantu mbah Ragil mengatasi siluman ini, sedangkan dua santri lain berusaha membantu mirza agar terlepas dari cengkraman siluman.
Gus Wildan mengirim energinya kepada Mbah Ragil yang mulai kewalahan dan kehabisan tenaga. Seketika mbah Ragil kuat kembali. Gus Wildan lalu mengeluarkan pusaka dari tangannya dan menancapkan ke tanah, seketika itu juga semua siluman terpental lalu menghilang.
"Alhamdulillah" ucap gus Wildan sembari tersenyum lalu menghilang. Pak Teguh memastikan kondisi para santri dan mbah Ragil lalu menyetir menggantikan Musa menuju masjid selanjutnya.
Tak ada yang berbicara dan membahas kejadian tadi. Mereka terlihat kaget. Pak Teguh berinisiatif untuk berhenti di sebuah warung untuk makan malam dan istirahat. Warung itu tampak besar namun sepi.
"Mau kemana pak?" tanya pemilik warung kepada pak Teguh.
"Ini bu mau ke desa Blimbing"
"Oalah, pak. Sudah jam segini kok mau kesana?" ucapnya menahan ngeri.
Maklum, desa yang akan mereka datangi terkenal angker karena adasebuah pabrik terbengkalai tak jauh dari desa Blimbing yang konon merupakan istana jin. Oleh sebab itu ketika senja tiba jarang ada yang berani keluar-masuk desa tersebut.
"Kenapa bu? Kan masih jam delapan. Ini masih sore" sahut Khaliq.
"Walah, mas. Desa itu setelah magrib aja sudah sepi lho" tegas nya.
"Tidak apa-apa, bu. Kami kesana hanya ingin ke masjid yang ada disana kok" kata mbah Ragil.
Setelah selesai makan dan istirahat, mereka melanjutkan perjalanan. Desa itu memang sangat sepi, gersang, dan tandus. Jika siang pasti lebih terasa panasnya.
Saat masuk gapura desa, terlihat sekali desa ini sangat terpencil. Rumah warga tampak sederhana dengan jarak antar rumah yang berjauhan, terpisahkan oleh kebun di setiap rumah.
Tong.. tong.. tong.. Terdengar bunyi kentongan dipukul. Pak Teguh terhenyak kaget karena tiba-tiba ada seekor kera di depan mobil dan tak sengaja tertabrak.
"Astagfirullah" ucap pak Teguh.
"Jaman sudah modern masih ada yang ngipri (pesugihan kera)" sahut mbah Ragil.
Banyak warga yang keluar dan berkerumun di poskamling. Kebetulan tempatnya tak jauh dari mobil mereka berhenti. Terlihat kera tadi sekarat di depan mobil.
"Jadi maksud mbah, ini kera jadi-jadian?" tanya mirza.
Mbah Ragil mengangguk, "Coba lihat dengan mata batin kalian" ucapnya.
Ketiga santri memejamkan mata sembari berdoa, "Astaghfirullah, benar mbah" jawab santri dengan serempak.
Pak Teguh yang tak tahu apa-apa hanya menggaruk kepalanya. Tak lama warga yang tadi berkumpul di pos ronda menghampiri rombongan mbah Ragil dan ingin melihat kera yang sudah tertabrak itu.
"Mohon maaf, bapak-bapak ini siapa dan mau kemana? Sedang apa di desa kami?" tanya seorang warga.
"Kami..." belum sempat Musa menyelesaikan ucapannya,
"Lho, keranya berubah jadi orang!" teriak seorang warga sembari menunjuk ke arah kera tadi.
Semua warga kaget menyaksikan kejadian tersebut. Bagaimana bisa seekor kera berubah jadi manusia? Saat dilihat ternyata warga mengenali siapa orang itu.
"Parman! Parman yang ngipri?" ucap seorang warga.
"Astaghfirullah" sahut para warga bersamaan.
"Sudah, sekarang ayo bawa pulang ke rumahnya. Pasti istrinya mencari".
Beberapa warga lalu membopong lelaki bernama Parman itu ke rumahnya.
"Atas nama warga disini saya minta maaf atas kejadian ini pak. Memang bekangan ini warga sering melihat kera itu berkeliaran, tapi tidak ada yang merasa kehilangan. Kemungkinan parman melakukan aksinya di kampung lain" ucap seorang pria setengah baya.
"Perkenalkan nama saya Didik, kepala desa Belimbing. Mari duduk di pos sembari berbincang" imbuhnya, mereka menuju pos bersama.
Kali ini Musa yang menjelaskan maksud kedatangan mereka ke desa itu.
"Subhanallah, kasihan sekali gadis itu. Semoga masalah ini segera selesai ya pak. Memang benar masjid di desa ini dibangun di atas tanah waqaf. Kebetulan yang mewaqafkan tanahnya untuk masjid adalah keluarga dari Parman, yaitu mertuanya" tutur pak Didik.
"Insya Allah tanah itu dari hasil yang halal, karena saya sangat tahu sejarah tanah tersebut" imbuhnya.
"Alhamdulillah pak, terima kasih. Kalau boleh kami diizinkan untuk mengambil air dari masjid di desa ini" pinta pak Teguh.
Rombongan mbah Ragil pun pergi ke masjid yang dimaksud dengan diantar pak Didik. Jarak masjid dari pos ronda lumayan jauh.
Meskipun jarang ada rumah, tapi desa ini termasuk luas karena banyak kebun. Setiap rumah rata-rata punya kebun di samping, belakang, atau depan rumahnya.
Setelah sampai di masjid, mereka bergegas mengambil air dan berencana segera pulang agar pengobatan Nina bisa segera dilakukan.
"Pak, apa sebaiknya istirahat saja disini? Ini sudah larut malam, takutnya kalau siluman tadi muncul lagi" ucap Mirza.
"Memang sebaiknya saudara sekalian istirahat dahulu, besok setelah sholat subuh baru melanjutkan perjalanan, kebetulan di rumah saya ada beberapa kamar kosong, kamar anak saya yang saat ini tinggal di rumah suaminya" saran pak Didik.
Mereka pun menyetujuinya, karena memang kondisi mereka yang tidak fit. Rumah pak Didik tak jauh dari masjid, hanya sekitar 100 meter.
Subuh pun tiba, setelah sholat jamaah sesuai rencana mereka akan pamit pulang.
"Kamu yang menabrak suamiku!" teriak seorang perempuan di depan masjid.
"Kamu harus tanggung jawab! Suamiku mati gara-gara kamu!" lanjutnya.
"Sabar, Ndah. Ini adalah takdir suamimu. Bukan salah siapa-siapa, suamimu yang musyrik" jelas pak Didik.
Perempuan bernama Indah itu berteriak histeris lalu jatuh pingsan.
"Lebih baik bapak-bapak sekalian segera pergi dari sini. Pasti anak bapak juga sudah menunggu" pinta pak Didik.
"Lalu bagaimana dengan perempuan itu pak?" tanya pak Teguh.
"Biar kami yang mengurusnya pak. Jangan khawatir" jawab pak Didik.
Akhirnya rombongan mbah Ragil melanjutkan perjalanan pulang. Mereka sampai di pesantren setelah asar.
"Alhamdulillah, mas Ragil dan rombongan selamat sampai tujuan. Nanti malam seusai sholat isya kita mulai pengobatannya. Sekarang silahkan mas Ragil dan dik Teguh istirahat dahulu" ucap gus Wildan.
Malam pun tiba, Nina dibawa ke aula santri. Para santri bersiap untuk membantu dengan berdoa bersama. Tujuh bambu yang berisikan air dari tujuh masjid pun sudah disiapkan.
Gus Wildan mengambil salah satu bambu dan menuangkan air ke dalam gelas untuk Nina minum. Sisanya pak Teguh diminta untuk mengguyurkan ke kepala dan tubuh Nina.
"Cukup untuk hari ini. Kita lakukan hal yang sama selama enam hari ke depan dan tetap melaksanakan doa bersama" jelas gus Wildan.
Di hari pertama itu Nina dijaga beberapa santriwati, takut jika Nina bereaksi lagi. Sebelum meninggalkan Nina, pak Teguh mengelus kepala Nina dan berharap putrinya itu segera pulih kembali.
Betapa kagetnya pak Teguh saat melihat Nina tersenyum.
"Nduk, kamu sudah bisa tersenyum. Sabar ya nduk, sebentar lagi kamu bisa kembali kesini" ucap pak Teguh lirih.
Ddrrrrrttttt... ddddrrrrttt... Terasa HP pak Teguh bergetar tanda ada panggilan masuk.
"Assalamualaikum pak" ucap suara wanita di ujung telepon, "Wa'alaikumsalam bu" jawab pak Teguh.
- gimana pak kabar Nina?
- alhamdulillah bu, sudah ada perkembangan
- alhamdulillah pak. ibu selalu mendoakan bapak dan Nina. ini ibu pinjam hp nya bu RT, ibu mau tahu kabar bapak dan Nina, apa masih lama pulangnya? Sudah sebulan kalian pergi.
- sabar ya bu, maafkan bapak, insya Allah satu atau minggu lagi bapak sama Nina pulang, jangan khawatir bu, ibu doakan saja kami ya.
- ibu selalu doakan bapak dan Nina. sudah dulu ya pak, nggak enak sama bu RT kalo lama-lama, assalamualaikum.
- Waalaikumsalam
Tuuuut.. tuuutttt.. ttuutt..
Malam selanjutnya telah tiba. Seperti malam sebelumnya, gus Wildan meminumkan air sedangkan pak Teguh mengguyur Nina. Hari kedua Nina sudah mulai bisa minum dan makan, namun masih diam dan disuapi oleh pengurus pesantren. Pada hari ketiga hingga keenam semua berjalan lancar, Nina pun sudah bisa bicara sedikit demi sedikit.
Sampai tiba di hari ke tujuh, malam itu angin sangat kencang mengakibatkan beberapa pohon tumbang. Untungnya tidak sampai mengenai santri, hanya atap gedung kantin yang rusak.
Semua santri terlibat mengadakan doa bersama, ada yang di masjid dan sebagian di aula santri.
"Hihihi... Kalian semua akan mati!" teriak Nina. Bukan, bukan Nina tapi Nyai Ratu,
"Manusia bodoh! Tidak ada yang bisa mengalahkanku! Aku tidak akan musnah" sumbarnya,
"Kau iblis jahat akan kalah dengan kebaikan. Kau dari api akan musnah dengan air suci. Jika Allah mengizinkan, kami semua bisa memusnahkanmu" ucap gus Wildan.
Nyai Ratu yang kepanasan berada dalam tubuh Nina lalu keluar dan menampakkan wujud aslinya. Separuh wajah dan tubuhnya adalah wanita muda cantik berpenampilan ala ratu kerajaan, sebelah lagi adalah wanita tua yang keriput dengan kulit merah padam seperti hangus.
Semua santri yang kaget melihat hal itu serempak beristighfar dan semakin kencang berdoa. Tiba-tiba sosok Nyai Ratu melarikan diri ke luar dari area pesantren. Gus Wildan dan mbah Ragil mengejar Nyai Ratu ke arah hutan.
"Malam ini dia harus benar-benar musnah" ucap mbah Ragil yang dibalas anggukan oleh gus Wildan.
"Gunakan pusaka andalan mas Ragil yang tak pernah digunakan itu" pinta gus Wildan.
Mbah Ragil nampak bingung, pusaka apa yang dimaksud? Kenapa dirinya tak tau malah gus Wildan-lah yang memberi tahu.
Gus Wildan yang melihat mbah Ragil kebingungan lalu berkata,
"Batu cincin itu mas" sembari melirik cincin batu akik yang mbah Ragil gunakan.
Mbah Ragil manatap akik berwara putih kecoklatan tersebut, ia ingat ini adalah pemberian kakak gus Wildan karena dulu ia pernah menolong kakaknya.
Mbah Ragil berdoa dan memohon kepada sang maha kuasa agar kali ini diberi pertolongan untuk memusnahkan iblis itu.
Cccsssssss... Batu akik itu bercahaya lalu cahayanya keluar dari batu dan membentuk gumpalan putih bersih. Gumpalan itu lalu mewujud sebuah pusaka berbentuk kujang dengan pegangan kepala macan.
"Mari mas, kita selesaikan bersama" ajak gus Wildan.
Di hadapan mereka berjejer pasukan siluman. Mulai dari siluman kuda yang pernah menyerang Rani dahulu, siluman yang menyerang rombongan mbah Ragil di perjalanan, dan masih banyak siluman lainnya.
Selama ini merek tidak berani mendekati pesantren karena ada "pagar gaib" yang sangat kuat. Tapi karena ini sudah berada di luar pesantren, siluman tersebut muncul bersamaan seolah ingin melindungi Nyai Ratu.
"Aku akan mengurus sebelah kanan, mas Ragil sebelah kiri" pinta gus Wildan. Mereka segera menghabisi satu per satu siluman-siluman itu tanpa mengeluarkan keringat. Mereka percaya akan kekuatan doa para santri dan ridho Allah.
Dua jam berlalu. Mbah Ragil dan gus Wildan sudah menghabisi semua siluman dengan sukmanya. Begitu sukma mereka kembali, mereka segera mencari keberadaan Nyai Ratu yang bersembunyi dalam hutan.
"Keluar kau iblis laknat! Jangan hanya bersembunyi!" teriak mbah Ragil.
DUUUUAAAARRRR...!! Terdengar bunyi ledakan keras di pesantren.
"Kurang ajar! Iblis itu sudah menipu kita, gus! Dia sengaja memancing kita kesini agar Nina bisa ia bawa dengan mudah" ucap mbah Ragil geram.
"Mari segera kita kesana, mas" ajak gus Wildan.
Belum sampai mbah Ragil dan gus Wildan di pesantren, para santri sudah berbondong-bondong keluar dari pondok.
"Ninaaaa...!!" teriak pak Teguh.
"Gus, Nina dibawa iblis itu" ucap salah satu santri.
"Kita tidak bisa masuk ke alam mereka dengan raga kita mas. Mari lepaskan sukma kita" jelas gus Wildan.
"Tetap berdoa, fokus, jangan sampai pikiran kalian kosong! Jaga santriwati juga. Pak Teguh mohon tunggu sini dan bantu kami lewat doa" imbuhnya.
Mbah Ragil dan gus Wildan duduk bersila, memejamkan mata, dan mengucapkan doa. Seketika mereka berdua sudah berada di alam mereka.
"Sudah kubilang, anak ini milikku! Kalian tak akan bisa mengambil dia dariku! Seperti Rani dahulu, kau gagal menyelamatkannya, Ragil!" bentak Nyai Ratu.
"Kali ini atas izin Allah, aku tidak akan membiarkanmu menang lagi iblis" jawab mbah Ragil.
Terjadi perang antara Nyai Ratu, mbah Ragil, dan gus Wildan (disini narasumber tidak memberi gambaran bagaimana pertarungan mereka)
"Sia-sia saja, dia tak akan mempan dimusnahkan dengan pusaka ini. Dia hanya menguras energi kita" tutur mbah Ragil.
"Air tujuh masjid itu, kita bisa menggunakannya. Ini basuhlah badan dan pusaka kita dengan air ini" jelas gus wil sembari mengeluarkan botol berisi air dari tujuh masjid yang sudah dijadikan satu.
Mbah Ragil mengambil air tersebut dan melakukan yang gus Wildan minta. Gus Wildan terbang menghampiri Nyai Ratu, dan...
JLLEEEEBBB... Dada sebelah kanan Nyai Ratu tertusuk oleh pusaka gus Wildan. Disusul mbah Ragil yang menancapkan kujangnya ke arah kepala Nyai Ratu.
AAAAKKKKKHHHH...!! Nyai Ratu berteriak kencang. Setelah itu sisa air yang ada dalam botol disiramkan ke luka bekas tusukan tadi.
CEEESSS... Suaranya seperti air yang disiram ke kayu yang sedang terbakar.
Nyai Ratu berteriak kesakitan. Gus Wildan lalu mencengkeram leher Nyai Ratu, sementara tangan lainnya di depan wajahnya seolah hendak menyedot kekuatan iblis itu.
Seketika itu juga sosok Nyai Ratu lenyap digantikan kepulan asap hijau pekat. Gus Wildan memasukkan asap hijau itu ke dalam botol kaca tadi lalu menutupnya.
Mereka lalu kembali ke alam manusia dan menemukan Nina tergeletak di hadapan mereka. Mbah Ragil segera membopong Nina yang masih terkulai lemas.
"Gus, kenapa Nina belum sadar juga?" tanya mbah Ragil.
"Ritual kita belum selesai, mas. Mari kita segera kembali ke pondok" jawab gus Wildan.
Di pondok pesantren,
"Alhamdulillah. Nina, anakku..." ucap pak Teguh sambil mengambil Nina dari gendongan mbah Ragil.
"Tolong ambilkan air yang di bambu" perintah gus Wildan kepada santrinya.
Seperti biasa santri membantu doa dan pak Teguh mengguyur tubuh Nina.
"Pak Teguh, saya boleh bertanya kepada bapak?" tanya gus Wildan.
"Iya boleh, gus. Apa ya?) jawab pak Teguh.
"Mohon maaf sebelumnya, apa ada yang pak Teguh sembunyikan? Sesuatu hal yang belum bapak ceritakan soal Nina?" desak gus Wildan.
"Sebenarnya..." belum selesai pak Teguh berbicara, mbah Ragil memotong
"Firasatku benar berarti" ucap mbah Ragil.
"Maaf mbah, maaf gus... Saya tidak menyangka akan seperti ini. Iblis itu menipu dayaku lewat Rani" pak Teguh pun menjelaskan.
"Tiga hari sebelum aku kembali ke desa bapak, Rani datang dalam mimpiku. Ia berpesan jika arwahnya masih ada disana. Ia ingin aku membebaskan sukmanya yang ditahan Nyai Ratu. Syaratnya, Nina harus kubawa karena hanya keturunan dariku-lah yang bisa membebaskan sukma Rani."
"Akhirnya aku membawa Nina dan istriku dengan alasan ingin mengenalkan kampung halamanku kepada keluargaku. Sesampainya disana, Rani datang lagi dalam mimpiku. Ia menyuruh untuk membuka galian di belakang rumah. Tempat dimana aku mengubur sisa selendang yang terbakar dulu."
"Kuambil selendang itu. Aku mengenang masa kecil adikku yang begitu bahagia sebelum iblis itu datang. Rani mengatakan padaku agar mengambil baju Nina lalu menjadikan satu dengan selendang ini dan menghanyutkan ke sungai."
"Aku pun menuruti perkataannya. Malam itu Rani datang lagi ke mimpiku dengan tersenyum" jelas pak Teguh panjang lebar.
"Oalah.. Teguh.. Teguh.. Bodoh sekali kamu ini!" bentak mbah Ragil yang emosi.
"Jadi ini semua ya dari kamu. Kamu hampir kehilangan anakmu ya gara-gara kamu sendiri!" imbuhnya.
"Sudah, tidak apa-apa. Dik Teguh tidak sengaja melakukan itu, mas. Aku sempat bertemu dengan Rani saat kalian melakukan perjalanan mencari air 7 sumur" kata gus Wildan.
--------
Cerita dari gus Wildan
--------
Pada malam ke empat kepergian rombongan mas Ragil, aku dan para santri tetap melakukan pengajian. Selanjutnya seperti biasa, aku ke kamar Nina sekedar memeriksa keadaannya.
Aku ingat betul saat itu jam menunjukkan pukul 22.40, aku masih berada di ruang dimana Nina berada. Ia ditemani tiga santriwati dan dua wanita pengurus pesantren yang kuberi tanggungjawab mengurus Nina.
Aku mendengar Nina bergumam menyebut nama Rani saat itu. Aku yang penasaran segera melepaskan sukmaku untuk melihat apa yang terjadi kepada Nina.
Kulihat aku sudah berada di sebuah taman. Taman itu tampak suram seperti saat menjelang petang, ada rumput yang terinjak disana-sini. Aku melihat seorang gadis sedang duduk di tepian jalan setapak. Gadis itu sedang menangis.
"Assalamualaikum, Nina?" sapaku untuk memastikan itu memang Nina.
Gadis itu menoleh. "Astaghfirullah, siapa kau?" tanyaku.
Gadis itu menggunakan baju dan rok panjang, berambut pendek sebahu, matanya menangis mengeluarkan darah merah kehitaman.
"Kau yang sudah menghalangi Nyai Ratu untuk mengambil Nina. Aku tak mau disini sendiri. Aku akan menjadikan Nina temanku. Kau jangan ikut campur, manusia sialan!" ucap gadis tersebut.
"Jadi kau Rani? Aku tak akan pernah membiarkanmu atau iblis itu membawa Nina, dia sama sekali tidak bersalah" jelasku.
"Aku juga tidak bersalah! Kenapa dulu tidak ada yang menolongku? Kenapa mereka (ayah dan kakaknya) tidak menyelamatkanku?" protes Nina.
"Aku sama sekali tidak tahu menahu soal itu. Sekarang apa mau mu?" tanyaku padanya.
Rani pun menjelaskan bahwa dia akan tetap membawa Nina ke alamnya sebagai teman. Dahulu saat kakaknya membakar selendang Nyai Ratu, esoknya Rani bisa bebas dan kembali ke raganya. Tapi terlambat, tubuh dan raga Rani sudah terlanjur dikuburkan.
Setelah itu Rani tak tahu harus kemana. Sukmanya terombang-ambing hingga Nyai Ratu berhasil menemukan Rani lagi. Nyai Ratu menghasut dan mempengaruhi Rani agar membenci kakaknya dan memanfaatkan Rani untuk membalas dendam pada kakaknya lewat Nina.
Saat itu Nyai Ratu yang terbelenggu tak bisa masuk ke dunia manusia karena kekuatan dalam selendang yang dibakar dan dikuburkan itu. Lewat Rani-lah Nyai Ratu bisa kembali lagi ke dunia manusia.
Nyai Ratu menjanjikan kepada Rani ia akan masuk ke dalam tubuh Nina sedangkan Nina yang akan menggantikan Rani sebagai pelayan Nyai Ratu.
Setelah mendengar pernyataan dari arwah Rani itu, aku mulai meberikan dia pengertian kepada Rani dan membantunya untuk benar-benar pergi dengan tenang. Tentu saja caranya dengan memusnahkan Nyai Ratu terlebih dahulu, sehingga sukma Rani juga terbebas.
"Baiklah, aku tidak akan lagi menganggu Nina dan kak Teguh. Aku akan membantumu memusnahkan Nyai Ratu" tutur Rani sambil berjalan mendahuluiku.
"Kelemahan Nyai Ratu ada di dada sebelah kanan serta di kepalanya. Tapi tidak sembarang senjata bisa menghunus dadanya itu" imbuhnya.
"Senjata seperti apa yang bisa?" tanyaku kepada Rani.
Rani meninggikan bahu tanda ia tak tahu. Saat aku dan mas Ragil berperang melawan Nyai Ratu, aku sama sekali tidak ingat perkataan Rani.
Tapi tiba-tiba aku mendengar bisikan suara perempuan, "Gunakan air tujuh masjid itu untuk memusnahkan Nyai Ratu".
Saat aku mencari sumber suaranya, ternyata itu suara Nina yang ada di belakang Nyai Ratu lalu lenyap begitu saja.
------
Kembali ke penulis
------
"Bapaaak...!" terdengar suara lirih.
"Nina, kamu sudah bangun? Ini beneran kamu kan, nduk? Nina anakku?" ucap pak Teguh yang kemudian berjalan ke arah Nina sembari memeluknya.
"Iya, pak. Ini Nina. Aku takut pak. Aku tidak mau lagi di dunia setan itu" jawab Nina dengan suara lirih.
"Alhamdulillah Nina, Allah sudah menyelamatkan kita semua"
tutur gus Wildan.
Sementara mbah Ragil hanya mengangguk sembari tersenyum gembira karena cicitnya telah kembali.
"Terima kasih semuanya. Kakung Ragil, gus Wildan, dan semua yang sudah membantu Nina. Semoga Allah membalas kebaikan kalian" ucap Nina haru.
"Lalu bagaimana itu" tanya mbah Ragil sembari menunjuk botol kaca yang berisikan Nyai Ratu.
"Akan kubuang ke laut. Iblis itu sudah tak punya kekuatan sama sekali" jawab gus Wildan.
"Lalu bagaimana dengan Rani sekarang?" tanya pak Teguh.
"Rani sudah berada di tempat yang semestinya. Ia bisa pergi dengan tenang" jelas gus Wildan.
"Alhamdulillah" ucap Semua orang termasuk santri yang sedang di aula tersebut.
Beberapa minggu kemudian,
Nina sudah berada di rumahnya. Ia sudah benar-benar pulih dan melakukan aktifitas seperti biasa.
"Nduk, kesinilah" perintah mbah Ragil.
"Iya, kung. Ada apa?" tanya Nina.
Mbah Ragil mengeluarkan sebuah cincin batu akik dan memberikannya kepada Nina.
"Simpanlah ini, cuma kamu yang bisa mewarisi ilmu putihku"
Nina yang bingung pun bertanya, "kenapa harus Nina, kung?"
Mbah Ragil menatap Nina dengan tajam.
"Sebenarnya akulah yang memulai semua ini. Ini semua gara-gara aku. Aku yang mewariskan ilmu hitam kepada Romli menantuku. Aku yang salah" jelas mbah Ragil.
Mbah Ragil pun bercerita. Saat ia masih kecil dan ditinggal kedua orang tuanya, mbah Ragil belajar ilmu hitam. Ia berhasil menguasai berbagai ilmu hitam dan memperoleh kesaktian yang diinginkan.
Hingga akhirnya ia bertemu dengan pak Romli. Pak Romli adalah pesuruh mbah Ragil yang paling setia. Akhirnya ia mewariskan ilmunya dan menikahkan pak Romli dengan putrinya.
Tak lama setelah itu mbah Ragil bertemu dengan kyai Anwar, kakak dari gus Wildan. Mbah Ragil saat itu tahu kalau kyai Anwar terkena santet yang hanya bisa dilawan dengan ilmu hitam pula. Disitu mbah Ragil coba menyembuhkan kyai Anwar.
(Catatan: Sebenarnya ilmu hitam bisa dilawan dengan ilmu putih. Tapi karena kisah ini hanya diceritakan ulang, kita mengikuti alur peristiwa yang terjadi saat itu)
"Kyai Anwar saat itu sudah tahu kalau aku memiliki ilmu hitam. Awalnya ia tidak mau kutolong. Hingga akhirnya aku berjanji ini adalah untuk terakhir kalinya aku menggunakan ilmu hitam. Setelah itu aku akan melepaskan ilmu itu dan bertaubat kepada Allah" jelas mbah Ragil.
"Lalu apakah kyai Anwar mau, mbah?" tanya Nina.
Mbah Ragil mengangguk, "Iya, nduk. Aku pun melakukan pengobatan itu kepada kyai Anwar. Khodam ilmu hitamku yang membantu melawan santet itu, yaitu Nyai Ratu" jawab mbah Ragil.
"Nyai Ratu? Nyai Ratu yang jahat itu, kung?" tanya Nina kaget.
"Betul. Sebenarnya hanya aku yang bisa mengontrol dia. Nyai Ratu hanya mengikuti apa yang diperintahkan majikannya. Setelah kyai Anwar sembuh, aku mulai belajar ilmu putih kepada beliau"
"Lah. terus kok kakek Romli yang jadi jahat sih, kung?" desak Rani.
"Itulah kesalahan kakung, nduk. Setelah sekian lama berguru ke kyai Anwar, kakung pulang ke rumah. Saat aku kembali, bapakmu sudah berumur lima tahun."
"Kakung sudah coba membujuk dan memberi pengertian pada kakekmu itu, tapi kakekmu tidak mau mendengarkan kakun. Akhirnya kakung pergi dari rumah itu, dari desa itu" jelas mbah Ragil.
"Tapi kenapa Nyai Ratu bisa ikut kakek?" tanya Nina lagi,
"Karena waktu itu aku belum membuang khodam andalanku. Kedua khodam kakung bisa saja masuk ke ilmu putih, karena memang mereka akan mengikuti apa yang majikannya perintahkan."
"Tapi di malam sebelum aku pergi, kakekmu berhasil mengambil selendang dan juga keris kakung. Kedua barang itulah tempat dimana khodam kakung berada. Mereka adalah khodam terkuat yang kupunya, yaitu Nyai Ratu yang bersemayam dalam selendang dan satu lagi siluman buaya yang ada dalam keris"
"Tapi kakekmu berkilah dia tidak mencurinya. Dia hanya mengatakan kalau bertapa di gunung untuk mendapatkan khodam-khodam tersebut. Sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan Romli dan putriku, karena putriku pun tak mau kehilangan sosok ayah untuk anaknya. Terlebih waktu itu nenekmu mengandung Rani" jelas mbah Ragil kepada Nina.
"Bukannya kakung bilang kalau Nyai Ratu itu bisa dikontrol? Tapi kenapa kata bapak malah Nyai Ratu menjadikan kakek tak lebih dari pelayan?" tanya Nina yang belum puas.
"Hehe.. Kan kakek tadi sudah bilang, hanya kakek-lah yang bisa mengendalikan Nyai Ratu" jelas mbah Ragil.
Ia mengambil kopi hitam yang sudah dingin di depannya. Menyesap perlahan lalu berkata,
"Kakekmu tidak bisa mengendalikan Nyai Ratu. Ia malah meminta kekayaan dari Nyai Ratu. Itulah yang membuat kakekmu diperdaya Nyai Ratu dan menjadi sangat jahat" lanjutnya.
Mbah Ragil meletakkan gelas kopi, sebelum berkata
"Kamu tahu kan kenapa wajah Nyai Ratu bisa menjadi jelek dan berubah cantik? Ya itulah, dia bisa menjadi cantik saat baik dan jelek saat jahat. Dia tak lagi bisa kukendalikan karena ia sudah melakukan perjanjian dengan Romli" jelas mbah Ragil panjang lebar.
"Tapi untungnya kakekmu sudah sadar dan sempat bertobat sebelum ajal menjemputnya" imbuh mbah Ragil sembari mengelus bahu Nina.
"Hanya kamu yang tahu ini semua, aku belum menceritakan kepada siapapun selain gus Wildan dan kamu, nduk" lanjutnya.
"Wah, wah... Disini rupanya kakung dan cicitnya. Sudah akrab ya?" sahut ibu Nina yang menjumpai mereka berdua di teras rumah. Kehadirannya disusul pak Teguh yang baru pulang dari ladang.
"Aku akan belajar dengan sungguh-sungguh, kung. Aku ingin menolong banyak orang yang membutuhkan. Tolong ajari aku ya kung" ucap Nina dengan antusias. Mbah Ragil mengangguk menyetujuinya.